View Full Version
Senin, 30 Dec 2013

Taufik Ismail: Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka

Oleh Taufik Ismail:

Sederetan gelombang besar menggebu-gebu menyerbu
pantai Indonesia, naik ke daratan, masuk ke pedalaman.
Gelombang demi gelombang ini datang susun-bersusun
dengan suatu keteraturan, mulai 1998 ketika reformasi
meruntuhkan represi 39 tahun gabungan zaman Demokrasi
Terpimpin dan Demokrasi Pembangunan, dan membuka lebar
pintu dan jendela Indonesia. Hawa ruangan yang sumpek
dalam dua zaman itu berganti dengan kesegaran baru.
Tapi tidak terlalu lama, kini digantikan angin yang
semakin kencang dan arus menderu-deru.
Kebebasan berbicara, berpendapat, dan mengeritik,
berdiri-menjamurnya partai-partai politik baru,
keleluasaan berdemonstrasi, ditiadakannya SIUPP (izin
penerbitan pers), dilepaskannya tahanan politik,
diselenggarakannya pemilihan umum bebas dan langsung,
dan seterusnya, dinikmati belum sampai sewindu, tapi
sementara itu silih berganti beruntun-runtun belum
terpecahkan krisis yang tak habis-habis. Tagihan
rekening reformasi ternyata mahal sekali.

Bahana yang datang terlambat dari benua-benua lain itu
menumbuh dan menyuburkan kelompok permissif dan
addiktif negeri kita, yang sejak 1998 naik daun. Arus
besar yang menderu-deru menyerbu kepulauan kita adalah
gelombang sebuah gerakan syahwat merdeka. Gerakan tak
bersosok organisasi resmi ini tidak berdiri sendiri,
tapi bekerjasama bahu-membahu melalui jaringan
mendunia, dengan kapital raksasa mendanainya, ideologi
gabungan yang melandasinya, dan banyak media massa
cetak dan elektronik jadi pengeras suaranya.
Siapakah komponen gerakan syahwat merdeka ini?

PERTAMA

adalah praktisi sehari-hari kehidupan pribadi
dan kelompok dalam perilaku seks bebas hetero dan
homo, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi. Sebagian
berjelas-jelas anti kehidupan berkeluarga normal,
sebagian lebih besar, tak mau menampakkan diri.

KEDUA

Penerbit majalah dan tabloid mesum, yang telah
menikmati tiada perlunya SIUPP. Mereka menjual wajah
dan kulit perempuan muda, lalu menawarkan jasa
hubungan kelamin pada pembaca pria dan wanita lewat
nomor telepon genggam, serta mengiklankan berbagai
alat kelamin tiruan (kue pancong berkumis dan lemper
berbaterai) dan boneka karet perempuan yang bisa
dibawa bobok bekerjasama.


KETIGA

Produser, penulis skrip dan pengiklan acara
televisi syahwat. Seks siswa dengan guru, ayah dengan
anak, siswa dengan siswa, siswa dengan pria paruh
baya, siswa dengan pekerja seks komersial ----
ditayangkan pada jam prime time, kalau pemainnya
terkenal. Remaja berseragam OSIS memang menjadi
sasaran segmen pasar penting tahun-tahun ini. Beberapa
guru SMA menyampaikan keluhan pada saya. “Citra
kami guru-guru SMA di sinetron adalah citra guru tidak
cerdas, kurang pergaulan dan memalukan.” Mari
kita ingat ekstensifnya pengaruh tayangan layar kaca
ini. Setiap tayangan televisi, rata-rata 170.000.000
yang memirsa. Seratus tujuh puluh juta pemirsanya.

KEEMPAT

4,200,000 (empat koma dua juta) situs porno
dunia, 100,000 (seratus ribu) situs porno Indonesia di
internet. Dengan empat kali klik di komputer,
anatomi tubuh perempuan dan laki-laki, sekaligus
fisiologinya, dapat diakses tanpa biaya, sama mudahnya
dilakukan baik dari San Francisco, Timbuktu, Rotterdam
mau pun Klaten.

