Duhai bapak, duhai ibu…
Sebagai anak, tak banyak yang sudah kulakukan. Meski hanya sekedar membuat bapak dan ibu tersenyum. Aku hanya anak biasa yang telah ibu lahirkan dengan susah payah. Sementara ketika aku sudah sebegini dewasa, aku justru tak pernah ingat momen berharga itu. Duitku hanya duitku. Sementara saat ku susah, namamu yang selalu menjadi sebutanku. Membasahi bibir dan lisanku.
Ketika tiba hari lahirku, bukan ibu yang kuingat. Malah aku teringat teman-temanku. Mengajak mereka makan-makan, hura-hura dan canda tawa. Sedangkan ibu, huff sedikit pun aku tidak ingat kamu. Kamu yang dulu dengan pelan membelaiku di perutmu. Mengaduh, merintih dan mengeluh, karena hadirku membuatmu tersiksa. Tak ada nasi yang masuk di perutmu. Hanya mual yang sangat, menemani hari-hari hamilmu. Tapi kau bukannya marah, kamu hanya tersenyum bangga karena aku adalah bayimu.
Ketika tiba hari lahirku, bukan ibu yang kuingat. Malah aku teringat teman-temanku. Mengajak mereka makan-makan, hura-hura dan canda tawa
Kini, saat aku besar, aku malu bertemu kamu di sekolahku. Aku malu saat kau memanggilku dan mencium pipiku di depan teman-temanku. Bagiku itu sangat memalukan. Bukan apa-apa, hanya karena ibu sudah beruban banyak. Dan masak aku harus dicium di depan teman-teman, itu memalukan…Tapi ternyata aku selama ini tak tahu. Bahwa ciuman itulah bukti sayangmu padaku selama ini. Bangga punya anak aku, dan ibu inginkan dunia tahu, bahwa anaknya berprestasi. Hanya itu yang ibu inginkan. Hanya itu…
Semakin hari, semakin sering hati orang tua tersakiti. Lisanku yang tajam, sikapku yang tidak sopan, merasa benar, merasa modern, dan merasa lebih pandai dan pintar. Kadang kalau berbeda pendapat dengan ibu, aku selalu bilang bahwa ibu salah. Bila berbeda pendapat dengan ayah, aku selalu bilang ayah kolot, jadul dan tidak paham agama. Padahal usiaku masih saja SMA. Jenggotku pun belum lagi ada. Tapi tanganku lantang menunjuk kalian, dengan rasa bersalah kini aku mohon ikhlasmu.
Ingatkah dulu saat aku memilih dia menjadi mendampingku. Aku melangkah sendiri, seolah kalian tiada lagi. Padahal seharusnya aku minta ridamu, ridha yang akan mengantarkanku menuju jannahNya.
Ingatkah dulu saat aku memilih dia menjadi mendampingku. Aku melangkah sendiri, seolah kalian tiada lagi
Atau saat dulu kita pernah berperang kata-kata. Dengan sengaja aku berkata kasar, karena perbedaan pendapat yang sangat tajam. Aku menyesal, dari lubuk hati yang paling dalam.
Allah maha mendengar segala pinta hambaNya. Dan kali ini aku meminta, agar lebaran tahun ini aku bisa bertemu kalian, orangtuaku. Aku akan tersenyum, meminta maaf dan ikhlas ibu dan ayah. Bersamamu dengan tawa bersahaja. Dekapan hangat penuh sayang dari orang tua kepada anaknya. Dan linangan air mata kesyukuran, karena di Ramadhan kali ini, aku masih bisa menjumpai bapak dan ibu lagi...Di hari kemenangan nanti, semoga semuanya segera terikhlaskan…
Oleh : Burhan Sodiq