Pernah nggak kamu memasuki sebuah ruangan yang awalnya kamu kira salah satu kamar hotel bintang lima tapi ternyata perpustakaan? Wah….mimpi kali yee kalo sampai ada ruangan seindah itu. Ruang perpustakaan umumnya kan membosankan, penuh dengan buku-buku berdebu, kursi-kursi tua yang reyot, pengunjung dan penjaganya pun sama-sama bermuka masam.
Perpustakaan yang ini beda. Selain dilengkapi taman, pemandian dan ruang rekreasi, perpustakaan ini juga dilengkapi cafeteria dan tempat menginap. Bukan itu saja, para penuntut ilmu yang datang dari seluruh penjuru negeri dan luar negeri juga mendapat uang saku. Jadi tak perlu jauh-jauh keluar dari ruangan apabila perut merasa lapar, badan kegerahan atau tubuh yang butuh istirahat. Bahkan ada pelayan juga yang siap melayani kebutuhan para penuntut ilmu. Semuanya ‘one stop shopping’ dalam satu lokasi. Hebatnya lagi, semua fasilitas tersebut di atas tanpa dipungut biaya alias gratis.
Mungkin sebagian dari kamu menganggap semua ini hanya khayalan saja. Tapi ini bukan sekadar angan-angan atau mimpi semata. Semua ini tercatat indah dalam tinta sejarah yang seringkali disembunyikan oleh pihak-pihak yang tak menginginkan masa keemasan ini kembali lagi. Ya…masa kegemilangan ini ada pada sistem Islam bernama Khilafah ketika mencapai puncak kejayaannya. Perpustakaan baik milik pemerintah maupun swasta tak ada bedanya, semua saling berlomba memberikan pelayanan terbaik bagi penuntut ilmu.
Di sebuah daerah bernama Karkar dekat kota Baghdad terdapat sebuah istana yang megah dan indah sekali milik Ali bin Yahya bin al-Munajjim. Istana itu memiliki lemari besar yang dinamakan “Khizanatul Hikmat” (almari hikmah) untuk menyimpan kitab-kitab. Siapa pun yang datang untuk menimba ilmu di perpustakaan tersebut, bukannya ditarik bayaran tapi malah diberi bayaran. Orang tak perlu pusing memikirkan biaya mahalnya menuntut ilmu. Itu hanya satu milik swasta atau individu di antara sekian banyak perpustakaan lainnya.
Uniknya, sebuah perpustakaan biasanya berfungsi sebagaimana layaknya universitas karena di tempat itu terjadi yang namanya diskusi dan dialog. Jadi aktivitas yang ada bukan cuma membaca dan mencatat saja, tapi juga menulis dan menghasilkan karya. Hebatnya lagi, bukan cuma masalah akidah dan fiqih yang dibahas tapi juga masalah ilmu pengetahuan lainnya dan juga sastra. Saat itu tidak dikenal yang namanya sekulerisme atau pemisahan agama dari kehidupan. Jadi semua orang cinta belajar Islam sebagaimana mereka juga senang belajar ilmu pengetahuan semisal astronomi, matematika, fisika, kedokteran, dan lain-lain.
Karena tak ada penyakit sekulerisme inilah, setiap orang selalu merasa diawasi oleh Allah langsung. Hal ini meminimalkan kecurangan sehingga sebuah perpustakaan tak segan meminjamkan koleksi-koleksi bukunya yang berharga sampai 200 buku untuk dibawa pulang ke rumah tanpa jaminan apa pun! Bandingkan dengan zaman sekarang yang hanya untuk meminjam satu buku saja maka harus meninggalkan KTP dan sejumlah uang sebagai jaminan.
…Perpustakaan ini dilengkapi taman, pemandian, ruang rekreasi, cafeteria dan tempat menginap. Bahkan para penuntut ilmu yang datang dari seluruh penjuru negeri dan luar negeri juga mendapat uang saku…
Satu hal yang harus ditiru oleh banyak perpustakaan yang mengaku dirinya hebat saat ini adalah dekatnya banguan masjid bahkan menjadi satu dengan perpustakaan. Sehingga tidak ada ceritanya orang keasyikan membaca buku sampai lupa shalat atau beralasan tidak mendengar azan. Apa pun aktivitasnya, semua dihentikan bila adzan berkumandang dan siap-siap menunaikan shalat.
Bercermin dari hal di atas, masa sih kita tidak rindu memiliki perpustakaan serupa itu? Kepedulian terhadap kondisi perpustakaan adalah cermin sebuah bangsa, seberapa besar tekadnya dalam menghargai ilmu pengetahuan. Dan sungguh, tak ada peradaban mana pun yang melebihi Islam dalam menjunjung tinggi ilmu pengetahuan serta orang-orang yang menuntut ilmu. Wallahu ‘alam. [riafariana/voa-islam.com]