Pornografi gratis di internet luarbiasa besar
jumlahnya. Seorang sosiolog Amerika Serikat
mengumpamakan serbuan kecabulan itu di negaranya
bagaikan “gelombang tsunami setinggi 30 meter,
dan kami melawannya dengan dua telapak tangan.”
Di Singapura, Malaysia, Korea Selatan situs porno
diblokir pemerintah untuk terutama melindungi
anak-anak dan remaja. Pemerintah kita tidak melakukan
hal yang sama.

KELIMA

Penulis, penerbit dan propagandis buku
syahwat ¼ sastra dan ½ sastra. Di Malaysia, penulis
yang mencabul-cabulkan karyanya penulis pria. Di
Indonesia, penulis yang asyik dengan wilayah
selangkang dan sekitarnya mayoritas penulis perempuan.
Ada kritikus sastra Malaysia berkata: “Wah, pak
Taufiq, pengarang wanita Indonesia berani-berani. Kok
mereka tidak malu, ya?” Memang begitulah, RASA
MALU ITU YANG SUDAH TERKIKIS, bukan saja pada
penulis-penulis perempuan aliran s.m.s. (sastra mazhab
selangkang) itu, bahkan lebih-lebih lagi pada banyak
bagian dari bangsa.

KEENAM

Penerbit dan pengedar komik cabul. Komik
yang kebanyakan terbitan Jepang dengan teks dialog
diterjemahkan ke bahasa kita itu tampak dari
kulit luar biasa-biasa saja, tapi di dalamnya banyak
gambar hubungan badannya, misalnya (bukan main) antara
siswa dengan Bu Guru. Harganya Rp 2.000. Sebagian
komik-komik itu tidak semata lucah saja, tapi ada pula
kadar ideologinya. Ideologinya adalah anjuran
perlawanan pada otoritas orangtua dan guru, yang
banyak aturan ini-itu, termasuk terhadap seks bebas.
Dalam salah satu komik itu saya baca kecaman yang
paling sengit adalah pada Menteri Pendidikan Jepang.
Tentu saja dalam teks terjemahan berubah, yang dikecam
jadinya Menteri Pendidikan Nasional kita.

KETUJUH

Produsen, pengganda, pembajak, pengecer dan
penonton VCD/DVD biru. Indonesia kini jadi sorga besar
pornografi paling murah di dunia, diukur dari
kwantitas dan harganya. Angka resmi produksi dan
bajakan tidak saya ketahui, tapi literatur menyebut
antara 2 juta – 20 juta keping setahun. Harga
yang dulu Rp 30.000 sekeping, kini turun menjadi Rp
3.000, bahkan lebih murah lagi. Dengan biaya 3 batang
rokok kretek yang diisap 15 menit, orang bisa menonton
sekeping VCD/DVD biru dengan pelaku kulit putih dalam
6 posisi selama 60 menit. Luarbiasa murah. Anak SD
kita bisa membelinya tanpa risi tanpa larangan
peraturan pemerintah.
Seorang peneliti mengabarkan bahwa di Jakarta Pusat
ada murid-murid laki-laki yang kumpul dua sore
seminggu di rumah salah seorang dari mereka, lalu
menayangkan VCD-DVD porno. Sesudah selesai mereka
onani bersama-sama. Siswa sekolah apa, dan kelas
berapa? Siswa SD, kelas lima. Tak diceritakan apa
ekses selanjutnya.

KEDELAPAN

Pabrikan dan konsumen alkohol. Minuman
keras dari berbagai merek dengan mudah bisa diperoleh
di pasaran. Kemasan botol kecil diproduksi, mudah
masuk kantong celana, harga murah, dijual di kios
tukang rokok di depan sekolah, remaja dengan bebas
bisa membelinya. Di Amerika dan Eropa batas umur
larangan di bawah 18 tahun. Negeri kita pasar besar
minuman keras, jualannya sampai ke desa-desa.

