Oleh:
Jamal Asy-Syalbi, dosen ilmu politik di Universitas Hasyimiah, Yordania
Buku Idâratut Tawahusy menjadi penting disebabkan tiga alasan: pertama, ia merupakan ijtihad, seperti umumnya ijtihad lain tentang persoalan agama, yang dilakukan oleh gerakan jihad Islam di tiga dekade terakhir. Kedua, ia merupakan ijtihad yang jelas dan lugas, tidak basa-basi dan tidak mengambil kesimpulan hukum yang “moderat”, tetapi menyatakan pendapat secara tegas, menampilkan fakta-fakta mutakhir, dan menepikan semua sikap yang bisa mengubah sudut pandangnya. Alasan ketiga yang menyebabkan betapa pentingnya buku ini adalah, kombinasi yang disajikan oleh Penulis antara konsep-konsep keagamaan dengan “ide-ide revolusioner”, jika bisa disebut demikian, karena Penulis telah menyuguhkan konsep-konsep praktis dalam ranah aktivitas politik dan strategi militer yang bisa diadopsi oleh kekuatan-kekuatan Islam fundamentalis maupun oleh kekuatan-kekuatan lain yang non Islam.
Judul Buku : Idâratut Tawahhusy: Akhtharu Marhalatin Satamurru Bihâ Al-Ummah
Penulis : Abu Bakar Naji.
Penerbit : Markazud Dirâsât wal Buhûts Al-Islâmiyyah
Tahun Terbit : Tanpa tahun.
Jumlah halaman : 112 hlm.
Buku ini terbit seiring dengan terjadinya perubahan strategi yang dilakukan oleh Gerakan Salafi Jihadi, yaitu perubahan dari peperangan terhadap “musuh dekat” yang diwakili oleh penguasa di negara-negara Arab dan Islam yang disebutnya sebagai “penguasa murtad” menjadi peperangan terhadap “musuh jauh” yang diwakili oleh Negara Barat secara umum, Amerika Serikat sebagai “kepala ular”, dan Israel secara khusus karena status mereka sebagai negara-negara kafir.
Pemerintah Saudi berhasil mengendus keberadaan buku ini pada tahun 2008. Ia dilarang beredar di sebagian besar Negara Arab, sehingga akhirnya bisa didownload secara gratis di lebih dari 15 ribu link internet.
Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Departemen Pertahanan Amerika, setelah FBI berhasil menemukan dokumen-dokumen dan surat-surat yang dikirim dari dan kepada Osama bin Laden yang mengutip beberapa pasal dari buku ini.
CHAOS : DULU DAN SEKARANG
Persoalan chaos menjadi tema utama buku ini. Sebelum kita mengembara bersama Penulis untuk mengetahui landasan historis tentang keadaan chaos, sebaiknya kita terlebih dahulu sedikit berbicara tentang arti kata chaos itu sendiri. Yang dimaksudkan oleh Penulis ketika menggunakan kata “chaos” ialah “kondisi kacau-balau yang menjalar ke seluruh sendi negara atau kawasan tertentu ketika ia lepas dari kendali kekuasaan pemerintah”.
Penulis berkeyakinan bahwa kondisi kacau-balau ini akan berubah menjadi “chaos” sehingga menyebabkan penderitaan bagi penduduk setempat. Oleh karena itu, Al-Qaeda –yang akan mengambil alih kekuasaan pemerintah sebagai langkah awal pembentukan daulah Islam- harus menguasai “manajemen chaos” hingga keadaan terkendali.
Pertanyaan yang serta merta muncul adalah: Mengapa Penulis menggunakan kata “manajemen chaos” atau “manajemen konflik yang mengarah chaos”? Apakah perbedaan antara keduanya?
