Hidupnya jauh dari sederhana. Tapi, sepetak lahan 200 meter persegi yang ia punyai diwakafkan untuk mushala dan madrasah. Mudasir pemilik tanah itu, mengikhlaskannya untuk sarana pendidikan di bawah Gunung Linggo, Trenggalek, Jawa Timur. Sebagai pengganti lahan untuk bercocok tanam, ia menggarap sebidang tanah perhutani di lereng Gunung Abimanyu yang ditanami singkong sebagai makanan pokok.
Dai desa yang lugu itu, hanya berniat menyelamatkan tunas desa agar dapat pendidikan lebih baik. Kini, dibantu dai desa yang lain, Mudasir mengurus 300 santri. Madrasah itu juga dilengkapi playgroup ala kampung, TPA, dan majelis taklim. Semuanya gratis, agar anak-anak tak takut belajar karena orang tuanya tak mampu membayar.
Di bilangan Rawa Kalong, Gunungsindur, Bogor, sebuah keluarga bersahaja juga memberikan lahannya untuk fasilitas pendidikan. Di kampung dekat Ibukota itu, keluarga Nurbaiti memfasilitasi warga untuk menyekolahkan anak-anak di jenjang playgroup, TPQ, MI, juga majelis taklim.
Rumahnya yang sederhana, bahkan nyaris tak pernah dikunci. Satu ruang pribadi pun hampir tak ada. Semua, bebas menggunakan fasilitas yang ada di dalam rumah. Meski di belakang rumah sudah dibangun dua lokal kelas, tapi para wali santri hingga anak-anak, masih menggunakan bagian dalam rumah. Tak sekadar mereka menggunakan fasilitas belajar, meja makan pun, isinya juga boleh disantap siapa saja.
Kisah hebat serupa juga dijalani La Ode Ardin bersama istrinya di Kendari Sulawesi Tenggara. Dia membeli lahan cukup luas dari penghasilannya sebagai guru ngaji. Di atas tanah dekat Bandara Kendari itu, ia mendirikan Madrasah Tsanawiah. Murid asuhnya dari warga jauh dan dekat yang terbelakang kondisi ekonominya. Sebagian, bahkan anak-anak yang bekerja sebagai pembuat bata merah.
Di sekolah yang tiga tahun lalu terbuat dari papan rapuh itu, tak ada busana formal. Anak-anak bebas memakai sandal jepit, bahkan ada yang jarang mandi. Tapi, kondisi buruk itulah yang bertahap diubah Ardin. Anak-anak yang lahir berpeluh derita, harus mendapatkan pengetahuan yang layak dan adil. Mereka perlu diselamatkan, tidak oleh kritik melulu ke negara, tapi dengan tindakan nyata.
Sulit mengucapkan kata sanjung untuk orang-orang hebat itu. Tapi mereka tak butuh. Meski dipandang umum sebagai bukan siapa-siapa, tapi mereka telah melakukan pengabdian hebat lebih dari orang yang dianggap hebat oleh umum. Diukur dari kekayaan, mereka golongan dhuafa yang untuk makan saja sulit. Tapi, nyatanya amat kaya. Mereka mampu menyelamatkan sebuah generasi, tidak dengan pajak atau amunisi yang diperoleh dari korupsi.
Serba sederhana kehidupan mereka bukan berarti tak punya sikap. Dua pekan lalu, salah satu dari mereka menolak bantuan Rp 100 juta dari sebuah perusahaan minyak asing. Alasannya sederhana, dana itu diperoleh dari perut bumi yang tak menyejahterakan rakyat tapi menciptakan kemiskinan yang turun-temurun. Bahkan, mengorbankan kehidupan masyarakat yang ada di sekitar area produksi minyak. Lebih khusus lagi, minyak yang disuplai ke negeri asing itu, digunakan untuk perang memusuhi dan membunuh umat muslim di belahan negara lain.
Tak hanya perusahaan minyak asing, bahkan seorang pejabat juga ditolak bantuannya, karena ia ragu sumber uangnya. Niat mereka sederhana, dari bibit dan pupuk yang baik akan tumbuh tunas baik dan buah yang bermanfaat. Tugas mulia ini telah mereka pasrahkan ke Allah SWT. “Saya menjual diri untuk Allah, insya Allah ini perniagaan yang halal," tutur Mudasir. Kejujuran yang mestinya mencabik nurani kemanusiaan kita.
Red: irf
Sumber: Baznas