REPUBLIKA.CO.ID, "Pertanyaan itu saling berbalapan dalam pikiranku. Apakah ini akan membuatku menjadi seorang Muslim? Apa arti berislam setelah semua? Begitu gampangkah menjadi seorang Muslim? Dan apa yang terjadi setelah itu? Bagaimana jika aku menyesal?" ujar Myrtho, menceritakan apa yang berkecamuk dalam benaknya beberapa menit menjelang bersyahadat.
Bagi Myrto -- ia menolak menyebutkan nama belakangnya -- menemukan agama bukan terjadi dalam semalam. "Aku butuh waktu hampir sembilan tahun untuk percaya bahwa sebenarnya ada Tuhan dan memilih Islam sebagai cara untuk menyembah Dia," katanya.
Myrto memiliki kehidupan yang sangat keras. Ia mempunyai pengalaman traumatis pribadi yang membuatnya kerap frustrasi. Lari pada agama seperti yang disarankan banyak orang padanya? Nonsense. "Aku hampir sepenuhnya menolak kehadiran Tuhan atau apapun namanya dalam hidupku," katanya.
Hingga suatu hari, ia menghadiri pemakaman temannya. Sang pendeta di akhir ceramahnya berkata, "Istirahatlah dengan tenang, dan abaikan semua dosa."
"Meskipun aku benar-benar tidak puas oleh perilaku agamawan di Yunani dan masih terngiang-ngiang kata-kata pendeta di pemakaman, aku memutuskan untuk mulai membaca tentang agama," katanya.
Ia mulai meneliti agama Kristen dan terutama Dogma Ortodoks, juga Yudaisme, dan Budha sebelum akhirnya Islam. "Aku mulai secara bertahap percaya pada Tuhan, imanku pada Tuhan menjadi kuat seiring waktu, walau aku belum memilih, akan memuja Tuhan dengan agama apa," katanya.
Ketika makin dalam belajar, banyak pertanyaannya yang jawabannya ada dalam ajaran Islam. "Islam berarti perdamaian dan Muslim berarti orang yang menawarkan dirinya kepada Allah saja, tanpa penyesalan atau keuntungan pribadi," ujarnya.
Ia juga menemukan anggapan publik Yunani tentang beberapa simbol Islam, ditafsirkan secara salah. Misalnya saja, karena kirabnya menggunakan bahasa Arab, maka hanya ditujukan untuk orang Arab. Atau simbol bulan sabit yang diartikan sebagai simbol mandi darah dan balas dendam. "Bulan sabit merupakan peringatan bahwa orang Muslim menghitung waktu berdasarkan bulan, bukan matahari," ujarnya.
keinginannya berislam semakin mantap ketika ia meneruskan studi ke Inggris. Sumber-sumber mempelajari Islam banyak dijumpai di negara ini. "Aku bertemu banyak Muslim, membaca lebih beragam literatur, menonton film dokumenter, menghadiri ceramah Islam, pergi ke museum Islam, dan menghadiri kelas Islam," katanya.
Maka bulat hati, ia bersyahadat, namun dengan syarat. "Aku memutuskan untuk memulai hidup sebagai seorang Muslim untuk jangka waktu tertentu, untuk melihat apa apakah itu benar-benar begitu sulit. Seperti yang dinyatakan dalam Quran, pria dan wanita diciptakan sama-sama memiliki kehendak bebas untuk mereka sendiri," katanya.
Apa artinya hidup sebagai seorang Muslim? Apakah harus mengenakan abaya dan niqaab? Haruskah berdoa 10 kali sehari? Bagaimana dengan puasa ketat selama bulan Ramadhan? Terus, tinggal di rumah dan memiliki banyak anak? Menghindari segala macam pengalaman yang menyenangkan kalau-kalau Anda melakukan sesuatu yang terlarang? Pertanyaan itu terus berputar.
Hingga akhirnya ia menemukan: Islam bukanlah sistem yang ketat aturan atau semacam penjara. "Islam menuntun untuk mlakukan perbuatan baik setiap hari, berusaha untuk menghindari tindakan buruk, berdoa sebanyak yang Anda bisa, puasa sebanyak yang Anda bisa, menunjukkan cinta dan kasih sayang, selalu berjuang untuk memperbaiki diri sendiri, maju dan berkembang dalam pengetahuan hari demi hari, mencoba melakukan yang terbaik setiap hari, hanya inilah yang diperlukan untuk menjadi seorang Muslim," katanya.
Ia memperbaharui syahadatnya. Kini, Myrto telah kembali ke Yunani dan menikah dengan seorang Muslim Inggris. "Aku menyadari bahwa saya bisa hidup sebagai seorang Muslim, aku hanya mengubah cara dan frekuensi doa, berhenti makan daging babi atau minum alkohol, dan kini aku memakai jilbab. Itu saja."