By: Reno Ismanto
Suatu hari penulis menghadiri sebuah acara training dan talkshow. Acara ini memang menarik saya, karena temanya sesuai dengan kondisi saya yang mulai malas-malasan belajar.
Saat itu, sebelum acara dimulai, sebagian peserta yang hampir 2/3 adalah wanita, masih berada di luar ruang ruangan. Acara yang dijadwalkan dimulai jam 9 agak molor disebabkan keterlambatan ‘bapak-bapak’ yang akan menyampaikan kata pengantar atau sekedar sambutan di sesi pertama (pembukaan) acara ini. Adapun sesi kedua adalah penyampaian materi.
Ketika itu saya merasa cukup tidak ‘nyaman’ (mata dan hati) menyaksikan cukup banyak mahasiswi yang berpakaian, menurut saya, terlalu berlebihan. Berjilbab gaul, tetapi baju dan celana jeans yang mereka pakai sangat ketat. Sehingga, ya begitu, siapapun yang memandang bisa langsung tahu bentuk dan lekuk-lekuk tubuh mereka (minta maaf kalau kurang sopan). Saya kemudian berpikir, oh mungkin karena saya jarang hadir dalam acara-acara yang semisal ini, yang mengumpulkan orang dari berbagai macam ‘background’. Atau mungkin selama ini yang saya saksikan adalah lebih banyak mahasiswi-mahasiswi Melayu yang memakai baju kurung.
Terlepas dari faktor keterkejutan saya itu, saya kira semua akan sepakat bahwa ada ketenangan dan kesejukan tersendiri ketika kita menyaksikan seorang wanita yang berjilbab dan berpakaian sesuai dengan yang Islam tuntunkan.
Adapun faktor yang mendorong mereka berperilaku demikian bisa beragam. Bisa jadi mereka hanya ikutan-ikutan; yang penting berjilbab, terpengaruh oleh tren, takut dijauhi, dll. Jadi ada faktor dari dalam diri dan ada faktor dari luar.
Faktor dari dalam ini, yaitu berupa pemahaman yang mendalam dan didasari oleh keimanan yang teguh, adalah hal pertama dan terpenting. Mereka yang paham bahwa tuntunan Islam untuk berjilbab adalah bukan sekedar masalah fashion tetapi bentuk ketaatan dan sumber aliran deposit pahala, akan lebih konsisten bertahan dengan ‘pilihannya’. Karena ketika melakukan sebaliknya, mereka akan berpikir bahwa setiap saat itu mereka melanggar perintah-Nya. Di sinilah pentingnya penanaman keimanan, percaya bahwa setiap perilaku ada konsekuensinya.
Tidak kalah pentingnya adalah penanaman pemahaman akan hikmah dan tujuan diwajibkannya jilbab bagi wanita muslimah. Al-Qur'an menjelaskan bahwa di antara hikmah pensyariatan jilbab adalah agar wanita muslimah lebih mudah dikenali dan tidak mendapat perlakuan buruk. Jadi, jilbab terkait dengan identitas. Dan tentunya identitas sangat terkait erat dengan kehormatan, posisi seseorang dan cara pandang orang lain kepada seseorang tersebut. Inilah cara Islam ingin memuliakan wanita. Coba apa yang anda pikirkan ketika anda berjalan di jalan dan berpapasan dengan wanita yang memakai baju ‘anaknya’ dan celana yang ‘belum jadi’. Memang akan ada yang mengatakan bahwa ia menikmati pemandangan itu, tapi jika ia jujur untuk menjawab bagaimana pendapatnya tentang wanita tersebut, maka jawabannya adalah wanita murah. Siapa yang mau disebut wanita murah? Tentu tidak ada.
Permasalahanya, wanita muslimah sekarang ini sedikit yang pemahamannya sampai kepada tingkatan ini. Ada juga yang sudah mengerti, paham, akan tetapi tidak kuat dengan budaya di lingkungannya. Ilmunya ‘keok’ ketika diadukan dengan ketakutan-ketakutannya untuk tidak ‘terasingkan’ atau ketakutan-ketakutannya untuk tidak diminati oleh kaum Adam. Maka pengetahuan saja tidak menjamin seseorang bisa konsisten berjilbab yang syar’i.