KESEMBILAN

Produsen, pengedar dan pengguna narkoba.
Tingkat keterlibatan Indonesia bukan pada pengedar dan
pengguna saja, bahkan kini sampai pada derajat
produsen dunia. Enam juta anak muda Indonesia
terperangkap sebagai pengguna, ratusan ribu menjadi
korbannya.

KESEPULUH

Pabrikan, pengiklan dan pengisap nikotin.
Korban racun nikotin 57.000 orang / tahun, maknanya
setiap hari 156 orang mati, atau setiap 9 menit
seorang pecandu rokok meninggal dunia. Pemasukan pajak
15 trilyun (1996), tapi ongkos pengobatan berbagai
penyakit akibatnya 30 trilyun rupiah.
Mengapa alkohol, narkoba dan nikotin termasuk dalam
kategori kontributor arus syahwat merdeka ini? Karena
sifat addiktifnya, kecanduannya, yang sangat mirip,
begitu pula proses pembentukan ketiga addiksi tersebut
dalam susunan syaraf pusat manusia. Dalam masyarakat
permissif, interaksi antara seks dengan alkohol,
narkoba dan nikotin, akrab sekali, sukar dipisahkan.
Interaksi ini kemudian dilengkapi dengan tindak
kriminalitas berikutnya, seperti pemerasan, perampokan
sampai pembunuhan. Setiap hari berita semacam ini
dapat dibaca di koran-koran.

KESEBELAS

Pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan. Dalam masyarakat permissif, iklan semacamini menjadi jembatan komunikasi yang diperlukan.

 

KEDUABELAS

Germo dan pelanggan prostitusi. Apabilahubungan syahwat suka-sama-suka yang gratis tidaktersedia, hubungan dalam bentuk perjanjian bayaran merupakan jalan keluarnya. Dalam hal ini prostitusi
berfungsi.


KETIGABELAS

Dokter dan dukun praktisi aborsi. Akibat
tujuh unsur pertama di atas, kasus perkosaan dan
kehamilan di luar pernikahan meningkat drastis. Setiap
hari dapat kita baca kasus siswa SMP/SMA memperkosa
anak SD, satu-satu atau rame-rame, ketika papi-mami
tak ada di rumah dan pembantu pergi ke pasar
berbelanja. Setiap ditanyakan apa sebab dia/mereka
memperkosa, selalu dijawab ‘karena terangsang
sesudah menonton VCD/DVD biru dan ingin
mencobakannya.’ Praktisi aborsi gelap menjadi
tempat pelarian, bila kehamilan terjadi.
Seorang peneliti dari sebuah universitas di Jakarta
menyebutkan bahwa angka aborsi di Indonesia 2,2 juta
setahunnya. Maknanya setiap 15 detik seorang calon
bayi di suatu tempat di negeri kita meninggal akibat
dari salah satu atau gabungan ketujuh faktor di atas.
Inilah produk akhirnya. Luar biasa destruksi sosial
yang diakibatkannya.
Dalam gemuruh gelombang gerakan syahwat merdeka ini,
pornografi dan pornoaksi menjadi bintang panggungnya,
melalui gemuruh kontroversi pro-kontra RUU APP.
Karena satu-dua-atau beberapa kekurangan dalam RUU
itu, yang total kontra menolaknya, tanpa sadar terbawa
dalam gelombang gerakan syahwat merdeka ini. Tetapi
bisa juga dengan sadar memang mau terbawa di dalamnya.
Salah satu kekurangan RUU itu, yang perlu
ditambah-sempurnakan adalah perlindungan bagi
anak-cucu kita, jumlahnya 60 juta, terhadap kekerasan
pornografi. Dalam hiruk pikuk di sekitar RUU ini,
terlupakan betapa dalam usia sekecil itu 80% anak-anak
9-12 tahun terpapar pornografi, situs porno di
internet naik lebih sepuluh kali lipat, lalu 40%
anak-anak kita yang lebih dewasa sudah melakukan
hubungan seks pra-nikah. Sementara anak-anak di
Amerika Serikat dilindungi oleh 6 Undang-undang,
anak-anak kita belum, karena undang-undangnya belum
ada. KUHP yang ada tidak melindungi mereka karena
kunonya. Gelombang Syahwat Merdeka yang menolak total
RUU ini berarti menolak melindungi anak-cucu kita
sendiri.


