REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA--Pelayanan kesehatan di Indonesia bagaikan fenomena "David versus Goliath" dengan pasien sebagai David dan dokter bagaikan Goliath. "David lawan Goliath, fenomena si kecil melawan si besar, proletar lawan borjuis yang tidak pernah ada titik temunya," kata Prof Dr Herkutanto SH, LLM, guru besar tetap pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu.
Dalam fenomena itu, pasien dan dokter lebih mengedepankan konflik dan ketidakpercayaan. "Kebenaran suatu peristiwa sering kali diabaikan," kata saksi ahli kasus RS Internasional Omni versus Prita itu.
Seharusnya, lanjut dia, pasien percaya bahwa dokter akan bekerja untuk kepentingan pasien, sedangkan dokter percaya bahwa pasien beritikad bekerja sama.
Ia mengakui banyak masyarakat bersikap skeptis terhadap hubungan pasien dengan dokter seperti itu. "Hal inilah yang mengakibatkan lunturnya hubungan ideal antara pasien dan dokter," katanya dalam lokakarya Peran Kemitraan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien Bagi Media Massa itu.
Untuk itu, saran dia, diperlukan komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien untuk menghindari saling curiga. "Kalau pasien tidak bisa diajak berkomunikasi, bicaralah dengan keluarganya," katanya.
Herkutanto mengemukakan bahwa Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran berprinsip memberikan perlindungan terhadap masyarakat.
"Kalau ada yang melanggar prinsip-prinsip itu maka ada instansi sendiri yang menanganinya," kata Ketua Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan DKI Jakarta itu.
Pada tingkat nasional, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) memiliki lembaga independen berupa Majelis Kehormatan dan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
"MKDKI ini merupakan instrumen perlindungan utama bagi masyarakat dari tenaga medis yang tidak profesional," kata Herkutanto.
MKDKI hanya menangani pengaduan masyarakat terhadap praktik kedokteran yang dilakukan dokter pemegang Surat Tanda Registrasi (STR) yang dikeluarkan KKI.
Setiap dokter yang menjalankan tindakan dan praktik kedokteran wajib memiliki STR dan surat izin praktik. Hingga saat ini KKI telah mengeluarkan sedikitnya 126 ribu STR.
"Tidak semua sarjana lulusan Fakultas Kedokteran memiliki STR dan SIP. Bagi orang yang melakukan tindakan dan praktik kedokteran tanpa dilengkapi STR dan SIP bisa dikenai hukuman selama lima tahun penjara dan denda Rp 300 juta sebagaimana diatur dalam UU Nomor 29/2004," katanya.
Red: Siwi Tri Puji B
Sumber: Ant