Penulis menjawab:
لأنها ليست إدارة لشركة تجارية أو مؤسسة تعاني من الفوضى أو مجموعة من الجيران في حي أو منطقة سكنية أو حتى مجتمعا مسالماً يعانون من الفوضى، ولكنها طبقاً لعالمنا المعاصر ولسوابقها التاريخية المماثلة في ظل الثروات والأطماع والقوى المختلفة والطبيعة البشرية وفي ظل الصورة التي نتوقعها في هذا البحث يكون الأمر أعم من الفوضى، بل إن منطقة التوحش قبل خضوعها للإدارة ستكون في وضع يشبه وضع أفغانستان قبل سيطرة طالبان. منطقة تخضع لقانون الغاب بصورته البدائية، يتعطش أهلها الأخيار منهم بل عقلاء الأشرار لمن يدير هذا التوحش، بل ويقبلون أن يدير هذا التوحش أي تنظيم أخياراً كانوا أو أشرارًاإلاّ أن إدارة الأشرار لهذا التوحش من الممكن أن تحول هذه المنطقة إلى مزيد من التوحش
“Karena ia bukan manajemen perusahaan dagang atau korporasi yang mengalami konflik, juga bukan manajemen komunitas di satu perkampungan, kawasan pemukiman, atau masyarakat damai yang mengalami konflik. Ia manajemen yang tepat untuk menghadapi realitas masa kini dan sejarah yang serupa dengannya di masa lalu, dalam situasi yang diwarnai dengan kekayaan, ambisi, serta keberagaman kekuatan dan karakter manusia, serta diwarnai dengan berbagai ilustrasi yang akan kita prediksikan dalam pembahasan ini sehingga persoalannya akan meluas lebih dari sekadar konflik.
Suatu wilayah yang mengalami chaos, sebelum berhasil dikendalikan dalam sebuah manajemen, akan berada dalam kondisi yang mirip dengan Afganistan sebelum dikuasai Taliban dan kawasan primitif yang menganut hukum rimba. Para penduduk yang baik di kawasan tersebut, bahkan juga yang jahat tetapi masih memiliki nalar, sangat mendambakan adanya pihak yang bisa mengendalikan situasi chaos ini. Mereka bahkan bisa menerima andaikata situasi chaos ini dikendalikan oleh pemerintahan model apa pun, tidak peduli apakah ia pemerintahan baik atau jahat. Hanya saja, jika pemerintahan jahat yang mengendalikan maka kondisi chaos di wilayah tersebut akan semakin gawat.”
Penulis menyebutkan bahwa sejarah lama dan baru, terutama sejarah Islam, pernah mengalami periode chaos, baik di kalangan masyarakat muslim maupun masyarakat lain. Berarti, fenomena ini bukan merupakan insiden dalam sejarah umat manusia.
Mengenai hal ini, Penulis mengemukakan beberapa contoh: Sistem kesukuan (tribalisme) yang berkuasa di Madinah sebelum Rasulullah sholallohu 'alaihi wa sallam tiba di sana. Adapun setelah beliau tiba di Madinah, beliau memerintah Madinah dengan “sistem pemerintahan ideal dalam manajemen chaos”. Ketika terjadi kejatuhan khilafah islamiah dan umat Islam menghadapi agresi dari luar, seperti agresi Tatar dan tentara Salib; ketika itu terbentuk negeri-negeri kecil yang berupaya menjadi sebuah negara khilafah atau negara yang berdampingan dengan negara-negara lain.
Ada beberapa contoh yang dibawakan oleh Penulis untuk menegaskan berulangnya kondisi chaos ini di seluruh dunia, pada masa sekarang, dengan menunjuk kepada: Afganistan, Filipina dengan Front Pembebasan Moro, gerakan-gerakan jihad di Al-Jazair, gerakan John Garang di Sudan Utara, serta gerakan-gerakan kiri di Amerika Tengah dan Selatan.
Penulis menegaskan bahwa marhalah tawahhusy atau “periode chaos” merupakan fase kedua setelah periode pertama yang terpresentasi dalam “kekuatan penyerang dan penakluk”, sebelum memasuki fase ketiga yang berakhir dengan tamkîn, ‘stabilitas, kemapanan’, yakni pembangunan daulah Islam sesuai dengan rencana jihad yang juga berpandangan bahwa ada beberapa kawasan primer yang akan menapaki fase-fase ini, sementara kawasan-kawasan lain –yang bukan kawasan primer- hanya melalui dua fase, artinya tidak melalui fase “manajemen chaos”, yaitu kawasan yang mendapat tamkîn dari pihak luar.