Gelombang Syahwat Merdeka yang menolak total
RUU ini berarti menolak melindungi anak-cucu kita
sendiri.

Gerakan tak bernama tak bersosok organisasi ini
terkoordinasi bahu-membahu menumpang gelombang masa
reformasi mendestruksi moralitas dan tatanan sosial.
Ideologinya neo-liberalisme, pandangannya
materialistik, disokong kapitalisme jagat raya.


Menguji Rasa Malu Diri Sendiri
Seorang pengarang muda meminta pendapat saya tentang
cerita pendeknya yang dimuat di sebuah media. Dia
berkata, “Kalau cerpen saya itu dianggap
pornografis, wah, sedihlah saya.” Saya waktu itu
belum sempat membacanya. Tapi saya kirimkan padanya
pendapat saya mengenai pornografi. Begini.
Misalkan saya menulis sebuah cerpen. Saya akan mentes,
menguji karya saya itu lewat dua tahap. Pertama, bila
tokoh-tokoh di dalam karya saya itu saya ganti dengan
ayah, ibu, mertua, isteri, anak, kakak atau a*** saya;
lalu kedua, karya itu saya bacakan di depan ayah, ibu,
mertua, isteri, anak, kakak, a***, siswa di kelas
sekolah, anggota pengajian masjid, jamaah gereja;
kemudian saya tidak merasa malu, tiada dipermalukan,
tak canggung, tak risi, tak muak dan tidak jijik
karenanya, maka karya saya itu bukan karya pornografi.
Tapi kalau ketika saya membacakannya di depan
orang-orang itu saya merasa malu, dipermalukan, tak
patut, tak pantas, canggung, risi, muak dan jijik,
maka karya saya itu pornografis.
Hal ini berlaku pula bila karya itu bukan karya saya,
ketika saya menilai karya orang lain. Sebaliknya
dipakai tolok ukur yang sama juga, yaitu bila orang
lain menilai karya saya. Setiap pembaca bisa melakukan
tes tersebut dengan cara yang serupa.
Pendekatan saya adalah pengujian rasa malu itu. Rasa
malu itu yang kini luntur dalam warna tekstil
kehidupan bangsa kita, dalam terlalu banyak hal.
Sebuah majalah mesum dunia dengan selaput artistik,
Playboy, menumpang taufan reformasi dan gelombang
liberalisme akhirnya terbit juga di Indonesia. Majalah
ini diam-diam jadi tempat pelatihan awal onani
pembaca Amerika, dan kini, beberapa puluh tahun
kemudian, dikalahkan internet, sehingga jadilah publik
pembaca Playboy dan publik langganan situs porno
internet Amerika masturbator terbesar di dunia.
Majalah pabrik pengeruk keuntungan dari kulit tubuh
perempuan ini, mencoba menjajakan bentuk eksploitasi
kaum Hawa di negeri kita yang pangsa pasarnya
luarbiasa besar ini. Bila mereka berhasil, maka bakal
berderet antri masuk lagi majalah anti-tekstil di
tubuh perempuan dan fundamentalis-syahwat-merdeka
seperti Penthouse, Hustler, Celebrity Skin, Cheri,
Swank, Velvet, Cherry Pop, XXX Teens dan seterusnya.
Untuk mengukur sendiri rasa malu penerbit dan redaktur
Playboy Indonesia, saya sarankan kepada mereka
melakukan sebuah percobaan, yaitu mengganti model 4/5
telanjang majalah itu dengan ibu kandung, ibu mertua,
kakak, a***, isteri dan anak perempuan mereka sendiri.
Saran ini belum berlaku sekarang, tapi kelak suatu
hari ketika Playboy Indonesia keluar perilaku aslinya
dalam masalah ketelanjangan model yang dipotret.
Sekarang mereka masih malu-malu kucing. Sesudah dibuat
dalam edisi dummy, promosikan foto-foto itu itu di 10
saluran televisi dan 25 suratkabar. Bagaimana?
