View Full Version
Sabtu, 28 Dec 2013

Kisah Masjid Baiturrahim Ulee Lheue & Refleksi 9 Tahun Tsunami Aceh

ACEH (voa-islam.com) - TSUNAMI yang terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004 silam merupakan peristiwa bersejarah paling kelam sepanjang abad 20. Bencana dahsyat itu telah menewaskan lebih dari 160.000 jiwa. Semua warga Aceh belum bisa melupakan peristiwa besar ini.

Banyak cerita nyata yang terselip bahkan tak bisa diterima logika. Satu dari sekian banyak cerita nyata itu adalah Masjid Baiturrahim. Keganasan tsunami tak mampu meluluhlantakkan Masjid yang terletak persis di bibir pantai Ulee Lheue itu.

Berdiri kokoh di bekas amukan tsunami, Masjid Baiturrahim, Ulee Lheu, Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, menyimpan sejarah panjang yang unik dan heroik.
 
Kisah Ajaib Masjid Baiturrahim Ulee Lheue Aceh


Azan baru saja berkumandang, pertanda salat segera dimulai di Masjid Baiturrahim. Warga berbondong-bondong memasuki Rumah Allah untuk salat berjamaah. Usai salat, sebagian warga melanjutkan dengan beri’tikaf. Begitulah aktivitas Masjid ini setiap hari.
 
“Salat lima waktu secara berjamaah selalu kami gelar di sini. Bahkan pada hari terjadinya tsunami (26 Desember 2004), kami juga menggelar salat Zuhur berjamaah di sini,” tutur Subhan (31), pengurus Masjid Baiturrahim.

 
Masjid Baiturrahim menjadi saksi bisu keajaiban tsunami Aceh 9 tahun silam. Saat ombak raksasa menghumbalang, masjid yang hanya terpaut bebrapa meter dari laut itu, tetap tegak berdiri di Ulee Lheu. Sementara bangunan di sekelilingnya rata dengan tanah.
 
Ulee Lheu merupakan salah satu kawasan padat di Banda Aceh, dengan jumlah penduduk mencapai 6.000 jiwa. Saat tsunami menerjang, lebih dari separuh penduduknya menjadi korban. Empat dusun pun raib usai gelombang surut.
 
“Hari itu saya melihat Ulee Lheu antara percaya dan tidak. Seperti dalam mimpi. Semua rata dengan tanah, satu-satunya bangunan selamat hanya masjid ini,” kenang Subhan.
 
 
Banyak warga menyelamatkan diri dengan menyesaki lantai satu dan dua masjid ketika tsunami melanda. Maut mengintai, mereka satu-satu diseret arus ke luar dan hilang ditelan pekatnya air bah. Hanya sembilan orang yang berhasil naik ke atap selamat.
 
Menurut korban selamat, ada tiga gelombang tsunami menerjang Masjid baiturrahim pascagempa berkekuatan 9 skala richter itu. Setiap gelombang selalu pecah saat menimpa masjid, kemudian bergulung-gulung melumat bangunan-bangunan yang ada di sekelilingnya. Tinggi gelombang mencapai atap masjid atau lebih dari 10 meter.
 
“Kondisi air dalam masjid saat itu begitu tenang, orang bisa berenang antara tiang ini ke tiang itu, sementara di luar bergulung-gulung sangat ganas,” ujar Subhan.
 
Ketika gelombang surut, cerita dia, masjid bersih dari jenazah manusia. Kecuali hanya jasad seorang perempuan tua yang ditemukan di pojok bangunan. Alquran berserakan di lantai dalam kondisi terbuka dan utuh di dalam masjid, tak ada yang dibawa arus.
 
Sementara beberapa bangunan masjid, samping dan belakang, rusak sekira 20 persen. Meski bagunannya tanpa rangka besi atau tulang penyangga, masjid ini tetap berdiri utuh di tengah “ladang pembantaian”. Orang-orang menilai, Allah telah memperlihatkan kuasanya di Masjid Baiturrahim. Subhanallah... 
 
