View Full Version
Sabtu, 22 Aug 2009

Salamah bin Akwa Pahlawan Pasukan Kavaleri

Puteranya Iyas, ingin menyimpulkan keutamaan bapaknya dalam suatu kalimat yang singkat, katanya, “Bapakku tak pernah berdusta…!” Memang, untuk mendapatkan kedudukan tinggi diantara orang-orang shaleh dan budiman, cukuplah bagi seseorang dengan memiliki sifat ini! Dan Salamah bin Akwa’ telah memilikinya, suatu hal yang memang wajar baginya.

Salamah adalah salah seorang pemanah bangsa Arab yang terkemuka, juga terbilang tokoh yang berani, dermawan dan gemar membuat kebajikan. Ketika ia menyerahkan dirinya menganut agama Islam, ia menyerahkannya secara benar dan sepenuh hati, sehingga ia pun ditempa agama ini sesuai dengan coraknya yang agung. Salamah bin Akwa’ juga termasuk sebagai salah seorang tokoh yang mengikuti Bai’atur Ridlwan.

Pada tahun 6 H, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersama para sahabat berangkat dari Madinah ke Mekkah dengan maksud untuk berziarah ke Ka’bah. Tetapi, orang-orang Quraisy menghalangi perjalanan mereka, sehingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus Utsman bin Affan untuk menyampaikan kepada mereka bahwa tujuan kunjungan beliau hanyalah untuk berziarah dan sekali-kali bukan untuk berperang. Sementara menunggu Utsman kembali, tersiarlah berita bahwa Utsman telah dibunuh oleh orang-orang Quraisy. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam duduk dibawah naungan sebatang pohon sambil menerima baiat sehidup semati dari para sahabat beliau, seorang demi seorang.

Salamah bercerita, “Aku mengangkat baiat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di bawah pohon dengan pernyataan menyerahkan jiwa ragaku untuk Islam, lalu aku mundur dari tempat itu. Tatkala mereka yang akan memberiakn baiat tidak beberapa banyak lagi, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya, “Hai Salamah, mengapa kamu tidak ikut baiat?” “Aku telah baiat, wahai Rasulullah,” ujarku. “Ulangilah kembali.” titah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Maka baiat itu kuucapkan kembali.” Dan salamah telah memenuhi isi baiat itu dengan sebaik-baiknya. Bahkan maksud dari baiat itu telah dilaksanakannya dari sebelum ia mengikrarkannya, yakni semenjak ia mengucapkan dua kalimat syahadat.

Salamah berkata, “Aku berperang bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebanyak tujuh kali dan bersama Zaid bin Haritsah sebanyak Sembilan kali.”

"Salamah terkenal sebagai tokoh yang paling mahir dalam peperangan jalan kaki, dalam memanah, dan dalam melemparkan tombak dan lembing. Siasat yang dijalankannya serupa dengan perang gerilya yang kita jumpai sekarang ini. Jika musuh datang menyerang, ia menarik pasukannya mundur ke belakang. Tetapi bila mereka kembali atau berhenti untuk beristirahat, maka mereka pun diderangnya tanpa ampun.

Salamah terkenal sebagai tokoh yang paling mahir dalam peperangan jalan kaki, dalam memanah, dan dalam melemparkan tombak dan lembing. Siasat yang dijalankannya serupa dengan perang gerilya yang kita jumpai sekarang ini. Jika musuh datang menyerang, ia menarik pasukannya mundur ke belakang. Tetapi bila mereka kembali atau berhenti untuk beristirahat, maka mereka pun diderangnya tanpa ampun. Dengan siasat seperti itu, seorang diri ia mampu menghalang pasukan tentara di bawah pimpinan ‘Uyainah bin Hishn al-Fizari yang menyerang luar kota Madinah dalam suatu peperangan yang disebut perang Dzi Qarad. Ia pergi membuntuti mereka seorang diri, lalu memerangi dan menghalau mereka dari Madinah, hingga akhirnya datanglah Nabi SAW membawa bala bantuan yang terdiri dari para sahabat beliau. Pada hari itulah Rasulullah SAW menyatakan kepada para sahabatnya, “Tokoh pasukan jalan kaki yang terbaik ialah Salamah bin Akwa’!”