Berani? Malu atau tidak?
Pendekatan lain yang dapat dipakai juga adalah
menduga-memperkirakan-mengingat akibat yang mungkin
terjadi sesudah orang membaca karya pornografis itu.
Sesudah seseorang membaca, katakan cerpen yang memberi
sugesti secara samar-samar terjadinya hubungan
kelamin, apalagi kalau dengan jelas mendeskripsikan
adegannya, apakah dengan kata-kata indah yang dianggap
sastrawi atau kalimat-kalimat brutal, maka pembaca
akan terangsang.
Sesudah terangsang yang paling penakut akan onani dan
yang paling nekat akan memperkosa. Memperkosa
perempuan dewasa tidak mudah, karena itu anak kecil
jadi sasaran. Perkosaan banyak terjadi terhadap
anak-anak kecil masih bau susu bubuk belum haid yang
di rumah sendirian karena papi-mami pergi kerja,
pembantu pergi ke pasar, jam 9-10 pagi.
Anak-anak tanggung pemerkosa itu, ketika diinterogasi
dan ditanya kenapa, umumnya bilang karena sesudah
menonton VCD porno mereka terangsang ingin mencoba
sendiri. Merayu orang dewasa takut, mendekati
perempuan-bayaran tidak ada uang. Kalau diteliti lebih
jauh kasus yang sangat banyak ini (peneliti yang rajin
akan bisa mendapat S-3 lewat tumpukan guntingan
koran), mungkin saja anak itu juga pernah membaca
cerita pendek, puisi, novel atau komik cabul.
Akibat selanjutnya, merebak-meluaslah aborsi,
prostitusi, penularan penyakit kelamin gonorrhoea,
syphilis, HIV-AIDS, yang meruyak di kota-kota besar
Indonesia berbarengan dengan akibat penggunaan alkohol
dan narkoba yang tak kalah destruktifnya.
Akibat Sosial Ini Tak Pernah Difikirkan Penulis
Semua rangkaian musibah sosial ini tidak pernah
difikirkan oleh penulis cerpen-puisi-novelis erotis
yang umumnya asyik berdandan dengan dirinya sendiri,
mabuk posisi selebriti, ke sana disanjung ke sini
dipuji, tidak pernah bersedia merenungkan akibat yang
mungkin ditimbulkan oleh tulisannya. Sejumlah cerpen
dan novel pasca reformasi sudah dikatakan orang
mendekati VCD/DVD porno tertulis. Maukah mereka
membayangkan, bahwa sesudah sebuah cerpen atau novel
dengan rangsangan syahwat terbit, maka beberapa ratus
atau ribu pembaca yang terangsang itu akan mencontoh
melakukan apa yang disebutkan dalam alinea-alinea di
atas tadi, dengan segala rentetan kemungkinan yang
bisa terjadi selanjutnya?
Destruksi sosial yang dilakukan penulis cerpen-novel
syahwat itu, bera***-kakak dengan destruksi yang
dilakukan produsen-pengedar-pembajak-pengecer VCD/DVD
porno, beredar (diperkirakan) sebanyak 20 juta keping,
yang telah meruyak di masyarakat kita, masyarakat
konsumen pornografi terbesar dan termurah di dunia.
Dulu harganya Rp 30.000 sekeping, kini Rp 3.000, sama
murahnya dengan 3 batang rokok kretek. Mengisap rokok
kretek 15 menit sama biayanya dengan memiliki dan
menonton sekeping VCD/DVD syahwat sepanjang 6o menit
itu. Bersama dengan produsen alkohol, narkoba dan
nikotin, mereka tidak sadar telah menjadi unsur
penting pengukuhan masyarakat permissif-addiktif
serba-boleh-apa-saja-genjot, yang dengan bersemangat
melabrak apa yang mereka anggap tabu selama ini,
berpartisipasi meluluh-lantakkan moralitas anak
bangsa.
Perzinaan yang Hakekatnya Pencurian adalah Ciri Sastra
Selangkang


