By: Ria Fariana
Setelah kontes idol-idol remaja tergusur pamornya, kini kontes Idola Cilik muncul memberi warna baru pada tayangan TV Indonesia. Dengan peserta anak-anak usia 7–12 tahun, sebuah stasiun TV swasta berusaha menjaring potensi olah vokal adik-adik kita. Tak terhitung banyaknya calon peserta yang mendaftar untuk audisi, berharap terpilih agar bisa tampil di panggung pertunjukan di Jakarta.
Menjadi terkenal dan banyak uang, adalah jawaban seragam yang diberikan oleh adik-adik kita yang begitu bernafsu mengikuti audisi. Mimpi ini sengaja ditanamkan ke benak hampir semua anak-anak Indonesia. Sukses dan kaya secara instant menjadi cita-cita mengalahkan keinginan untuk menjadi dokter, guru, arsitek, dll. Modal tampang dan sedikit kemampuan yang sudah dipoles sana-sini jauh lebih menjanjikan rupiah daripada otak cerdas dan cemerlang. Apalagi berbicara akhlak, jauh banget dah.
Apa sih sebetulnya penyebab adik-adik kita ini kehilangan kelucuan dan keluguannya? Kita bahas yuk, agar jangan semakin banyak adik-adik kita menjadi korban. Yuuukkk!
Adik-adik lugu, tapi masih labil
Usia yang dibidik pihak produser adalah usia dini yang masih sangat labil. Usia yang masih hijau untuk mengerti sebuah makna idola dan diidolakan. Pada usia ini anak-anak cenderung pasrah akan dibentuk menjadi apa dan siapa oleh orangtua dan lingkungannya.
Anak-anak adalah kertas putih yang polos dan bersih. Ia akan mudah sekali ‘ditulisi’ oleh sesuatu: bisa baik dan buruk. Ia akan menerima apa saja yang diberikan oleh orang lain terhadap dirinya. Daya tolak mereka lemah sekali.
… Anak-anak ini mudah sekali menjadi korban hasrat orangtua yang terpendam. Bila orangtuanya tidak bisa menjadi terkenal, maka anaknya saja yang dipersiapkan menjadi selebritis…
Anak-anak ini mudah sekali menjadi korban hasrat orangtua yang terpendam. Bila orangtuanya tidak bisa menjadi terkenal, maka anaknya saja yang dipersiapkan menjadi selebritis. Bila orangtuanya tidak bisa bernyanyi, maka anaknya saja yang diikutkan les menyanyi dan ikut lomba ini dan itu agar menang dan terkenal. Syukur-syukur ada produser yang tertarik untuk mengajak rekaman. Lebih hoki lagi bila ada pencari bakat yang mengajak anaknya main sinetron. Wuih…pundi-pundi uang orangtuanya bisa dipastikan akan penuh sesak tuh.
Lucunya, saat ada orang yang peduli dan prihatin dengan kondisi ini, malah dengan entengnya orangtua si anak yang sudah silau dengan uang menjawab, “Ah, itu kan pendapat orang-orang yang iri dengan popularitas anak saya. Itu karena anaknya tidak mempunyai kesempatan untuk menjadi kaya dan terkenal.”
Orangtua seperti ini tak lagi memikirkan kebutuhan anak. Kebutuhan asasi yang dipunyai seorang anak adalah kebutuhan bermain dan berkembang dengan maksimal dalam koridor yang positif. Bagaimana mungkin seorang anak bisa berkembang dengan alami dan maksimal bila sejak kecil ia sudah berkenalan dengan sejumlah make-up, dandanan meniru orang dewasa, aktivitas bejibun seputar konser sana-sini, pemotretan dan syuting sana-sini, dll.
Anak-anak ini kehilangan ruang pribadinya, waktu bermain dan mudah stress atau tertekan karena berada di area dewasa secara mendadak. Apalagi bila umur popularitas itu tak bertahan lama, maka hal ini akan menyebabkan si anak merasa kehilangan perhatian dari khalayak. Peran orangtua dalam hal ini sangat besar dalam membentuk kepribadian anak, apakah akan menjadi sosok rapuh dan semu ataukah menjadi pribadi yang tangguh dan kokoh.
Adik kecil sebagai korban
Idola Cilik menciptakan sebuah dunia lain yang penuh imitasi, semu, dan palsu. Anak-anak pun menjadi besar dalam balutan tubuh yang kecil. Mereka dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya. Mereka menjadi ?orang dewasa mini’. Menurut seorang psikolog perkembangan anak dari UI, anak-anak seperti ini mengalami loncatan kehidupan dari bermain menjadi bekerja. Gimana nggak, bila sebagian besar waktu mereka habis di lokasi syuting mulai dari persiapan konser, latihan-latihan, permintaan iklan, rekaman untuk nada sambung, atau bahkan main sinetron. Nggak jarang mereka harus bekerja hingga larut malam bila jadwal sudah sedemikian padat. Tak peduli badan yang sudah sangat lelah hingga suara serak dan habis, jadwal syuting harus tetap dijalankan.
