View Full Version
Ahad, 13 Sep 2009

Untuk Kita Renungkan

Menjelang hari-hari akhir Ramadhan, hati biasanya menjadi haru biru. Segenap rasa campur aduk menjadi satu, ibarat makan permen maka nano-nano rasanya. Ada rasa sedih karena Ramadhan akan pergi. Ada rasa senang karena Idul Fitri datang. Semua keluarga yang merantau pada pulang. Kantong pun menjadi tebal karena sanak famili memberi buah tangan. Makanan lezat beraneka macam pun tersaji, hal yang tidak sering terjadi setiap hari.

Tak heran, Allah masih perlu menegur kita yang berlumur dosa ini dengan peringatan-peringatan berupa bencana yang tak berkesudahan

Tapi, ada juga perasaan gamang dan khawatir. Bilakah berjumpa lagi dengan Ramadhan tahun depan? Umur manusia siapa yang tahu. Sekarang tertawa gembira, sekejap kemudian terbungkam rata dengan tanah alias meninggal. Sekarang hura-hura di muka bumi, detik berikutnya gantian makhluk bawah tanah yang berfoya-foya dengan kehadiran jasad kita yang telah ditinggalkan ruhnya. Sungguh, bila sudah begini, apakah masih pantas kita bersombong diri?

Ramadhan, penyuci sebelas bulan sebelumnya. Sudahkah gemblengan sebulan lamanya ini benar-benar menjadikan diri kita suci seperti bayi? Di hari-hari akhir Ramadhan inilah saatnya kita berkontemplasi dan merenungi diri. Amalan-amalan apa yang sudah bisa kita bawa sebagai bekal menghadap-Nya. Sifat dan sikap negative apa yang sudah berhasil kita kikis sehingga tak sempat menjadi karat di hati. Karena sungguh manusia itu benar-benar merugi bila Ramadhan pergi, maka pergi pula semua kebaikan dan kemulyaan yang ditawarkan di bulan ini. Naudzhubillah.

Uniknya, semakin Ramadhan berjalan ke penghujung waktu, semakin sepi masjid dan semakin ramai jalan-jalan protocol di kota besar. Sehingga ada rasa prihatin juga dalam benak. Hmm…gejala apakah ini? Belum lagi mall-mall dan plaza yang padat dengan manusia. Berbelanja? Boleh-boleh saja, tak ada larangan dalam Islam. Tapi bila aktifitas belanja jauh lebih prioritas daripada puasa, tarawih dan tilawah Qur’an, maka apa bedanya Ramadhan dengan bulan-bulan lainnya?

Konsumerisme menemukan peluangnya di celah-celah Ramadhan suci ini. Semua berlomba-lomba memberi diskon. Efek dari kapitalisme global yang mulai merambah Indonesia. Semua moment bisa dimanfaatkan selama menghasilkan uang dan materi sebanyak-banyaknya. Tak peduli bulan suci Ramadhan, yang penting menangguk untung. Belanja murah pun digelar hingga tengah malam. Malam syahdu yang seharusnya untuk berkhalwat dengan Qur’an, menjadi kehilangan pesonanya karena tawaran diskon gila-gilaan.

Polesan Islam pun diberikan agar tak terkesan hura-hura. Lomba tabuh bedug diselengggarakan di tengah asyiknya berbelanja tengah malam. Rakyat Indonesia yang katanya miskin, ternyata mampu berbelanja hingga jutaan rupiah sekali transaksi. Indonesiaku, manakah wajah aslimu?

Ternyata, banyak hal yang perlu kita renungkan di Ramadhan ini. Tentang diri kita sendiri, tentang amal-amal diri, tentang lingkungan dan masyarakat sekitar dan tentang negara ini. Ramadhan hanya datang sekali dalam setahun, namun ternyata banyak dari kita yang kurang bisa memaksimalkan bulan diskon dosa dan obral pahala ini. Kita jauh lebih tergiur dengan diskon dan obral barang serta materi.

Tak heran, Allah masih perlu menegur kita yang berlumur dosa ini dengan peringatan-peringatan berupa bencana yang tak berkesudahan. Benar kata Bang Ebiet bahwa seringkali kita malah bangga dengan dosa-dosa, dan bukannya segera bertaubat. Semoga kita bukan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang demikian itu. Masih tersisa beberapa hari lagi untuk mengejar rahmat dan ampunan dari Allah. Yuk kita perbarui niat dan amal agar Ramadhan ini lebih bermakna, insya Allah.

Ria Fariana, voice of al islam


latestnews

View Full Version