Penulis mengisyaratkan bahwa proses seleksi wilayah untuk dimasukkan ke dalam “kawasan primer”, yaitu yang akan melalui fase manajemen chaos, didasarkan pada studi yang terkait dengan berbagai peristiwa. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa setelah peristiwa 11 September dan berbagai perkembangan sesudahnya, pimpinan gerakan jihad mengumumkan revisi yang mengeliminasi sebagian wilayah dari kawasan primer untuk dimasukkan ke dalam kawasan yang tunduk kepada sistem pemerintahan negara lain, dan memasukkan “dua negeri” atau katakanlah “dua kawasan” tambahan, yaitu kawasan Dua Tanah Suci dan Nigeria.
Maka, secara prinsipil, Negara yang dicadangkan masuk dalam kategori kawasan primer adalah sebagai berikut: Yordania, Maroko, Nigeria, Pakistan, Kawasan Dua Tanah Suci, dan Yaman.” Klasifikasi kawasan ini, menurut keyakinan Penulis, bisa mengarahkan fokus gerakan mujahidin di negara-negara primer, sehingga kekuatan mereka tidak terpecah-pecah di berbagai negeri yang tidak memberikan respon baik terhadap operasi jihad.
Klasifikasi ini dilakukan dengan menggunakan kriteria:
1) Adanya kedalaman geografis yang memungkinkan terbentuknya wilayah-wilayah yang secara serentak bisa dikendalikan dengan sistem manajemen chaos.
2) Kelemahan rezim berkuasa dan militernya, terutama di wilayah-wilayah perbatasan.
3) Adanya pertumbuhan jihad langsung di wilayah-wilayah tersebut. 4) Karakter masyarakat di wilayah tersebut.
5) Peredaran senjata secara luas di tengah masyarakat. Kebanyakan negara yang dicadangkan tersebut terpisah-pisah jauh, sehingga kekuatan internasional akan kesulitan menyebar ke seluruh kawasan di dunia Islam.
Sementara itu, negara-negara dunia Islam lainnya memiliki sistem sentralistik, kondisi geografis yang sulit, dan karakter masyarakat yang berbeda-beda hingga batas-batas tertentu, sekalipun juga mengalami pertumbuhan gerakan Islam, seperti: Tunisia dan Turki.
ASPEK MILITER DALAM MANAJEMEN CHAOS
Di pasal pertama, Penulis mengkorelasikan antara tercapainya “manajemen chaos” dengan fase sebelumnya, yaitu fase “penyerangan dan penaklukan” yang menurut pandangannya terepresentasikan dalam empat tujuan:
1) Mengalahkan kekuatan militer musuh dan sistem yang bekerja untuknya, memecah konsentrasinya, dan upaya agar kekuatan militer tersebut tidak bisa bernafas, melalui operasi-operasi yang sekalipun berskala dan berdampak kecil –meski hanya memukulkan tongkat ke kepala tentara Salib-, namun penyebaran dan peningkatan operasi-operasi ini akan memiliki dampak jangka panjang.
2) Rekrutmen kader-kader baru untuk menjalankan operasi jihad dari waktu ke waktu, dengan operasi-operasi spesifik yang menarik perhatian masyarakat. Yang dimaksud di sini adalah operasi-operasi spesifik dalam skala sedang, seperti operasi Bom Bali, operasi Mahya, operasi Jarbah di Tunisia, beberapa operasi di Turki, operasi besar di Irak, dan sebagainya. Yang dimaksud bukan operasi spesifik semacam 11 September yang membutuhkan pemikiran besar dan bisa menunda pelaksanaan operasi-operasi spesifik berskala lebih kecil.
3) Melepaskan wilayah-wilayah pilihan dari cengkraman kekuasaan rezim, kemudian dimulailah praktik pengendalian kondisi chaos yang terjadi di sana.
4) Meningkatkan kemampuan unit serangan melalui pelatihan dan praktik lapangan, supaya mereka memiliki kesiapan mental dan praktis untuk menghadapi fase manajemen chaos. Dalam rangka menggerakkan kondisi “sekarang” menuju “masa depan”, dan dari fase “penyerangan” menuju fase “manajemen chaos”,
Penulis menyinggung adanya beberapa peringatan yang dilontarkan oleh sebagian pihak di sana sini dengan alasan “menjaga keutuhan nasional atau kesatuan nasional”. Ucapan seperti ini, selain mengandung syubhat nasionalisme kafir, menunjukkan bahwa mereka itu tidak memahami mekanisme jatuh-bangunnya sebuah peradaban.
