View Full Version
Senin, 08 Dec 2014

Bercermin Dari Kasus JIS: Hati-hati Memori Palsu Si Buah Hati

Jakarta (voa-islam.com) - 

Ahli investigasi kekerasan terhadap anak dari Australia, Chris O'Connor, sengaja datang ke Indonesia untuk memberikan kesaksian sebagai ahli dalam sidang Kasus JIS. Kesaksiannya sungguh mengejutkan sekaligus membawa secercah cahaya bagi para terdakwa!

Katanya, kesaksian MAK di persidangan sebenarnya tidak dapat dijadikan bukti, apalagi alasan kuat untuk menjebloskan para tersangka ke penjara, apalagi bila mereka mengalami intimidasi hingga salah seorang di antara terduga tindakan asusila itu tewas. Bila itu terjadi, maka justru menimbulkan kejahatan yang baru!

Lantas, mengapa tidak bisa dijadikan bukti?

Dalam sebuah acara gathering bersama keluarga terdakwa kasus JIS di Jakarta, beberapa waktu lalu, O’Connor mengatakan, anak-anak sangat mudah mengalami sindrom ingatan palsu atau mudah meyakini sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi sehingga kesaksiannya tidak kuat.

"Memori seorang anak sangat rentan, dia bisa dengan mudah memanipulasi keterangannya dan meyakini bahwa apa yang diterangkannya, meskipun tidak pernah terjadi, adalah fakta," kata O'Connor.

"Karena itu, meminta keterangan dari anak berbeda dengan meminta kepada orang dewasa," ujarnya.

Dia juga menyatakan ketidak yakinannya atas kejadian tindakan asusila seperti yang selama ini dituduhkan kepada para terdakwa.

“Dari pengalaman saya dan apa yang saya lihat, saya tidak percaya ada kejadian itu," katanya.

Selama 35 tahun, O’Connor bekerja di bidang investigasi dan perlindungan anak. Ia membantu  menyelesaikan kasus kekerasan seksual terhadap anak di berbagai negara, seperti Finlandia, Inggris, juga Amerika. Selama itu, ia belum pernah menemukan kasus seperti kasus JIS ini.

"Saya baru menemukan ada kasus seperti ini," ujarnya. Satu korban disodomi oleh enam orang dewasa,  salah satunya perempuan, dan dilakukan di sekolah berulang kali.

Pengacara terdakwa Syahrial dan Agriawan, Patra M Zen, yang hadir dalam kesempatan tersebut juga mengatakan, sidang Kasus JIS ini tidak jarang menghadirkan saksi ahli dari luar negeri. Hal ini tidak lain untuk menjelaskan bahwa interview kepada anak tidak boleh dilakukan main-main.

“Bohong kalau ada yang mengatakan anak itu tidak pernah berbohong, dan juga bohong bila seorang ibu tidak mungkin menjerumuskan sang anak. Sebab banyak fakta ibu-ibu yang bejat, yang tega mengorbankan anaknya sendiri. Oleh karena itu, kita berhadapan dengan satu kesadaran umum, bahwa anak itu tidak pernah bohong. Sebab, banyak orang yang dihukum gara-gara keterangan anak. Karena itu proses interview dan proses introgasi harus dilakukan dengan benar,” kata Patra

Dalam kasus JIS, sudah sangat jelas pengaruh intervensi sang ibu ketika anak itu memberikan keterangan. Bukan karena anak itu ingin berbohong, tapi banyak motivasinya. Misalnya menyenangkan si penanya. Dan sang anak, kemungkinan besar telah memiliki memori palsu, bahwa dirinya telah mengalami tindakan asusila.

Kata Patra, sebagaimana dijelaskan pula oleh O’Connor, sebuah kalimat akan mudah melekat dalam memori si anak, meskipun itu bukan fakta alias fiktif. Hanya dengan 10 minggu, bila si anak dicekoki dengan kalimat yang sama, misalnya ‘saya telah disodomi’, maka ketika ditanya kapan pun juga, jawabannya akan sama. Bahkan dalam jangka satu minggu, jawaban si anak sudah bisa diarahkan. Dan dalam jangka waktu enam bulan, kalimat itu akan tertanam seperti kalimat itu benar-benar pernah dialaminya.

Karena itu, menurut Patra, kehadiran saksi ahli ini sangat penting, karena menyangkut nasib orang yang tidak bersalah.

“Aapapun keputusannya nanti, ini adalah satu upaya kita untuk membantu mereka. Saya yakin, Zainal Anwar (alhmarhum), Agriawan, Syahrial, Azwar, Afrischa, tidak pernah melakukan perbuatan yang dituduhkan, disangkakan, apalagi didakwakan,” kata Patra. (may/voa-islam.com)


latestnews

View Full Version