SURIAH (voa-islam.com) - Dampak merebaknya media sosial seperti facebook dan twitter tak hanya dinikmati warga Inggris untuk narcism dan selfie semata. Setidaknya bagi mujahid Inggris yang tiga tahun terakhir berjihad di Suriah memberikan kita gambaran fakta dibalik berita propaganda melalui media sosial seperti facebook.
Di Indonesia sendiri umat Islam turut serta riang saling berbagi berita terbaru dari tanah Syam alias Suriah yang dalam Al Qur'an sebagai perang yang telah dijanjikan Allah. Mereka berbagi link, share berita facebook dan banyak yang mengunggahnya ke blog, twitter dan facebook sebagai bentuk dukungan kepada mujahid yang berjibaku, berperang angkat senjata membela umat Islam dan meninggikan kalimat Allah di Syam.
Mujahid asal negeri Pangeran Charles ini anggota Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mengunggah video di YouTube, Selasa (18/2/2014), mengingatkan para pemberontak asing bahwa jalan ke perang Suriah tak semudah yang dibayangkan.
Mujahid Inggris yang bertempur selama tiga tahun dalam konflik di Suriah ini ternyata merasakan rumitnya pertempuran tersebut daripada yang kerap diunggah “di Instagram atau Facebook” tulis The Daily Mail.
“Kalian tidak sekadar datang ke sini, mengenakan rompi anti-peluru, menyandang bedil Kalashnikov dan memelihara cambang lebat, dan cuma seperti itu,” ujar pria yang tak diketahui identitasnya dalam video berdurasi empat menit.
Kaum jihad seperti itu, adalah naif dan seolah sudah menyandang jenderal “bintang lima jihad”.
“Tidak mudah berdiri di depan sebuah tank ketika meluncurkan peluru. Juga tidak mudah mendongakkan senjata yang sederhana dan menarik pelatuknya, meskipun orang pikir itu mudah,” kata mujahid dalam video tersebut.
Klik Gambar : Video
Ia pun menambahkan sembari memegang senjata 9mm di bawah bendera Rayat al-Tawheed, kelompok yang mengklaim sebagai distributor tulisan-tulisan berbahasa Inggris produksi ISIS.
Tak lupa ia mengingatkan melakukan perang atas nama Islam adalah tugas seorang Muslim demi kehidupan yang lebih mulia.
Saking Beratnya Jihad, Dalam Kondisi Darurat Kucing menjadi Pangan
Perang Suriah dimulai sejak Maret 2011. Hingga kini terhitung sudah 2 tahun 7 bulan. Berdasarkan data PBB, ada lebih dari 2 juta warga Suriah yang menjadi pengungsi dan sekitar 100 ribu orang dilaporkan telah tewas.
Dalam tragedi serangan senjata kimia pada Rabu 21 Agustus dini hari itu, sekitar 1.300 pria, wanita, bahkan anak anak tewas dalam serangan sadis roket gas beracun. Di Ghouta, Tarma, Zamalka, dan Jobar.
Wajah-wajah tak berdosa terbaring di rumah sakit. Mereka yang saat kejadian sedang tertidur lelap, tak sadar nyawa telah lepas dari raga. Saat terbangun, mereka ada di dunia lain.
Akibat kondisi terebut, Ulama Ahlu Sunnah di Suriah mengeluarkan fatwa dalam kondisi darurat bagi penduduk yang tinggal di daerah yang terkepung perang di luar Damaskus yang mengalami kelangkaan bahan makanan akibat perang dalam 3 tahun terakhir, fatwa tersebut membolehkan untuk makan daging kucing, anjing dan keledai guna mengatasi kelaparan dan belakangan ini, masjid-masjid di luar kota Damaskus juga menyuarakan pesan yang sama.
"Bagaimana dunia bisa tidur tenang dengan perut kenyang sementara ada yang kelaparan, dan terjadi tidak jauh dari kota utama (Damaskus), hanya beberapa meter," kata seorang imam Suriah dalam video yang disiarkan Al Arabiya.
Imam yang didampingi ulama lain mengatakan pernyataannya juga mewakili pandangan ulama lain.
"Kami memperbolehkan makan daging kucing, anjing, dan keledai karena hewan lain mati terkena bom," imbuh dia dalam sebuah tayangan video.
Ia mengatakan, sementara jemaah melakukan ibadah haji di Mekah, "Ada orang yang meninggal kelaparan dan dikafankan."
Pada perayaan Hari Raya Idul Adha beberapa tahun lalu, warga Damaskus biasanya menikmati daging kurban. Namun kini karena dilanda perang saudara, masyarakat di sana tak lagi merasakannya.
Menurut ulama yang tak disebutkan namanya itu, aturan ini dikeluarkan karena kondisi darurat sebagai teriakan warga Suriah kepada dunia. Bahwa mereka membutuhkan pertolongan.
Fatwa ini bukanlah yang kali pertama di Suriah. Sebelumnya, menurut surat kabar Asharq al-Awsat, seorang ulama di markas relawan Palestina di Damaskus melakukan hal serupa. Begitu juga yang dilakukan oleh ulama di Kota Homs pada 2012 lalu. [acep/acw/voa-islam.com]