VOA-ISLAM - Ramadhan tinggal bilangan hari. Apa sih yang kamu rasa ketika sesuatu atau seseorang yang sangat dicinta akan segera pergi meninggalkan kita? Sedih, haru, biru dan syahdu pastinya. Bila kita cinta Ramadhan, rasa ini pula yang menjelma dalam hati kita. Rasa kehilangan meskipun Ramadhan belum pergi meninggalkan diri.
Rasa lapar di siang hari untuk Kekasih, bangun malam hari untuk sholat Lail dan tilawah Qur’an, semua itu begitu nikmat untuk dijalani. Tapi mengapa juga harus ada akhir di setiap penghujung pertemuan? Ramadhan pun cuma punya waktu selama sebulan, nggak kurang dan nggak lebih. Cepat atau lambat, Ramadhan akan pergi meninggalkan kita.
Ramadhan pun cuma punya waktu selama sebulan, nggak kurang dan nggak lebih. Cepat atau lambat, Ramadhan akan pergi meninggalkan kita
Sebelas bulan berikutnya, kita disapih oleh Ramadhan. Selama itu pula ajang bagi diri untuk terjun ke kancah nyata dunia. Ketika pada Ramadhan kita ditempa untuk menjadi pribadi takwa, 11 bulan setelahnya adalah ajang pembuktian. Begitu banyak cinta palsu diobral, begitu juga pada sosok bernama bulan Ramadhan. Orang berbusa-busa menyatakan cinta pada bulan ini. Tapi sesungguhnya, cinta tak hanya sebatas kata. Ia mewujud pada sikap dan perbuatan.
Sebelas bulan berikutnya adalah saatnya ujian nyata. Cinta kita sebatas kata ataukah nyata dalam amal perbuatan. Tempat maksiat yang ditutup dengan alasan menghormati bulan Ramadhan, pada detik di luar bulan suci ini, bebas lepas seperti semula. Disinilah komitmen cinta kita pada Ramadhan menemukan ujian. Karena sangat mudah bagi kita untuk menjadi orang baik pada Ramadhan, di saat semua pihak berusaha (sok) suci. Namun, selepas Ramadhan, bagaimanakah perilaku manusia sejatinya? Mereka seolah-olah lepas dari penjara, bernafas lega, dan kembali berjibaku dengan maksiat di setiap helaan nafas. Naudzhubillah.
Karena sangat mudah bagi kita untuk menjadi orang baik pada Ramadhan, di saat semua pihak berusaha (sok) suci. Namun, selepas Ramadhan, bagaimanakah perilaku manusia sejatinya? Mereka seolah-olah lepas dari penjara, bernafas lega, dan kembali berjibaku dengan maksiat di setiap helaan nafas. Naudzhubillah
Jangan sepenuhnya menyalahkan mereka. Karena toh, segala perbuatan mereka ada perlindungan dari juga dari negara. Mereka hanyalah orang-orang yang mengais kehidupan dari debu kemaksiatan yang tersedia. Andai boleh memilih, siapa juga yang mau hidup berkubang lumpus kehinaan penuh maksiat ini?
Ramadhan adalah pengingat untuk bertaubat. Ramadhan adalah penyuci bagi diri setelah kotor 11 bulan sebelumnya. Ramadhan adalah titik balik untuk meraih derajat takwa. Namun bila takwa jenis ini mempunyai merek TOMAT (Ramadhan tobat, selepasnya kumat), maka sungguh ada yang salah dengan kehidupan dimana kita tinggal. Ada yang salah dengan system yang mengatur kita. Ada yang salah dengan perlakuan mereka, kita, saya dan semua dalam memaknai Ramadhan.
Di sepuluh terakhir ini, marilah kita bertafakur, apa yang salah dengan ini semua? Ketika Ramadhan tak lagi bermakna dan kemaksiatan di depan pintu mengintip untuk ambil bagian segera setelah Ramadhan berlalu. Duh…
Allahu Rabbi, ternyata Ramadhan memang tak bisa berdiri sendiri. Merindu Ramadhan dalam makna sebenarnya, sesungguhnya merindu sesuatu yang lebih daripada itu. Merindu Islam kembali nyata dalam kehidupan kita, dalam system kita, dalam pengaturan interaksi kita dan dalam setiap desah nafas kita.
Maka, merindu Ramadhan adalah merindu diterapkannya syariah Islam. Dan merindu syariah Islam tak akan mungkin tanpa merindu tegaknya daulah Khilafah Islam. Allahu Rabbana, dan saksikanlah bahwa kami berada di barisan orang-orang yang merindu-Mu. (ria)