REFLEKSI 9 Tahun Musibah Tsunami Aceh

SEGAR diingatan kita tentang sebuah kejadian sembilan tahun silam, Allah S.W.T. memberikan sebuah teguran di Tanah Rencong melalui bencana dahsyat yang meluluhlantakkan sebagian wilayah di Aceh. Sebuah terjangan gelombang besar menusuk Ibukota Provinsi Aceh khususnya, yang merenggut ribuan nyawa saudara-saudara kita di Aceh ketika itu, tak sedikit dari mereka harus kehilangan sanak keluarga, kerabat, bahkan harta benda sekalipun.
 
Tepatnya pada tanggal 26 Desember 2006 ketika itu, Provinsi paling Barat Indonesia ini sedang diuji kesabaran dan ketabahannya. Aceh yang menyita perhatian penghuni bumi pertiwi bahkan dunia Internasional sekalipun dengan kejadian tersebut. 
 
Sungguh menyedihkan memang, tak terdengar lagi hiruk pikuk kehidupan sebuah Kota, yang ada hanya suara tangisan dan sama sekali lumpuh dari aktifitas seperti sebelumnya, tapi kehendak-Nya tidak ada satu pun yang dapat memprediksi untuk dielakkan apalagi sampai menepis akan musibah tersebut. Isak tangis tak lagi terbendung kala itu, tak kuasa menahan kesedihan atas kehilangan orang-orang tercintai, kalau harta benda jangan ditanya.
 
Belum lagi dengan luka konflik pertumpahan darah di Aceh yang belum terselesaikan ketika itu, sungguh kesengsaraan sedang berada di pundak rakyat Aceh. Tentu semua itu merupakan hikmah yang harus dipetik dibalik bencana Tsunami yang terjadi, tak lama berselang ternyata masih terus datang sepercik rahmat kebahagiaan dibalik tangisan dan kepiluan yang masih menyelimuti Aceh, dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki yang berarti telah tercapainya perdamaian untuk mengakhiri konflik bersenjata antara Pemerintah RI dengan GAM yang Alhamdulillah sampai saat ini masih menyelimuti tubuh Aceh.
 
Betapa tidak, dibalik musibah yang menghampiri, datang pula sebuah perdamaian yang sangat diidam-idamkan oleh Rakyat yang sudah jenuh hidup dalam ketidaktenangan akibat dari sebuah konflik. Satu luka telah sembuh, Minimal tidak terbeban dua hal pedih sekaligus dengan ujian musibah Gelombang Tsunami tersebut. Ternyata masih dibukakan keluangan pintu hati dan rasa iba yang muncul dari pihak-pihak tertentu untuk menyelesaikan konflik di Aceh yang telah telah bertahun-tahun lamanya darah di Aceh terus bertumpahan.
 
Rasa syukur dipanjatkan pada ALLAH S.W.T. yang telah mendengar derita umat-Nya di Aceh. Hari demi hari pun terus berlalu mengikuti arah jarum jam, pemulihan demi pemulihan pun terus bergulir untuk menata harapan kembali menjadikan kota yang porak-poranda diterjang gelombang besar itu. Seperti tidak mungkin rasanya, dalam kurun waktu yang belum mencapai satu dekade, jantung kota Aceh ini dapat mengembalikan wajah barunya seperti sedia kala, jika dilihat dari tingkat kerusakannya yang hampir cenderung rusak total, baik sarana dan prasarana, fasiltas-fasilitas sosial dan lainnya, tetapi ini murni terjadi.
 
Alhamdulillah, berkat do'a kita bersama, Aceh perlahan mulai bangkit dari keterpurukan yang seolah tidak ingin terus dihantui rasa kesedihan dan kepedihan walau sebenarnya tangis itu masih membekas dihati rakyat Aceh khusunya ketika itu. Perlahan mulai bangkit, banyak faktor yang mempengaruhi yang berlandaskan keinginan yang kuat. 
 
