KETAHUILAH bahwa sesungguhnya taklid adalah menerima perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya. Tidak diragukan lagi, taklid dilakukan tanpa ilmu, dan seorang muqallid (orang yang taklid) tidak disebut sebagai orang berilmu. Oleh karena itu, para ulama melarang orang-orang taklid kepada mereka. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyatakan bahwa setiap orang, perkataannya dapat diterima dan ditinggalkan, kecuali Rasulullah.
Tak sedikit ulama yang melarang pengikutnya untuk taklid buta kepada mereka. Bahkan imam empat mazhab seringkali memotivasi pengikutnya untuk mengetahui argumen dan dalil dari setiap pendapat keagamaan, serta menjauhi taklid buta kepada mereka.
Imam Abu Hanifah mengatakan, “Setiap orang bisa menyanggah dan disanggah, kecuali penghuni kuburan ini.” Dia mengisyaratkan makam Rasulullah. Demikian pula dengan Imam Asy-Syafi’i yang menyatakan, “Apabila hadits itu shahih, maka ia adalah mazhabku.” Bahkan dia menegaskan, “Apabila perkataanku menyelisihi sabda Rasulullah, maka benturkanlah pendapatku itu ke permukaan tembok.” Dengan demikian, barangsiapa yang telah mengetahui secara jelas sunnah Rasulullah, maka dia tidak berhak berpaling darinya kepada perkataan orang lain.
...Dengan demikian, barangsiapa yang telah mengetahui secara jelas sunnah Rasulullah, maka dia tidak berhak berpaling darinya kepada perkataan orang lain...
Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Aku heran kepada suatu kaum yang telah mengetahui berbagai isnad (pernyataan Rasulullah) berserta keshahihannya, namun mereka lebih memilih pendapat Sufyan.” Bahkan, suatu ketika Imam Ahmad berkata kepada salah saeorang muridnya, “Janganlah engkau taklid kepadaku, kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, Ats-Tsauri. Akan tetapi ambillah dalil dari sumber mereka mengambil dalil.”
Abdullah bin Abbas mengungkapkan, “Hampir saja kalian ditimpa batu dari langit. Dikarenakan aku mengatakan: “Rasulullah bersabda,” namun kalian malah mengatakan: “Abu Bakar dan Umar berkata”.”
Jadi yang harus dilakukan seorang mukmin, sebagaimana diterangkan Syaikh Sulaiman bin Abdullah, adalah meyakini apa yang ada di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah dalam hal apa pun. Dia harus mengamalkan keduanya, kendati orang-orang menyelisihi keduanya. “Karena hal demikian diperintahkan Allah, Rasul-Nya, dan para ulama seluruhnya telah menetapkan konsensus tentang hal itu. Orang yang tidak meyakininya adalah orang-orang bodoh dan taklid. Mereka bukan orang berilmu,” urai Syaikh Sulaiman dalam Taisir Al-‘Aziz Al-Hamid (hlm. 546-547).
...Hendaklah berpegangan kepada atsar ulama salaf, meski manusia seluruhnya menyanggah engkau. Jauhkan dirimu dari pendapat-pendapat manusia, meski mereka menghiasinya dengan keindahan-keindahan...
Imam Al-Auza’i menambahkan, “Hendaklah berpegangan kepada atsar ulama salaf, meski manusia seluruhnya menyanggah engkau. Jauhkan dirimu dari pendapat-pendapat manusia, meski mereka menghiasinya dengan keindahan-keindahan.” Demikianlah, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah, “Barangsiapa kehilangan dalil (petunjuk), maka dia akan sesat di jalan.”
Dengan demikian, manhaj dan jalan yang harus ditempuh demi keselamatan akidah, ibadah, dan muamalah adalah menghindari taklid dan mengikuti dalil berdasarkan pemahaman para Rasulullah, para sahabat serta para pengikut beliau. Jangan sekali-kali berpaling kepada pendapat orang-orang yang menyelisihi mereka. [ganna pryadha/voa-islam.com]