Ide militeristik yang disarankan oleh Penulis untuk mengakhiri fase “penyerangan” dan mencapai fase “manajemen chaos” adalah penyerangan terus-menerus terhadap Amerika sehingga membuatnya kelelahan dan tereksploitasi kekuatannya, sebagai langkah pendahuluan untuk penghancurannya.
Untuk menerapkan teori ini dalam ranah realita, Penulis membuat dua rencana:
Rencana pertama, menciptakan variasi dan eskalasi serangan yang ditujukan kepada kekuatan militer musuh Salib dan Zionis di seluruh kawasan dunia Islam, bahkan jika memungkinkan juga di luar dunia Islam, sehingga akan memecah-mecah kekuatan koalisi musuh, dari sana akan dilakukan eksploitasi kekuatannya sebesar mungkin. Sebagai contoh, jika ada sebuah resor wisata yang sering dikunjungi tentara Salib di Indonesia menerima serangan maka akan dilakukan pengamanan terhadap resor wisata di seluruh dunia, sehingga akan memicu mobilisasi kekuatan tambahan melebihi normal dan meningkatkan anggaran.
Jika terjadi serangan terhadap sebuah bank ribawi milik kekuatan Salib di Turki maka akan dilakukan pengamanan terhadap seluruh bank yang berafiliasi kepada kekuatan Salib di semua negara, sehingga eksploitasi kekuatan mereka semakin meningkat. Apabila sebuah perusahaan minyak di dekat Pelabuhan Aden mendapat serangan maka penjagaan berlipat-lipat akan dilakukan di setiap perusahaan minyak, armada angkutnya, dan pipa-pipa salurannya sehingga kekuatan musuh semakin tereksploitasi.
Jika dilakukan operasi pembersihan terhadap dua orang penulis murtad dalam sebuah operasi serempak di dua negara yang berbeda maka hal itu akan mendorong mereka untuk mengamankan ribuan penulis di berbagai negeri dunia Islam. Demikianlah, variasi dan perluasan wilayah target serta serangan yang dilakukan oleh unit-unit kecil independen disertai pengulangan jenis sasaran, dua atau tiga kali, sampai mereka yakin bahwa jenis sasaran tersebut benar-benar menjadi target.”
Rencana kedua, yang disarankan oleh Penulis adalah memecah kekuatan militer rezim politik yang berkuasa di dunia Arab dengan memaksanya mendistribusikan kekuatan keamanan untuk melaksanakan beberapa prioritas berikut:
1. Melindungi keluarga kerajaan dan fasilitas kepresidenan.
2. Melindungi orang asing.
3. Melindungi ekonomi, terutama minyak.
4. Melindungi tempat-tempat pariwisata.
Menurut pandangan Penulis, jika perhatian dan pengawasan sudah terkonsentrasi di beberapa titik, kawasan pinggiran dan wilayah ramai akan semakin longgar dan kosong dari kekuatan militer, atau ada sejumlah personil militer di sana di bawah komandan yang lunak, lemah, dan beberapa perwira yang jumlahnya tidak memadai, karena mereka akan menempatkan perwira-perwira yang cakap untuk melindungi target ekonomi, pejabat tinggi, dan raja.
Dari situ, kekuatan yang secara jumlah personil cukup besar ini kadang-kadang memiliki struktur lemah dan mudah diserang untuk memperoleh persenjataan yang berkualitas baik. Masyarakat akan melihat bagaimana tentara-tentara itu kabur dan tidak menengok ke belakang lagi. Dari sini, mulailah terjadi kondisi chaos dan kacau-balau, mulailah wilayah-wilayah ini mengalami ketidakamanan. Ini terjadi seiring dengan upaya pelemahan dan eksploitasi melalui serangan terhadap target-target lain dan perlawanan terhadap penguasa.”
Untuk merealisasi semua rencana di atas, milisi-milisi yang berjihad harus mengembangkan sejumlah strategi, yang terpenting di antaranya ialah:
1. Strategi militer yang mampu memecah kekuatan musuh, melemahkan dan mengeksploitasi kemampuan ekonomi dan militernya.
2. Strategi informasi yang mentargetkan dua golongan. Pertama, golongan masyarakat. Strategi ini diharapkan mendorong sebagian besar masyarakat bergabung dan melakukan dukungan aktif kepada jihad, atau bagi orang-orang yang tidak bergabung dalam barisan setidaknya bersikap pasif. Kedua, golongan tentara musuh yang mendapat gaji duniawi.Strategi ini diharapkan mendorong mereka supaya bergabung ke barisan mujahidin atau setidaknya menghindar dari memberikan pelayanan kepada musuh.”
