Pernah nggak satu ketika dalam hidup, kamu merasa jadi orang merana sedunia? Bukan dalam hal kasih sayang, tapi anak seusia kamu biasanya dalam hal uang atau materi. Ketika teman ada yang uang sakunya puluhan ribu rupiah, jatahmu hanya cukup untuk naik angkot. Ketika ada teman yang bisa beli ini itu, kamu pun hanya menahan nafas karena hasrat memiliki tak kesampaian.
Saya dulu juga sama. Uang saku yang sangat minim bahkan untuk beli semangkuk bakso pun kurang, membuat saya berpikir alangkah enaknya jadi si A yang anak orang kaya atau si B dengan uang saku berlimpah. Apalagi ada juga salah seorang teman yang rumahnya depan sekolah dan mempunyai deretan mobil mewah di garasinya. Wah…bikin ngiler nggak sih?:P
Tapi satu ketika, ada suatu kejadian yang menyadarkan saya. Ketika main ke rumah salah seorang teman sekelas, saat itulah saya seakan diajak untuk merenung. Teman itu adalah anak seorang pembuat bunga kertas yang biasa dikirimkan untuk ucapan belasungkawa bila ada kematian.
Tapi satu ketika, ada suatu kejadian yang menyadarkan saya. Ketika main ke rumah salah seorang teman sekelas, saat itulah saya seakan diajak untuk merenung. Teman itu adalah anak seorang pembuat bunga kertas yang biasa dikirimkan untuk ucapan belasungkawa bila ada kematian. Rumahnya sangat kecil dan terbuat dari kayu dan triplek. Padahal di tengah kota Surabaya loh.
Tidak itu saja. Setiap hari tangan teman saya ini, sebut saja namaya R, selalu berwarna-warni. Ternyata ia ikut membantu ayahnya merangkai bunga kertas itu. Ia tidak malu ataupun minder mengakuinya. Ketika kami, saya dan teman-teman yang lain main ke rumahnya pun, ia tidak berusaha menutup-nutupi kondisi sebenarnya. Ia tetap bersikap wajar dan ramah seperti biasa.
Saat itulah, saya tidak lagi merasa menjadi orang termiskin di dunia. Ternyata sungguh, masih banyak orang-orang lain yang kondisinya di bawah kita tapi menjalani hidup ini dengan penuh kesyukuran. Maka benarlah kata Rasulullah untuk melihat ke bawah kita dalam hal harta agar kita tidak menjadi orang yang kufur nikmat.
Di momen Ramadhan ini, saatnya kita introspeksi. Sejauh mana kita telah bersyukur atas segala nikmat-Nya? Masih banyak orang-orang di sekitar kita yang kondisi hartanya jauh lebih sedikit daripada kita. Bukan tidak mungkin mereka adalah teman-teman sekolah kita, atau teman bermain di kampung, atau tetangga dekat kita atau bahkan saudara kita. Mereka ini adalah tipe orang-orang bersahaja yang pantang meminta meskipun kondisinya kekurangan.
Saatnyalah kita belajar peduli. Uang saku kita yang mungkin tidak banyak, kita sisihkan sedikit sekedar untuk membuat mereka tersenyum. Bukan nilainya yang penting, tapi ketulusan hati dan kepedulian terhadap sesama itu yang jauh lebih berarti bagi mereka.
Saya ingat sebuah hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah itu ketika bulan Ramadhan, pemurahnya luar biasa sekali. Di luar bulan Ramadhan saja beliau sudah terkenal pemurah dan suka memberi, terlebih di bulan ketika semua amal dilipatgandakan pahalanya. Jadi rugi banget rasanya kalau kita tidak berusaha mengikuti jejak beliau. Yah…sedikit pun tak apa daripada tidak sama sekali, kan? Yuk, kita belajar bersedekah dan peduli pada sesama. Insya Allah harta kita menjadi barokah.
(Ria Fariana/voa-Islam)