SUATU ketika, dalam perjalanan menuju kantor –waktu itu belum punya motor— tanpa sengaja saya mendengar percakapan dua orang remaja putri yang duduk di depan saya. Salah seorang dari keduanya mengutarakan, “Ih sebel banget sama si Mawar (bukan nama sebenarnya), jilbab doang panjang, tapi sering ngomongin orang, ngegosip, fitnah. Cih!”
Mendengar curhatannya tersebut, saya jadi geli sendiri, dan tertawa terkekeh. Dalam hati saya bergumam, “Masa sih cewek berjilbab tapi hobi ngomongin kejelekan orang alias ghibah?!” Namun, sepanjang perjalanan menuju kantor, obrolan remaja putri itu pun mengarah pada ghibah dan membincangkan orang lain. Tawa saya pun semakin berkepanjangan. Tapi, isi obrolan dan curhatan mereka berdua berkelebat di dalam benak saya. Pikiran saya menerawang jauh. Nalar eskatologis saya dibuat menggelitik.
Mulutmu harimaumu. Begitulah pepatah mengajarkan. Artinya, segala perkataan yang terlanjur kita keluarkan apabila tidak difikirkan dahulu akan dapat merugikan diri sendiri. Kita sering mendengar istilah tersebut sejak kecil. Maksudnya, kita kita harus menjaga mulut dan tutur kata karena bisa jadi bagaikan harimau galak menerkam balik kepada diri kita sendiri apabila yang keluar dari mulut kita adalah ‘bahasa yang kelewatan’.
Sejatinya, kata memiliki bobot. Ia mampu mengubah seluruh atmosfer sebuah ruangan dan kamar. Ia bisa membangun sekaligus meluluhlantakkan sebuah ikatan pertemanan. Ia juga dapat menyegel sebuah akad pernikahan, sehingga relasi pria-wanita menjadi absah, tapi ia juga bisa menghancurkan relasi tersebut. Hanya dengan beberapa kata, kita dapat mengubah mood seseorang, dan tentu mood kita sendiri. Jika demikian, kita harus ingat untuk tidak menganggap enteng hal-hal yang kita katakan.
Betapa sering kita mengatakan sesuatu, namun setelah itu kita justru menyesal telah mengatakannya? Betapa sering kita harus meminta maaf kepada orang lain karena telah mengatakan hal-hal yang tidak penting atau menyakiti mereka? Bahkan komentar yang diucapkan sambil berlalu atau candaan sederhana pun bisa menjadi rumor tidak menyenangkan dan penghinaan yang mengerikan. Berapa banyak fitnah terlontar yang melibatkan lidah yang biasanya dimulai dengan ucapan terkenal: “Ada yang bilang..” atau “Katanya sih..”?!
Sebagai seorang muslimah –para wanita dianggap memiliki kecerdasan literal lebih dibandingkan pria, sehingga membuat mereka senang berbincang— merupakan hal vital untuk mengingat bahwa ghibah dan memfitnah adalah hal yang haram. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Hujurat: 12)
Bukan hanya karena hal tercela itu mengganggu masa depan kita di akhirat, tapi juga membuat tidak nyaman orang-orang di sekitar kita. Dapat menimbulkan permasalahan di berbagai tempat yang mungkin tidak pernah kita bayangkan untuk terjadi apabila kita tidak berhati-hati dalam berbicara. Ini mengingat, membicarakan kejelekan (aib) saudara dan saudari kita adalah hal terlarang; baik itu benar atau tidak.
Abu Hurairah menegaskan bahwa Rasulullah bertanya, “Tahukan kalian apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu kalian menyebut saudara kalian dengan hal-hal yang tidak dia senangi.” Lalu seseorang bertanya, “Bagaimana pendapat engkau apabila yang aku katakan itu ada pada diri saudaraku yang aku ceritakan itu?” Beliau menjawab, “Apabila yang engkau ceritakan itu ada pada diri saudaramu, maka engkau telah melakukan ghibah kepadanya. Dan apabila yang engkau katakan itu tidak ada pada diri saudaramu maka engkau telah mengada-ada tentangnya (memfitnahnya).”
Di dalam lingkungan sekolah dan kampus, sungguh begitu mudah terjerembab ke dalam jebakan godaan ghibah. Bahkan di beberapa tempat, popularitas malah bisa didapatkan dengan cara menyebarkan kekurangan dan kejelekan orang lain. Namun, apakah hal tersebut merupakan popularitas yang harus didapatkan seorang muslimah?
Setiap muslimah harus semaksimal mungkin menghindar untuk tidak berteman dengan orang-orang yang memperturutkan nafsu mereka dalam membicarakan hal-hal bersifat omong kosong. Harus diingat, apabila mereka membicarakan kejelekan-kejelekan orang lain di depanmu, maka mungkin mereka juga akan membicarakan aib-aib dirimu, suatu saat.
Namun sayangnya, sungguh terlalu mudah untuk melupakan berapa banyak dosa dilakukan dikarenakan kita menggunjing, ngegosip, dan memfitnah ketika kita berada di dalam sekelompok pertemanan. Karena biasanya setiap orang di dalamnya suka memaksa temannya untuk menyebarkan informasi tentang orang lain. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab mengapa kita diharuskan berteman dengan seseorang yang bisa membantu kita untuk selalu mengingat Allah dan takut kepada-Nya. Karena teman yang baik dianalogikan Rasulullah dengan seorang penjual minyak wangi yang bisa menularkan harumnya kepada kita. Sementara teman yang buruk seperti pandai besi yang bisa membuat baju kita terbakar.
Kata-kata bukan hanya ‘sekedar kata-kata’. Lebih dari itu, memiliki bobot yang mempengaruhi interaksi kite dengan orang lain. Kata-kata bisa dengan mudah meluncur dari bibir, namun ternyata sulit untuk dikembalikan lagi. Dengan demikian, takutlah kepada Allah, cintai sesama muslim, dan jagalah lidah. Hal ini sebagaimana sabda Rasul, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berbicara yang baik atau diam.” (HR. Al-Bukhari).
Kendati demikian, memang dalam kondisi-kondisi tertentu, Islam membolehkan ghibah. Seperti, meminta pertolongan untuk mengubah kemungkaran dengan cara menceritakan hal-hal buruk orang lain kepada seseorang yang dianggap bisa mengubahnya. Lalu orang yang dizalimi bisa menceritakan kepada hakim tentang kezaliman seseorang. Bercerita kepada mufti untuk meminta fatwa. Kemudian memperingatkan kaum muslimin dari kejahatan seseorang. Dan tidak berdosa apabila kita menceritakan seseorang yang terang-terang berbuat dosa.
Di luar hal-hal di atas, maka ghibah dilarang. Namun ironisnya, dalam tayangan-tayangan televisi dan majalah-majalah yang ada, gosip saat ini sudah menjadi lahan komersial. Sehingga saat ini ngomongin orang sudah menjadi hal biasa.
Saking banyaknya keterangan agama yang melarang ghibah, maka sangat disayangkan jika ada muslimah yang gemar menggunjing. Tanpa terasa, bus yang saya tumpangi pun sudah semakin mendekat ke kantor. Saya pun bersiap-siap untuk turun. Perenungan tentang obrolan dan curhatan kedua remaja putri itu harus diakhiri. Tak terima rasanya jika ada perempuan berjilbab tapi gemar menggunjing, hati berguman, “Muslimah ghibah?! Plis deh ah!” [ganna pryadha/voa-islam.com]