… Idola Cilik menciptakan sebuah dunia lain yang penuh imitasi, semu, dan palsu. Anak-anak pun menjadi produk karbitan demi nafsu serakah oknum-oknum budak kapitalis…
Mereka menjadi produk karbitan demi nafsu serakah oknum-oknum budak kapitalis. Gimana nggak, lagu-lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu yang sangat tidak sesuai dengan usia dan perkembangan jiwa anak-anak. Di bawah ini saya kutip dari sebuah mailing list yang prihatin terhadap fenomena idola cilik ini. Berikut tingkah mereka:
“Tak pelnah kulagu dan slalu kuingat kelingan matamu dan sentuhan hangat. Saat itu aku telbawa cinta. Menghilup lindu yang sesakkan dada.. [dinyanyiin sama keponakannya Mona Ratuliu, Kisha]
Yang lebih mengenaskan adalah lirik lagu di bawah ini yang dinyanyikan dengan cadel pula: “Otakmu seksi, itu telbukti dali calamu memikilkan aku. Bibilmu seksi, itu telbukti dali calamu mencium pipiku. Kamulah mahluk Tuhan yang telcipta yang paling seksi. Cuma kamu yang bisa membuatku telus menjelit. Aw aw aw ah ah ah…aw aw aw ih ih ih …” Ancur deh!
Jangankan dinyanyikan oleh anak kecil, sedangkan judul lagunya aja sudah cukup untuk bikin kita merinding. Belum lagi aksi penyanyi aslinya di video klip yang udah terkategori pornografi itu. Bisa dipastikan adik-adik kecil itu telah menontonnya berulang-ulang sebelum akhirnya bisa menghafal lirik lagunya. Sedih rasanya memikirkan sosok generasi mendatang bila fenomena seperti ini yang dijadikan idola.
Sungguh menggiriskan hati. Adik-adik kita menjadi korban dari sebuah gaya hidup fana dan semu. Masih belum puas merusak remaja, perempuan dan ibu atau mama kita dieksploitasi sedemikian rupa, eh adik-adik pun dimangsanya pula. Bukan tak mungkin esok atau lusa, nenek-nenek kita atau bahkan bayi-bayi yang imut diembat juga selama itu bisa mendatangkan materi. Dasar kapitalis!
Materi ini pula yang menjadi penyangga gaya hidup semu ini. Karena sesungguhnya ideologi yang diemban juga nggak jauh-jauh dari sini, Kapitalisme. Kapital atau modal adalah hal yang dikejar dan dipuja melebihi apapun juga. Ditunjang dengan akidah berupa sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), klop sudah ideologi ini merajalela melahap generasi muda untuk menuju jurang kebinasaan. Duhh… akankah semua ini dibiarkan saja?
Idola cilik sejati
Dunia anak adalah dunia bermain, berteman dan belajar memahami sesuatu dari sudut pandang yang baik saja. Nggak boleh mengganggu teman, patuh pada orangtua, rajin belajar demi cita-cita, dan yang utama adalah mengenal Allah dan RasulNya. Inilah seharusnya dunia anak-anak. Dunia yang dibangun penuh keceriaan di atas fitrah kanak-kanak mereka, tanpa polesan yang akan merusak jiwa mereka.
Peradaban yang dibangun di atas pondasi yang rusak pastilah menghasilkan generasi semu seperti halnya adik-adik kita di atas. Peradaban yang dibangun di atas pondasi kuat dan kokoh, pastilah menghasilkan generasi tangguh dan kuat pula. Peradaban mulia ini adalah Islam dengan segenap kisah anak-anak teladan yang seharusnya menjadi idola sejati adik-adik kita.
…Peradaban yang dibangun di atas pondasi yang rusak pastilah menghasilkan generasi semu yang rusak…
Ali bin Abi Thalib adalah seorang sahabat Rasulullah yang paling muda. Beliau ini masuk Islam di saat usianya masih 8 tahun. Saat itu ia datang ke hadapan Rasulullah untuk menyatakan dirinya beriman pada Allah dan RasulNya. Tapi Rasulullah sempat menyuruhnya pulang untuk meminta ijin kepada kedua orangtuanya lebih dulu karena usianya yang masih sangat belia. Namun apa jawab Ali ra?
“Ya Rasulullah, bila dulu Allah menciptakanku tidak perlu izin dari kedua orangtuaku, mengapa pula ketika aku ingin beriman padaNya harus meminta ijin pula?” Keren jawabannya!