Terkait dengan faktor dari luar, ada satu hal yang sangat penting untuk dipahamkan kepada para wanita. Yaitu tujuan dari iklan-iklan yang kemudian ini secara perlahan-lahan ingin dijadikan budaya di masyarakat. Mereka perlu mempertanyakan apakah betul bahwa cantik, anggun, menarik adalah seperti yang digambarkan oleh media-media; berpakaian tetapi memamerkan aurat, berpakaian tetapi tubuh mereka masih terlihat jelas. Apakah betul demikian? Sekali lagi, tanya dan jawab dengan jujur. Atau jangan-jangan itu hanya alat mereka untuk meyakinkan orang agar mau membeli produk mereka.
Kita patut bertanya, kenapa wanita ada dalam iklan rokok, iklan minuman, dsb. Apa hubungannya rokok dengan wanita? Tidak ada. Di sinilah cerdasnya mereka. Mereka tau bahwa wanita memiliki daya tarik sendiri untuk menjadikan suatu produk terlihat bagus. Jadi, ditampilkannya wanita dalam iklan-iklan tersebut, dengan berpakaian tidak islami, hanyalah sebagai alat. Coba lihat ketika ada lowongan pekerjaan, yang tertulis adalah dicari wanita dengan penampilan ‘menarik’. Dan hampir dalam banyak hal wanita hanya dijadikan alat.
Di saat yang sama, mereka ingin membodohi orang-orang bahwa fashion yang dikenakan oleh wanita dalam iklan yang ditampilkan tersebut adalah fashion yang paling bagus dan sesuai dengan ‘zaman’. Dan sangat disayangkan sedikit yang mencoba agak kritis melihat ini. Mereka ‘mengamini’ saja apa yang didiktekan kepada mereka. Mereka tidak sadar bahwa ada hubungan yang kuat antara bisnis dan wanita. Wanita menjadi ‘pemoles’ terampuh untuk memperlancar penjualan produk atau hanya dijadikan pembeli, untuk tidak mengatakan korban. Pakaian-pakaian murahan tersebut dipromosikan sebagai pakaian paling trendi, modis dan membuat wanita tampil cantik lagi ‘menawan’. Mereka diyakinkan seperti itu, lalu mereka membeli.
Memang berat bagi wanita muslimah untuk konsisten dengan ajaran islam ini di tengah derasnya budaya-budaya non islami yang subur berkembang. Belum lagi pemikiran-pemikiran menyimpang tentang syariat jilbab dari sebagian sarjana Islam yang dipromosikan di media-media lokal yang berpengaruh. Maka, beruntunglah anda yang ghuraba, terasing karena teguh memegang ajaran-Nya.
Beruntunglah wanita yang paham akan indahnya syariat jilbab sebagai bagian ajaran Islam. Bahwa Islam ingin memuliakan wanita. Ia tidak membiarkan wanita bisa dinikmati begitu saja, oleh siapa saja. Wanita dihormatkan dengan fungsinya sebagai pendamping suami, ibu sekaligus pendidik bagi anak-anak dan anak yang melahirkan cucu yang dibanggakan bagi kedua orang tua dan keluarganya.
Beruntunglah wanita yang paham bahwa ia semakin cantik dan dihormati dengan berjilbab sesuai dengan syariat. Yang yakin bahwa keridhaan Tuhannya adalah melebihi segalanya. Yang yakin bahwa ‘penerimaan’ dari manusia tidak semestinya menggiring ia untuk melanggar perintah-Nya. Yang yakin bahwa suami yang terbaik telah disiapkan untuknya, karena ia mentaati-Nya.
Kalau orang berkata, ya lumayanlah daripada tidak berjilbab sama sekali. Maka mari kita jawab, kalau bisa lebih baik dari itu kenapa tidak. Kalau ada emas sepuluh keping di hadapan kita, kenapa hanya mengambil satu?
Semoga Allah melapangkan hati kita untuk memahami ajaran-Nya dan mengamalkanya dengan konsisten hingga akhir hidup. Amiin. [voa-islam.com]