Tidak pernah Salamah berhenti kesal dan merasa kecewa, ketika saudaranya yang bernama ‘Amir bin Akwa’ tewas di perang Khaibar. Ketika itu ‘Amir mengucapkan syair dengan suara keras di hadapan tentara Islam, katanya,

“kalau bukan karena-Mu

Tidaklah kami akan mendapat hidayah

Tidak akan shalat

Dan tidak pula akan berzakat

Maka turunkanlah ketetapan

Ke dala hati kami

Dan dalam berperang nanti,

Teguhkanlah kaki-kaki kami.”

Dalam peperangan itu ‘Amir memukulkan pedangnya kepada salah seorang musyrik. Tetapi rupanya pedang yang digenggam hulunya itu melantur dan berbalik hingga menghujam pada ubun-ubunnya sendiri dan menyebabkan kematiannya. Beberapa orang Islam berkata, “Kasihan ‘Amir, ia terhalang mendapatkan mati syahid” Maka pada waktu itu-yah, hanya sekali itulah,tidak lebih- Salamah merasa kecewa sekali. Ia mempunyai sangkaan sebagaimana sangkaan sahabat-sahabatnya bahwa saudaranya ‘Amir, tidak akan mendapatkan pahala berjihad dan sebutan mati syahid, dikarenakan ia telah bunuh diri tanpa sengaja. Tetapi Rasulullah SAW yang pengasih itu segera mendudukkan perkara pada tempat yang sebenarnya, yakni ketika Salamah datang dan bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, betulkah pahala ‘Amir itu gugur?” maka Rasulullah SAW menjawab, “Ia gugur sebagai pejuang bahkan mendapatkan dua macam pahala. Dan sekarang ia sedang berenang di sungai-sungai syurga”

Kedermawanan Salamah sangatlah luar biasa. Ia akan mengabulkan permintaan orang termasuk jiwanya, apabila permintaan itu diajukan atas nama Allah. Hal ini rupanya diketahui oleh orang-orang, sehingga jika seseorang ingin agar tuntutannya berhasil, ia akan mengatakan kepadanya, “Kuminta kepadamu atas nama Allah” mengenai hal ini, Salamah pernah berkata, “jika bukan atas nama Allah, atas nama siapa lagi kita akan memberi?”

Sewaktu Utsman RA dibunuh orang, pejuang yang perkasa ini merasa bahwa api fitnah telah menyulut kaum Muslimin. Ia sendiri, yang selama ini telah menghabiskan usianya untuk berjaung bahu-membahu bersama saudara-saudaranay seagama, tidaklah sudi jika saat ini ia berperang menghadapi saudara-saudaranya seagama! Benar..! sesungguhnya seorang tokoh yang telah mendapat pujian dari Rasulullah SAW tentang keahliannya dalam memerangi orang-orang musyrik, tidaklah patut jika ia menggunakan keahliannya itu untuk memerangi atau membunuh orang-orang mukmin. Oleh karena itu, ia pun mengemasi barang-barangnya, lalu  berangkat meninggalkan Madinah menuju Rabadzah, yaitu kampong yang sebelumnya telah dipilih oleh abu Dzarr sebagai tempat hijrah dan pemukiman barunya. Di Rabadzah inilah Salamah melanjutkan sisa hidupnya. Hingga pada siuatu hari, di tahun 74 H, hatinya merasa rindu untuk berkunjung ke Madinah. Maka berangkatlah ia kesana untuk memenuhi kerinduannya. Ia tinggal di Madinah selama satu dua hari, dan pada hari yang ketiga, ia wafat disana. Demikianlah rupanya, tanahnya yang tercinta dan lembut serta empuk itu memanggil putranya ini untuk merangkulnya ke dalam pelukannya dan memberikan ruangan baginya di lingkungan sahabat-sahabat yang memperoleh berkah bersama para syuhada yang shaleh. (sumber : serial karakteristik perihidup 60 sahabat Rasulullah/ Khalid Muh.Khalid)

 


latestnews

View Full Version