Perzinaan yang Hakekatnya Pencurian adalah Ciri Sastra
Selangkang

Akhirnya sesudah mendapatkan korannya, saya membaca
cerpen karya penulis yang disebut di atas. Dalam segi
teknik penulisan, cerpen itu lancar dibaca. Dalam segi
isi sederhana saja, dan secara klise sering ditulis
pengarang Indonesia yang pertama kali pergi ke luar
negeri, yaitu pertemuan seorang laki-laki di negeri
asing dengan perempuan asing negeri itu. Kedua-duanya
kesepian. Si laki-laki Indonesia lupa isteri di
kampung. Di akhir cerita mereka berpelukan dan
berciuman. Begitu saja.
Dalam interaksi yang kelihatan iseng itu, cerpenis
tidak menyatakan sikap yang jelas terhadap hubungan
kedua orang itu. Akan ke mana hubungan itu berlanjut,
juga tak eksplisit. Apakah akan sampai pada hubungan
pernikahan atau perzinaan, kabur adanya.
Perzinaan adalah sebuah pencurian. Yang melakukan
zina, mencuri hak orang lain, yaitu hak penggunaan
alat kelamin orang lain itu secara tidak sah. Pezina
melakukan intervensi terhadap ruang privat alat
kelamin yang dizinai. Dia tak punya hak untuk itu.
Yang dizinai bersekongkol dengan yang melakukan
penetrasi, dia juga tak punya hak mengizinkannya.
Pemerkosa adalah perampok penggunaan alat kelamin
orang yang diperkosa. Penggunaan alat kelamin
seseorang diatur dalam lembaga pernikahan yang suci
adanya.
Para pengarang yang terang-terangan tidak setuju pada
lembaga pernikahan, dan/atau melakukan hubungan
kelamin semaunya, yang tokoh-tokoh dalam karyanya
diberi peran syahwat merdeka, adalah rombongan
pencuri bersuluh sinar rembulan dan matahari. Mereka
maling tersamar. Mereka celakanya, tidak merasa jadi
maling, karena (herannya) ada propagandis sastra
menghadiahi mereka glorifikasi, dan penerbit
menyediakan gratifikasi. Propagandis dan penerbit
sastra semacam ini, dalam istilah kriminologi,
berkomplot dengan maling.

Hal ini berlaku bukan saja untuk karya (yang dianggap)
sastra, tapi juga untuk bacaan turisme, rujukan tempat
hiburan malam, dan direktori semacam itu. Buku
petunjuk yang begitu langsung tak langsung menunjukkan
cara berzina, lengkap dengan nama dan alamat tempat
berkumpulnya alat-alat kelamin yang dapat dicuri
haknya dengan cara membayar tunai atau dengan kartu
kredit gesekan.
Sastra selangkang adalah sastra yang asyik dengan
berbagai masalah wilayah selangkang dan sekitarnya.
Kalau di Malaysia pengarang-pengarang yang
mencabul-cabulkan karya kebanyakan pria, maka di
Indonesia pengarang sastra selangkang mayoritas
perempuan.
Beberapa di antaranya mungkin memang nymphomania atau
gila syahwat, hingga ada kritikus sastra sampai hati
menyebutnya “vagina yang haus sperma”.
Mestinya ini sudah menjadi kasus psikiatri yang baik
disigi, tentang kemungkinannya jadi epidemi, dan harus
dikasihani.
Bila dua abad yang lalu sejumlah perempuan Aceh, Jawa
dan Sulawesi Selatan naik takhta sebagai penguasa
tertinggi kerajaan, Sultanah atau Ratu dengan
kenegarawanan dan reputasi terpuji, maka di abad 21
ini sejumlah perempuan Indonesia mencari dan memburu
tepuk tangan kelompok permissif dan addiktif sebagai
penulis sastra selangkang, yang aromanya jauh dari
wangi, menyiarkan bau amis-bacin kelamin tersendiri,
yang bagi mereka parfum sehari-hari.
Dengan Ringan Nama Tuhan Dipermainkan
Di tahun 1971-1972, ketika saya jadi penyair tamu di
Iowa Writing Program, Universitas Iowa, di benua itu
sedang heboh-hebohnya gelombang gerakan perempuan.
Kini, 34-an tahun kemudian, arus riaknya sampai ke
Indonesia. Kaum feminis Amerika waktu itu sedang
gencar-gencarnya mengumumkan pembebasan kaum
perempuan, terutama liberasi kopulasi, kebebasan
berkelamin, di koran, majalah, buku dan televisi.
Menyaksikan penampilan para maling hak penggunaan
alat kelamin orang lain itu di layar kaca, yang
cengengesan dan mringas-mringis seperti Gloria Steinem
dan semacamnya, banyak orang mual dan jijik karenanya.
Mereka tidak peduli terhadap epidemi penyakit kelamin
HIV-AIDS yang meruyak menyebar seantero Amerika
Serikat waktu itu, menimpa baik orang laki-laki maupun
perempuan, hetero dan homoseksual, akibat kebebasan
yang bablas itu.

