View Full Version
Kamis, 14 Apr 2011

Mualaf Camila Lif: Berislam Bukan Tentang Agama yang Lain Lebih Buruk

REPUBLIKA.CO.ID, STOCKHOLM - Tiga mualaf Swedia, Iman Monica Granath, (22), Meryem Connie Sahin (27), dan Camilla Lif (25) diwawancara bersama di sebuah radio nasional. Bagi publik Swedia kebanyakan, pilihan mereka untuk berislam dan kemudian mengenakan jilbab adalah hal yang paling kontroversial yang dilakukan di Swedia.

Reporter senior Swedia, Annika Sundbaum-Melin, bertemu tiga gadis itu untuk menjawab rasa ingin tahu publik Swedia, dan wawancara keduanya disiapkan di radio dan dimuat di koran-koran nasional beberapa waktu lalu. Tiga pertanyaan sama, menghasilkan jawaban berbeda. Berikut jawaban Camila Lif, tentang pilihannya berislam:

Kapan Anda masuk Islam?

Saya sudah menjadi seorang Muslim selama lima tahun. Orang tua saya adalah ateis, hal yang diwariskan pada saya sampai saya berumur 18 tahun. Setelah itu,   saya mulai tertarik dengan Islam, dan mempelajarinya. Pilihan saya pada Islam bukan karena agama lain lebih buruk, tapi karena Islamlah yang pas dengan hati saya.

Saya tahu beberapa Muslim yang tidak memakai jilbab, mengapa Anda melakukannya (mengenakan jilbab)?

Mengenakan jilbab tidak instan bagi saya; begitu berislam saat itu pula berjilbab. Satu tahun setelah memeluk Islam, saya masih belum berjilbab. Saya lebih fokus pada membenahi iman saya, batin saya. Tapi kemudian ketika saya makin banyak belajar, semakin saya ingin berbuat lebih banyak demi Allah. Maka saya berjilbab.

Bagi saya -- ini tak disebutkan dalam fikih Islam -- berjilbab banyak untungnya, tak sekadar pakaian, tapi juga pelindung rambut dan kulit. Anda tahu, itulah mengapa prevalensi kanker kulit di antara kami rendah. Perintah Tuhan selalu menguntungkan kita.

Apakah Anda mendapatkan pekerjaan ketika Anda memakai kerudung?

Aku menjadi tenaga paramedis, dan sejauh ini tak ada masalah. Saya tak pernah aneh-aneh dalam berpakaian. Syal ini sangat menolong saya.

Sikap Anda terhadap umat lain berubah setelah menjadi Muslim?


Tentu tidak. Faktanya adalah bahwa Islam, Yahudi, dan Kristen berdekatan, berasal dari satu rumpun yang sama. Kami percaya pada para nabi. Nabi mereka, ada disebutkan dalam kitab suci saya.

Saya tak pernah mengunci pintu rapat-rapat bagi mereka. Bila kita bergandeng tangan, maka di luar sana tak akan ada gelandangan, atau orang yang kelaparan. Ajaran kami adalah peduli pada sesama, hal yang juga diajarkan dalam Kristen dan Yudaism.

Muslim selalu dikaitkan dengan terorisme, penyiksaan, dan penindasan. Anda tak takut?

Kekerasan terjadi di semua negara dan Anda tidak boleh lupa bahwa itu bukan Muslim sejati yang berperilaku seperti itu. Kesalahan yang dibuat media adalah bahwa mereka sebut sekelompok orang gila bagi umat Islam meskipun mereka tidak demikian. Satu Muslim digambarkan seolah-olah dia akan membunuh seluruh warga Swedia, membunuh kaum Kristen. Ini anggapan yang sungguh keji.

Bagaimana dengan perkawinan dalam Islam, yang digambarkan istri selalu tertindas?


Islam sangat adil bagi perempuan. Bila kita merasa tertindas atau terpinggirkan, jika kita diperlakukan tidak adil, jika  tidak dapat menghasilkan keturunan padahal salah satu dari pasangan menginginkan, maka ada klausul cerai dalam Islam. Hal ini jelas dalam Alquran bahwa pemaksaan tidak akan muncul dengan cara apapun.

Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: wwwc.aftonbladet.se

latestnews

View Full Version