View Full Version
Ahad, 12 Jul 2009

Jilbab Biru Dinda

Dinda menyukai warna biru. Sangat suka. Terlalu suka sehingga lebih mendekati “freak”. Ungkapan yang tidak salah memang jika melihat segala yang lekat di tubuhnya hampir selalu berwarna biru. Rok sekolahnya biru. Tas ranselnya biru. Seluruh isi tempat pensilnya berwarna biru. Buku tulisnya disampul biru, kecuali jika ada guru yang meminta murid-muridnya menyampul buku-bukunya dengan sampul coklat. Tak perlu mengecat rambut menjadi biru pun, rambut Dinda selalu silau oleh kilau-kilau biru jepit rambutnya yang beraneka bentuk. Jika hanya itu, mungkin teman-temannya masih segan menyebutnya gila-biru. Tapi kalau melihat kamarnya yang serba biru – seprai biru, sarung bantal biru, tirai biru, meja biru, lampu biru, boneka beruang biru – tidak ada yang ragu lagi untuk memanggilnya “Nona Biru”.
Seolah sengaja ingin menggembirakan Dinda, langit siang itu memoles wajahnya dengan warna biru lembut dan sedikit sapuan putih awan yang membuatnya semakin berseri. Mentari menyemai hangat khas negeri khatulistiwa. Pepohonan yang tumbuh jarang-jarang di sisi jalan pun tampak begitu mengundang pengendara motor yang lalu lalang untuk sekadar menghirup oksigen “fresh from the oven”-nya.
Tapi cerahnya siang khas Jakarta kali itu tidak mengganggu Dinda, pun tak menggodanya untuk ikut pasangan muda-mudi yang bermesraan tanpa malu-malu di pinggir jalan padahal mereka KTP pun belum punya. Semilir angin dari pendingin di mobil sedan itulah yang telah membuai Dinda sedemikian rupa hingga ia tak kuasa menahan berat kepalanya. Kepala gadis belia itu kini terkulai lemas di atas jok kulit berwarna biru – hasil modifikasi yang disesuaikan dengan keinginan Dinda tentunya – dan kelopak matanya perlahan-lahan menutup. Sementara itu, mobil sedannya terus melaju menerobos jalan perumahan yang lenggang, seolah enggan menyapa rumah-rumah megah berhalaman luas di sisi-sisinya.
“Neng Dinda, sudah mau sampai...”
Dinda menguap lebar-lebar dan menggeser posisi duduknya. Ditatapnya Mang Shaleh, supir keluarganya yang konon katanya sudah menjadi supir papanya sejak masih SMA. Kerut-kerut di wajah Mang Shaleh tentulah buktinya. Rambutnya mulai menipis, memamerkan kulit kepala yang tak dapat lagi berkilau seperti biksu-biksu di film Cina. Tangannya yang memegang kemudi dengan lihai seolah menyatakan keseniorannya dalam mengemudi.
Dinda tersenyum tipis. Papanya tidak ingin mengganti supir, pun Mang Shaleh tidak ingin berhenti. Tapi menyupir sang ayah hingga ke Bogor, Surabaya, atau Bandung, tidak lagi sesuai dengan ringkih tubuh Mang Shaleh. Maka jadilah ia mengantar sang nona di Jalan Belitung No. 8 itu pergi ke sekolah. Terkadang ia mengantar sang nyonya yang hobi berbelanja. Tapi itu hanya jika sang nyonya ingin menjelajahi butik-butik Jakarta yang sudah dihafalnya. Sekarang sang nyonya lebih senang menyantroni factory outlet di kota Bandung atau mengudara ke Singapura.
Setelah dipersilakan seorang satpam yang berjaga, mobil sedan itu akhirnya berlabuh di garasi sebuah rumah bertipe M, alias mewah, megah, dan mentereng. Tinggi pagarnya pun seolah hendak menyaingi pohon palem di halamannya. Di depan terasnya yang berlantaikan marmer, jajaran talas beraneka ukuran memenuhi pot-pot. Hobi nyonya rumah ini selain shopping adalah mengoleksi talas. Baginya, talas lebih besar, lebih indah, lebih mudah dirawat, dan tentu saja lebih murah karena bisa diambil di pinggir jalan dibandingkan dengan anggrek. Pot-pot yang menjadi rumah baru tetalas itu pun tak kalah cantik. Laksana gadis-gadis yang berlomba-lomba dalam ajang kecantikan, warna-warni pot yang akan memakan waktu bertahun-tahun jika diurai itu berkilauan ditimpa terik cahaya sang surya.
