View Full Version
Senin, 04 Dec 2017

Ilmu dan Literasi di Dunia Islam

Oleh: Roni Tabroni*

Dalam bukunya yang cukup tua berjudul “Kultur Islam”, Oemar Amin Hoesen membuka wacananya dengan statement yang sangat menggugah.

Menurutnya, waktu Islam datang dibawa Muhammad, orang-orang Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan. Walaupun bangsa Arab sebelumnya sudah memiliki beradabannya, namun ketika Islam datang, ilmu pengetahuan berkembang lebih pesat lagi.

Salah satu yang dijadikan contoh pengembangan ilmu pengetahuan yaitu di bidang kesehatan. Pada mulanya, kemajuan ilmu pengobatan dimulai berjalan pada zaman pemerintahan Bani Umayah (661-720 M). Akan tetapi kemajuan belum kelihatan secara signifikan, sampai akhirnya kemajuan pesat itu baru terlihat ketika zaman kekhalifahan Abbasiyah (750-1258 M).

Ketika seluruh kerajaan Iran jatuh ke bawah kekuasaan Islam, Sekolah Tinggi dipelihara baik-baik oleh pemerintah Islam. Lembaga  pendidikan menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Di lembaga pendidikan ini juga ilmu kedokteran banyak dipelajari dan dikembangkan. Hingga pada zaman keemasan Islam, banyak sekali buku-buku ilmu kedokteran.

Pada tahun 856 M, Khalifah Al-Mutawakkil mendirikan sekolah penterjemahan di Baghdad. Selain itu, di sekolah itu juga dilengkapi dengan museum buku-buku yang sangat banyak. Tradisi penterjemahan dan penciptaan buku-buku ilmu pengetahuan menjadi sebuah kebutuhan yang diprioritaskan saat itu.

Pada zaman pemerintahan Al-Ma’mun (813-833 M), kemajuan terjemahan pengetahuan mencapai kemajuan sangat pesat. Dengan resmi pemerintah membangunkan sebuah sekolah di Bagdad yang menjadi pusat penterjemahan.

Inilah sekolah perterjemahan pertama di dunia yang dibuat secara serius. Sekolah ini semakin menarik sebab terintegrasi dengan taman-taman pustaka. Sejarah mencatat, tradisi penterjemahan ini memiliki tokoh yang sangat penting yaitu Hunayn Ibnu Ishaq (809-877 M).

Hunayn adalah seorang doktor ahli filsafat yang telah menterjemahkan 100 buah buku tentang pengobatan dan filsafat ke dalam bahasa Syria dan 39 buah ke dalam bahasa Arab. Murid dan anak-anaknya juga telah menghasilkan terjemahan sebanyak 13 buah ke dalam bahasa Syria dan 60 dalam bahasa Arab.

Pada abah keemasan Islam, kita mengenal beberapa nama yang banyak berkontribusi pada ilmu pengetahuan seperti dunia kedokteran. Di sana ada Al-Razi (865-925 M), Qairawan Tunisia atau lebih dikenal Ishak Juda (855-955 M), Ibnu Al-Jazzar (wafat 1009), Halu Abbas atau ‘Ali Abbas (wafat 944 M), Hasday bin Shaprut (wafat 990 M), Abilcassis (seorang Muslim Spanyol yang wafat 1013 M), Ali Ibn Ridwan atau dikenal Haly Rodoam (wafat 1067 M), dan Ibnu Sina atau Avicenna yang selain dikenal sebagai ahli pengobatan juga sebagai filsuf.