Kepedulian-kepedulian terus membanjiri pasca kejadian tersebut, terus berdatangan para pendonor yang mengulurkan tangannya untuk Aceh kala itu, baik Saudara kita di Aceh, di Tanah Air, bahkan Dunia Internasional sekalipun berusaha menghapuskan kesedihan-kesedihan. Bantuan-bantuan kemanusiaan terus menghampiri dari berbagai penjuru, secara manusiawi tidak ada sepasang mata pun yang tak tersentuh hatinya ketika melihat wajah Aceh kala itu. 
 
Dasar keibaan itulah yang mendorong untuk menutup lembaran cerita tangis dan menjadi wajah barunya seperti sekarang ini, sekilas terlihat semacam tidak terjadi bencana besar pada sembilan tahun silam jika dibanding saat ini.
 
Tidak hanya itu, usaha demi usaha juga dilakukan untuk memulihkan kembali semangat, jiwa dan mental para korban yang selamat dari musibah tersebut untuk tidak larut terus-menerus dalam kesedihan atas kehilangan orang-orang yang mereka cintai, harus berlapang dada memang ketika kehilangan apa yang mereka miliki dalam hitungan jam saja dan langsung sirna seketika. 
 
Walau sekarang mereka sudah dapat tersenyum kembali, namun tetap saja tidak lekang diingatan saudara-saudara kita yang mengalaminya, dan orang-orang yang mereka cinta juga tetap tidak bisa bersama mereka lagi.
 
Pada momentum peringatan sembilan tahun terjadinya musibah Tsunami tepatnya ditanggal 26 Desember 2013 ini, menjadi i'tibar bagi kita semua . Kita kaji kembali hikmah apa yang didapat dari kejadian tersebut setelah sembilan tahun berlalu, apakah Aceh saat ini melalui teguran musibah tsunami tersebut mampu berubah menuju kearah yang lebih baik atau malah sebaliknya?
 
Jawaban atas penilaian itu ada pada diri kita masing-masing, apakah mengalami kemajuan atau kemunduran dari segi moralitas, agama, bahkan dari segi kemanusiaan di Aceh. Akankah dengan teguran seperti itu tidak dijadikan cerminan bagi kita untuk memahami prilaku apa yang kita perbuat sebelum Allah mendatangkan bencana Tsunami 2004 tersebut. Harusnya kita menyadari bahwa dengan teguran seperti itulah yang membuat kita sadar akan apa yang telah kita lakukan.
 
Konon katanya, Aceh masih menyandang julukan Bumi Serambi Mekkah, tapi apakah sampai saat ini kondisi realita dari berbagai pandangan kehidupan kita sudah yang sepantasnya menyandang julukan tersebut? Tentu semua kita tak ingin dikatakan sebagai seorang yang munafik. Lumrah saja, sebagai seorang yang mempunyai akal dan pikiran yang sehat, sontak akan marah ketika orang lain mengatakan diri kita sebagai seorang yang munafik. Tapi, dari sisi lain kita hendaknya mencari tau mengapa orang tersebut berkata demikian.
 
Bersama, mari kita menengadahkan tangan kita, hanya do'a yang patut kita hadiahkan untuk saudara-saudara kita yang telah tiada akibat musibah Gelombang Tsunami 26 Desember 2004 lalu. Kita jadikan peringatan sembilan tahun Musibah Tsunami di Aceh sebagai momentum yang tepat untuk menatap Aceh kedepan menjadi Aceh yang bermartabat ke arah keberkahan dan ridhai Allah SWT, dan terus sanggup mempertahankan nilai-nilai keistimewaan yang dimiliki Aceh sebagaimana telah diamanahkan dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999.

Pengirim:

Nama : Syahzevianda
TTL : Tj. Seumantoh, 17 September 1988
Pekerjaan : Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Samudra Langsa
Email : [email protected]
Twitter : @syahzevianda
[acw/thoyib/voa-islam.com]

latestnews

View Full Version