Jengah menatap talas-talas yang tidak akan pernah berubah warna menjadi biru itu, Dinda memandang sosok canggung yang kini menghampirinya sambil tersenyum malu-malu. Dinda mengerutkan dahi. Gadis itu baru dilihatnya hari ini. Mang Shaleh rupanya menyadari keheranan majikan kecilnya itu sehingga segera mengambil alih pembicaraan.
“Ini namanya Mbak Rangi. Anak tetangga Bapak di kampung dulu,” Mang Shaleh mengenalkan gadis yang kini wajahnya tersipu-sipu. Dinda tersenyum tipis, mengulurkan ransel birunya ke tangan gadis yang sejak tadi menawarkan bantuan. Rangi membalas senyum Dinda dengan sumringah.
“Saya Rangi, Mbak...”
“Dinda saja,” Dinda mengibaskan tangannya. Dia tidak suka dipanggil “Mbak”. Apalagi oleh orang yang lebih tua.
“Dinda...” Rangi mengulangi. Aksen Jawanya masih kental, terutama pada pelafalan huruf “d”. “Baru pulang sekolah ya, Neng Dinda?”
“Yaa...” Dinda melenggang cuek ke kamarnya, sementara Rangi membuntut di belakangnya. Kalau dipanggil “Neng”, dia tidak keberatan. Begitulah Mbak Asti dan Mbak Siti yang tiga hari lalu minta pulang itu dulu memanggilnya. “Mama mana, Mbak?”
“Lagi belanja baju, mungkin bajunya jadi sedikit ya sekarang. Habis tadi Ibu ngasih banyaaak banget baju buat saya, udah gitu...” Rangi yang sebelumnya berceloteh riang berhenti ketika Dinda membuka pintu kamarnya. Matanya terpaku melihat biru yang mewarnai setiap sudut kamar Dinda.
“Ya?”
Rangi tersadar dari lamunannya. “Nggak apa-apa... cuma kaget liat kamar Neng Dinda,” Rangi tersenyum malu ketika melihat kening Dinda yang berkerut.
“Tasnya saya taruh dimana, Neng?”
“Di kasur aja, Mbak...” Dinda melongok ke dalam lemarinya yang tentu saja juga berwarna biru, mengacak-acak tumpukan biru kausnya, mencari pakaian ternyaman untuk mengganti seragamnya yang sudah lengket. Menyadari kehadiran Rangi yang tak juga beranjak, Dinda akhirnya menatap mbaknya yang baru itu dengan agak kesal.
“Kenapa sih?”
Rangi menunduk malu, rona merah menjalar di pipinya.
“Nggak... ternyata Neng suka warna biru, ya...”
Dinda mengangkat bahu. Sebetulnya ia ingin menyuruh mbaknya itu pergi, tapi melihat wajah polos Rangi, Dinda mengurungkan niatnya.
“Yah... gitu deh...”
“Saya juga paling suka sama warna biru lho, Neng!” Rangi tersenyum lebar, menatap Dinda yang heran karena tidak terbiasa beramah tamah dengan orang yang baru dikenalnya.
“Jilbab biru saya ini jilbab favorit saya,”
Dinda meneliti jilbab biru yang dimaksud Rangi. Jika dibilang biru, maka biru itu adalah jenis biru yang paling tidak disukai Dinda. Birunya sudah mulai kumal, dan benang-benang jahitannya ada yang terlepas. Sungguh usang dan entah mengapa Rangi menyebutnya sebagai jilbab favorit. Mungkin karena tidak ada jilbab lain,batin Dinda. Rupanya Rangi sadar telah mengganggu waktu istirahat majikan ciliknya sehingga ia pamit ke dapur dengan canggung, meninggalkan Dinda yang termangu sendiri menatap koleksi jilbabnya di pojok rak paling bawah. Biru jilbabnya masih terang dan cerah karena ia pertama dan terakhir kali dipakai saat Lebaran setahun yang lalu.
***
“... mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa”
Dinda memandang kosong televisi – tentu saja dengan casing berwarna biru agar senada dengan dinding kamar – di hadapannya. Tak terasa besok ia sudah harus mulai berpuasa. Di sekolahnya tadi dibagikan surat libur awal Ramadhan. Teman-temannya yang ikut Rohis bahkan mulai giat menempel ayat-ayat di meja belajar dan membuat kalendar menghitung hari menuju Ramadhan sejak sebulan yang lalu. Pun guru Agama sudah mengingatkan murid-muridnya bahwa pesantren Ramadhan di sekolah wajib diikuti seluruh siswa dan siswi kelas satu. Buku Ramadhan juga sudah dibagikan sejak dua hari yang lalu. Tapi tidak ada yang berbeda. Kalau tahun-tahun sebelumnya Dinda selalu meminta mbaknya untuk membuatkan ceramah dan mengisi amalan hariannya asal-asalan di buku itu, tahun ini pun Dinda berencana melakukan hal yang sama. Toh papa dan mamanya tidak pernah bertanya...
“Neng D


latestnews

View Full Version