Di stasiun kereta api bawah tanah New York, seorang
laki-laki korban HIV-AIDS menadahkan topi mengemis.
Belum pernah saya melihat kerangka manusia berbalut
kulit tanpa daging dan lemak sekurus dia itu. Sinar
matanya kosong, suaranya parau.
Kematian banyak anggota kelompok ini, terutama di
kalangan seniman di tahun 1970-an, tulis seorang
esais, bagaikan kematian di medan perang Vietnam.
Sebuah orkestra simfoni di New York,
anggota-anggotanya bergiliran mati saban minggu karena
kejangkitan HIV-AIDS dan narkoba, akibat kebebasan
bablas itu. Para pembebas kaum perempuan itu tak acuh
pada bencana menimpa bangsa karena asyik mendandani
penampilan selebriti diri sendiri. Saya sangat heran.
Sungguh memuakkan.
Kalimat bersayap mereka adalah, “This is my
body. I’ll do whatever I like with my
body.” “Ini tubuhku. Aku akan lakukan apa
saja yang aku suka dengan tubuhku ini.”
Congkaknya luar biasa, seolah-olah tubuh mereka itu
ciptaan mereka sendiri, padahal tubuh itu pinjaman
kredit mencicil dari Tuhan, cuma satu tingkat di atas
sepeda motor Jepang dan Cina yang diobral di iklan
koran-koran.
Mereka tak ada urusan dengan Maha Produser Tubuh itu.
Penganjur masyarakat permissif di mana pun juga, tidak
suka Tuhan dilibatkan dalam urusan. Percuma bicara
tentang moral dengan mereka. Dengan ringan nama Tuhan
dipermainkan dalam karya. Situasi kita kini merupakan
riak-riak gelombang dari jauh itu, dari abad 20 ke
awal abad 21 ini, advokatornya dengan semangat dan
stamina mirip anak-anak remaja bertopi beisbol yang
selalu meniru membeo apa saja yang berasal dari
Amerika Utara itu.

Penutup
Ciri kolektif seluruh komponen Gerakan Syahwat
Merdeka ini adalah budaya malu yang telah kikis nyaris
habis dari susunan syaraf pusat dan rohani mereka,
dan tak adanya lagi penghormatan terhadap hak
penggunaan kelamin orang lain yang
disabet-dicopet-dikorupsi dengan entengnya. Tanpa
memiliki hak penggunaan kelamin orang lain, maka
sesungguhnya Gerakan Syahwat Merdeka adalah maling dan
garong genitalia, berserikat dengan alkohol, nikotin
dan narkoba, menjadi perantara kejahatan, mencecerkan
HIV-AIDS, prostitusi dan aborsi, bersuluh bulan dan
matahari. [umar/voa-islam.Com]


latestnews

View Full Version