BEKASI (voa-islam.com) - Tanggal 5 Mei lalu, Komisi Perlindungan Indonesia (KPAI) menerima dua lembar kain putih berukuran spanduk yang dibubuhi banyak tanda tangan dan pesan dalam mendukung “Satu Juta Tanda Tangan untuk Revisi UU Perlindungan Anak Indonesia”. (foto : gay dihukum mati di Riyad)
“Ini merupakan gerakan untuk mendukung revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kami ingin hukuman bagi pelaku bukan maksimal 15 tahun penjara, melainkan hukuman mati,” kata Ketua Komunitas Parenting Cibubur Eva Dewi di Gedung Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jakarta, Senin (5/5/2014). (http://www.kpai.go.id/berita/kpai-1-juta-tanda-tangan-untuk-revisi-uu-perlindungan-anak/)
Memang, saat ini masyarakat merasakan kegeraman dengan terkuaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, dimana pelakunya bukan hanya lelaki tapi juga perempuan. Semua menyesalkan ringannya hukuman bagi pelaku yang tercantum dalam undang-undang. Dan akhirnya bermuara pada tuntutan hukuman mati.
Jika kita merenung dengan hati nurani, maka pantas jika hukuman yang diberikan bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak adalah hukuman mati. Bagaimana tidak? Entah kemana nurani pelaku yang tega berlaku bejat terhadap anak-anak. Mereka merenggut kehormatan dan merusak masa depan anak yang masih panjang, trauma yang ditimbulkan bukan hanya trauma fisik namun juga trauma psikis.
Problem Sistemik
Namun jangan lupa, kita ingin memberantas permasalahan ini hingga benar-benar tuntas dan tak berulang lagi, maka tak cukup hanya dengan usulan hukuman mati. Permasalahan ini adalah permasalahan sistemik, banyak faktor yang melatarbelakangi kasus ini.
Indonesia menerapkan sistem demokrasi, dalam sistem ini kebebasan manusia sangat dijunjung tinggi. Baik itu kebebasan beragama, kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat dan kebebasan bertingkahlaku. Dari sini lahirlah orang-orang bejat yang menuhankan syahwatnya, disulut lagi dengan pornografi dan pornoaksi yang beredar tak terkendali, dan dipermudah oleh ringannya sanksi hukum. Pada akhirnya, siapapun bisa menjadi korban penyaluran nafsu syaithonnya, termasuk anak-anak.
Jika ingin memberantas tuntas permasalahan kekerasan seksual dan melindungi masa depan anak, maka lakukan pemberantasan yang komprehensif . Yaitu mengganti sistem demokrasi dengan sistem Khilafah.
Mengapa Khilafah?
Khilafah sebagai negara yang menerapkan syari’at Islam secara kaffah mampu memberantas permasalahan kekerasan seksual dari mulai hulu hingga ke hilir. Penanaman ketakwaan kepada setiap individu masyarakat melalui institusi pendidikan formal maupun non formal membentuk insan yang takut pada Allah, hal ini menghindarkan mereka dari perbuatan maksiat.
Selain itu, Khilafah akan melarang segala bentuk pornografi-pornoaksi serta bersikap tegas dalam menerapkan aturan berbusana dan interaksi lelaki-perempuan sesuai syari’at. Sehingga tak ada faktor perangsang nafsu syahwat.
Peran masyarakat Khilafah dalam menjaga suasana ketaatan juga besar, karena mereka memiliki budaya amar ma’ruf nahi munkar (saling mengingatkan dan menasehati). Dengan demikian individu yang hendak bermaksiat akan mengurungkan niatannya karena diawasi oleh masyarakat.
Namun tak hanya pencegahan, Khilafah juga menerapkan sanksi tegas bagi pelaku kekerasan seksual. Hukum jilid ataupun rajam hingga mati siap menanti mereka. Bagi pelaku sodomi ada hukum yang lebih keras yaitu hukuman mati, bisa dijatuhkan dari tempat tertinggi, dipenggal lehernya atau dirajam hingga mati. Dengan demikian siapapun pasti berpikir seribu kali untuk melakukan kemaksiatan tersebut.
Sudah saatnya kita berusaha mewujudkan tegaknya negara Khilafah untuk kemaslahatan seluruh ummat manusia. Karena hanya syari’at islam yang diterapkan oleh Khalifah yang dapat memuliakan manusia. Wallahu a’lam
* Maya Dewi (Praktisi PAUD Bekasi)