Adalah suatu yang tidak mungkin bahkan tidak sehat untuk membuang semua perasaan marah. Yang jelas saya belum pernah menemukan cara untuk melakukannya. Akan tetapi ada perasaan yang dapat menghiburmu ketika kamu belajar menjinakkan amarahmu. Menjinakkan marah memang bukan suatu hal yang mudah, apalagi untuk kita para remaja yang emosinya kurang stabil.
Biasanya para remaja akan sangat senang berada di pihak pemenang, kita pasti akan berusaha untuk mencari kelemahan orang-orang yang mencari masalah pada kita dan selama kita mampu maka kita akan meluapkan rasa benci kita kepadanya. Akan tetapi justru di sinilah Allah menilai, apakah layak kita disebut ksatria atau tidak. Seorang ksatria adalah orang yang mampu menahan marahnya, akan tetapi jika tindakan mereka berlebihan, ia hanya membalasnya setimpal dengan perlakuan orang tersebut. Orang yang seperti ini akan mendapat jaminan dari Allah berupa kecintaan yang mendalam.
Rasulullah SAW bersabda: “Ada tiga hal yang jika dimiliki seseorang, ia akan mendapatkan pemeliharaan dari Allah, akan dipenuhi dengan rahmat-Nya, dan Allah akan senantiasa memasukkannya dalam lingkungan hamba yang mendapatkan cinta-Nya, yaitu (1) seseorang yang selalu bersyukur manakala mendapat nikmat dari-Nya, (2) seseorang yang mampu meluapkan amarahnya tetapi mampu memberi maaf atas kesalahan orang, (3) seseorang yang apabila sedang marah, dia menghentikan marahnya.” (HR. Hakim).
Ketika kita menghadapi sesuatu hal yang memancing emosi, manusia dapat dibedakan menjadi tiga tipe. Pertama, orang yang tidak merasa marah padahal penyebabnya ada. Kedua, orang yang merasa marah tetapi mampu menahan amarahnya dan mau memaafkan. Sedang ketiga, mereka yang merasa marah, mampu menahan marah, tapi tidak bisa memaafkannya.
Kita semua tahu karakter yang paling baik dari ketiga tipe tersebut adalah yang pertama. Orang-orang yang seperti inilah yang telah memiliki hilm, sifat sabar yang sangat besar. Sifat yang telah dimiliki Nabi yang telah dibuktikan dalam berbagai peristiwa.
Rasulullah SAW bersabda, “Maukah aku ceritakan kepadamu tentang sesuatu yang menyebabkan Allah memuliakan bangunan dan meninggikan derajatmu? Para sahabat menjawab, “tentu.” Rasul bersabda, “Kamu bersikap sabar (hilm) kepada orang yang membencimu, memaafkan orang yang berbuat zalim kepadamu, memberi kepada orang yang memusuhimu, dan menghubungi orang yang telah memutuskan silaturrahim denganmu.” (HR. Thabrani).
…Kita boleh marah tapi jangan terbawa oleh perasaan marah. Berusahalah untuk bersabar dan saling memaafkan. Yakinlah bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang sabar…
Dalam ajaran Islam membalas itu tidak terlarang, akan tetapi memaafkan itu lebih baik.
Suatu hari ‘Aisyah RA yang tengah duduk santai bersama suaminya, Rasulullah SAW, dikagetkan oleh kedatangan seorang Yahudi yang minta izin masuk ke rumahnya dengan ucapan “assamu ’alaikum” (kecelakaan bagimu) sebagai ganti ucapan “assamu ’alaikum kepada Rasulullah.
Tak lama kemudian datang lagi Yahudi yang lain dengan perbuatan yang sama. Ia masuk dan mengucapkan “assamu ’alaikum.” Jelas sekali bahwa mereka datang dengan sengaja untuk mengganggu ketenangan Rasulullah. Menyaksikan pola tingkah mereka, Aisyah gemas dan berteriak: Kalianlah yang celaka!
Rasulullah tidak menyukai reaksi keras istrinya. Beliau menegur, Hai ‘Aisyah, jangan kau ucapkan sesuatu yang keji. Seandainya Allah menampakkan gambaran yang keji secara nyata, niscaya dia akan berbentuk sesuatu yang paling buruk dan jahat. Berlemah lembut atas semua yang telah terjadi akan menghias dan memperindah perbuatan itu, dan atas segala sesuatu yang bakal terjadi akan menanamkan keindahannya. Kenapa engkau harus marah dan berang?”
“Ya Rasulullah, apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan secara keji sebagai pengganti dari ucapan salam?”
“Ya, aku telah mendengarnya. Aku pun telah menjawabnya “wa’alaikum” (juga atas kalian), dan itu sudah cukup.”
… Rasulullah SAW menunjukkan kepribadian yang matang dan dewasa dalam menghadapi berbagai keadaan, sehingga tidak mudah terpancing amarahnya…
Rasulullah SAW memberikan pelajaran berharga pada istrinya dan begitu pula pada kita umatnya. Beliau telah menunjukkan suatu kepribadian yang matang dan dewasa dalam menghadapi berbagai keadaan, sehingga tidak mudah terpancing amarahnya.
Perkataan ‘Aisyah sebenarnya tidak salah dan masih dalam batas kewajaran. Ia tidak berlebihan hanya membalas secara setimpal apa yang mereka ucapkan. Akan tetapi Rasulullah belum berkenan terhadap ucapan istrinya. Rasulullah mengajarkan mengendalikan diri. Jika kita berniat membalasnya, maka balasan itu hendaknya setimpal, tidak boleh berlebihan. Pilihlah kata-kata yang tegas, lugas, tapi tetap sopan, walaupun dengan orang yang jelas-jelas memusuhi kita.
Rasulullah SAW sangat bisa membalas ucapan keji orang Yahudi. Apalagi saat itu Rasulullah bukan saja sebagai pemimpin, tapi sekaligus merupakan kepala negara yang berkuasa. Apa susahnya membalas orang yang menghinanya, sedang menjebloskan mereka ke tahanan saja itu merupakan haknya. Tapi Rasulullah sebagai manusia agung memilih untuk memberi balasan yang secukupnya.
Keperkasaan seseorang tidak bisa diukur dari kekuatan fisiknya. Orang yang jantan, bukan mereka yang ahli bertinju, bukan mereka yang di setiap pertandingan tak terkalahkan. Menurut determinasi Islam orang yang kuat adalah mereka yang di kala marah bisa menahan dirinya. Rasulullah bersabda, “Bukan dikatakan pemberani karena seseorang cepat meluapkan amarahnya. Seorang pemberani adalah mereka yang dapat menguasai diri (nafsu)-nya sewaktu marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sahabat, kita boleh marah tapi jangan sampai kita yang terbawa oleh perasaan marah. Berusahalah untuk bersabar dan saling memaafkan. Tetap yakin bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang sabar. [laras/voa-islam.com]