Selain di bidang kedokteran, kemajuan Islam juga telah menjadi pelopor pada berbagai bidang keilmuan, seperti Astronomi, fisika, kimia, matematika, pertanian, sosiologi, geografi, ilmu barang tambang, ilmu hewan, meteorologi, arsitektur, dan sastra. Setiap bidang ilmu memiliki pakarnya masing-masing. Bukan hanya pemikir dan pandai berdiskusi, para pakar muslim juga mencatatkan dalam bentuk tulisan. Tidak terhitung jumlahnya berapa banyak karya tulis yang dibuat para ilmuwan Islam ini hingga kemudian Barat pun menjadikannya sebagai rujukan ilmu pengetahuan. Karya tulis berupa buku hingga ensiklopedi yang berjilid-jilid telah disumbangkan untuk peradaban ini.

Di bidang pendidikan tinggi, Universitas Islam yang seluruhnya bercorak Islam telah berdiri di Eropa pada tahun 1253 M. Universitas ini dipimpin oleh Abu Bakr al-Riqati, seorang terpelajar besar pada zaman itu. Universitas Islam ini tidak hanya mewadahi ummat Islam, tetapi sudah menampung pelajar dari berbagai negara dengan tanpa memandang latar belakang agama. Universitas-universitas Islam banyak mempengaruhi Perguruan Tinggi lainnya yang muncul kemudian termasuk yang didirikan non Islam.

Perkembangan lainnya adalah ketika berkembanganya pemikiran filsafat di kalangan Islam. Banyak pemeluk agama lain yang tertarik dengan Islam karena tradisi berfikir yang kritis dan mendasar. Khalifah Abbasiyah Al-Ma’mun misalnya, yang berkuasa semenjak tahun 813 – 833 M, mendirikan sekolah tinggi kesarjanaan, di samping sekolah keagamaan yang telah ada. Semenjak itulah, perkembangan filsafat kemudian menjadi suatu cabang ilmu. Buku-buku filsafat yang dibuat oleh para filosof Islam banyak mempengaruhi negara lain sehingga banyak yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain.

Kemudian di antara sekian banyak filosof Islam, kita mengenal beberapa diantaranya seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, juga Ibnu Rushd. Filsafat Islam menurut Amin Hoesin (1964) berbeda dengan filsafat Yunani. Filsafat Yunani merupakan hasil revolusi fikiran terhadap apa yang dinamakan dogmatic dicta. Sedangkan filsafat Islam, dilahirkan untuk memperkuat kedudukan faham Islam.

Menjadi pemikir Islam, tidak berhenti pada baca, analisis dan berdiskusi. Para filosof dan pemikir Islam telah mewariskan karya tulis yang tidak ternilai harganya, dengan jumlah yang sulit untuk disebutkan angkanya. Tingkat produktifitas para ilmuwan Islam telah membuktikan dedikasi kepakarannya dalam sebuah peninggalan ilmu pengetahuan yang kemudian “menerangi” dunia.

Tradisi dialog tidak hanya dilakukan secara langsung, tetapi juga lewat karya tulis. Tradisi menulis ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Salah satu contoh misalnya, ketika Imam Al-Ghazali menganggap filsafat sebagai sesuatu yang sesat dan berbahaya, maka dirinya membuat buku “Tahafut Al-Falasifah”. Namun, buku tersebut oleh filosof Islam tidak diperlakukan secara destruktif, Ibn Rusyd misalnya, kemudian menjawab tuduhan Al-Ghazali itu dengan buku lagi yang berjudul “Tahafut At-Tahafut”.

Tradisi keilmuan pada masa keemasan Islam begitu bergairah. Selain di sana ada keberpihakan pemerintah terhadap dunia ilmu, juga tumbuh suburnya tradisi literasi yang menyebabkan lahirnya para pakar yang telah menjadi peletak ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang.

Bertemunya gairah antara pemerintah dengan publik, terbukti telah melahirkan sebuah peradaban baru yang mengubah citra dunia menjadi lebih baik. Spirit ini yang kini perlu tumbuh di negara mayoritas Islam seperti Indonesia ini. [syahid/voa-islam.com]

*) Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi USB YPKP dan UIN SGD Bandung, juga Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah


latestnews

View Full Version