Tidak berhenti di situ aja, setiap Rasulullah saw. berceramah dan menyampaikan wahyu serta mengadakan majelis ilmu, Ali bin Abi Thalib yang masih sangat imut itu selalu berada di barisan terdepan untuk mendengarkan. Ali pun menjadi tempat rujukan para sahabat lain yang usianya jauh lebih tua bila mereka menginginkan pendapat dan nasihat.
Bila di kalangan cowok ada anak-anak sekaliber Ali bin Abi Thalib, di kalangan cewek ada sebuah nama indah yaitu Asma binti Abu Bakar. Beliau ini dijuluki sebagai Dzatun Nithaqain atau wanita yang memiliki dua ikat pinggang. Itu karena ikat pinggang yang biasa dipakainya, ia belah menjadi dua supaya beban yang ada di atasnya menjadi ringan dan bisa digunakan untuk menyembunyikan makanan dan minuman yang akan dibawa ke gua Hira untuk Rasulullah saw. dan ayahnya ketika hijrah.
Tidak itu saja, ketika Asma masih kanak-kanak pun, jiwa keberanian itu telah nampak pada dirinya. Satu hari, Abu Jahal mendatanginya untuk membujuknya agar mau membuka rahasia di mana posisi ayahnya berada. Tetapi meskipun ia masih kecil, rasa tanggung jawab telah kokoh pada dirinya. Ia tahu apa pun yang keluar dari bibirnya, hal itu akan membahayakan posisi ayahnya dan Rasulullah saw., maka ia memilih diam ketika ditanya dan dibujuk oleh Abu Jahal. “Saya tidak tahu”, adalah jawaban yang diberikannya. Karena keteguhannya memegang tanggung jawab, Abu Jahal pun menampar Asma dengan keras hingga anting-antingnya jatuh. Subhanallah banget tuh!
… Jangan heran bila kondisi bangsa ini tak akan pernah bangkit bila bibit yang ditanam adalah selevel Idola Cilik yang di benaknya cuma popularitas semu dan uang…
Bandingkan dua kisah ini dengan ‘perjuangan’ adik-adik kita di Pentas Idola Cilik. Bila sudah, sekarang bayangkan masa 20 tahun ke depan ketika mereka ini sudah menjadi besar dan dewasa. Jangan heran bila kondisi bangsa ini tak akan pernah bangkit bila bibit yang ditanam adalah selevel Idola Cilik yang di benaknya cuma popularitas semu dan uang. Jangan heran pula bila nantinya mereka memegang tampuk jabatan sebagai pimpinan negara, maka popularitas dan uang pula yang menjadi tujuan, bukan kesejahteraan rakyat.
Apa peran kita?
Kita nggak akan pernah rela membiarkan perusakan generasi ini berjalan mulus-mulus saja. Kita nggak mau dong adik-adik kecil kita menjadi mangsa kaum kapitalis yang cuma uang dan materi saja tujuannya. Harus ada langkah nyata dilakukan untuk perubahan.
How? Mulai dari diri sendiri dulu dengan sadar bahwa ini semua adalah perangkap dan bagian dari penjajahan bentuk halus. Terus, sadarkan adik-adik kita, keponakan-keponakan kita, anak-anak tetangga plus ortunya tentu saja. Karena yang namanya anak kecil, pembinaan utama masih di tangan orangtua dan guru bagi yang sudah sekolah. Bisakah dikerjakan sendiri-sendiri? Kayaknya nggak mungkin deh. Kita butuh berjamaah, kita butuh bekerjasama, kita butuh saling percaya, dan kita butuh persatuan. Semua itu hanya ada dalam ikatan akidah dan ukhuwah Islamiyah yang kuat nan kokoh.
… Idola cilik sejati kita persiapkan sejak dini supaya kelak, mental dan karakternya kuat dan tangguh dalam balutan akidah Islam dan tuntunan syariatnya…
Yuk, kita sama-sama bahu-membahu untuk menyadarkan umat. Kita campakkan kapitalisme dan sekularisme, terus ambil Islam saja sebagai solusi pembentukan generasi cerdas dan berkualitas. Idola cilik sejati kita persiapkan sejak dini supaya kelak, mental dan karakternya kuat dan tangguh dalam balutan akidah Islam dan tuntunan syariatnya.
Sobat, kita punya Islam yang akan menjadikan pemeluknya berwibawa dan punya harga diri. Bukan Islam sebatas ritual aja, tapi Islam sebagai sistem hidup dan ideologi. Bila ini yang diterapkan, ditanggung pasti populer di dunia-akhirat, insya Allah. Ditanggung pasti oke dah. So, idola cilik? Boleh, tapi dengan standar Islam saja ya sebagai ukurannya. Seeepppp ah! [voa-islam.com]