BEBERAPA KAIDAH DAN REKOMENDASI
Penulis membuat beberapa kaidah manajemen chaos yang dijelaskan di Pasal Kedua . Kaidah ini dilatarbelakangi pandangan-pandangan strategis yang mengarahkan rencana pemikiran dan politiknya hingga mencapai target. Kaidah ini terhimpun dalam beberapa rekomendasi, di antaranya:
1) Menguasai manajemen.
2) Menggunakan prinsip-prinsip militer yang telah teruji.
3) Terus-menerus meningkatkan eskalasi operasi militer.
4) Menyerang sekuat mungkin titik-titik kelemahan musuh.
5) Menggunakan kekerasan dan menjalankan politik yang bisa meyakinkan musuh bahwa musuh tidak akan melakukan satu tindakan pun kecuali “harus membayar harganya”.
6) Memahami motif pemikiran dan perilaku musuh maupun gerakan-gerakan Islam lainnya.
7) Memahami dan melawan politik media yang dilancarkan oleh musuh.
Penulis telah memprediksikan berbagai problem dan tantangan yang akan menjadi kendala dalam pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi di atas. Ia mengatakan:
إن مرحلة [إدارة التوحش] سنواجه مشكلة غارات العدو –الصليبي أو المرتد الجوية على معسكرات تدريب أو مناطق سكنية في نطاق المناطق التي نديرها، ومع وضع تحصينات دفاعية وخنادق لمواجهة تلك المشكلة إلا أنه ينبغي كذلك أن نتتبع سياسة دفع الثمن في مواجهة إجرام العدو، وسياسة دفع الثمن –التي سبق الإشارة إليها- في هذه الحالة تحقق ردعا للعدو وتجعله يفكر ألف مرة قبل مهاجمة المناطق المدارة بنظام إدارة التوحش
“Pada fase manajemen chaos kita akan menghadapi masalah serangan udara musuh -salibis maupun murtad- terhadap kamp pelatihan atau wilayah pemukiman di kawasan yang berada di bawah kendali kita. Tentu saja kita harus membuat benteng pertahanan dan parit untuk menghadapi masalah tersebut, akan tetapi kita juga harus menerapkan politik ‘bayar harga’ dalam menghadapi agresi musuh. Politik bayar harga –yang telah dikemukakan- dalam kondisi ini dilaksanakan untuk mencegah musuh dan membuatnya berfikir seribu kali sebelum menyerang wilayah-wilayah yang berada di bawah kendali manajemen chaos.”
Penulis menjelaskan sudut pandangnya secara lebih jauh dengan mengatakan:
إن أفضل من يقوم بعمليات دفع الثمن هم المجموعات الأخرى في المناطق الأخرى، والتي لم يقع عليها العدوان، وفي ذلك فوائد عدة سنتوسع فيها في الفصل الخاص بالشوكة من أهمها، إشعار العدو أنه محاصر ومصالحه مكشوفة، فلو قام العدو بعمل عدائي على منطقة في جزيرة العرب أو في العراق فتم الرد عليه في المغرب أو نيجيريا أو إندونيسيا سيؤدي ذلك إلى إرباك العدو خاصة إذا كانت المنطقة التي تتم فيها عملية دفع الثمن تخضع لسيطرة أنظمة الكفر أو أنظمة الردة فلن يجد مجالا جيدا للرد عليها، وستعمل تلك العملية كذلك على رفع معنويات من وقع عليهم العدوان وإيصال رسالة عملية للمسلمين في كل مكان بأننا أمة واحدة وأن واجب النصرة لا ينقطع بحدود
“Operasi-operasi ‘bayar harga’ sebaiknya dilakukan oleh unit-unit lain di wilayah berbeda yang tidak terkena agresi. Hal ini mengandung banyak manfaat yang akan kita bicarakan secara luas di pasal khusus tentang “kekuatan”, yang terpenting di antaranya adalah: menimbulkan perasaan pada musuh bahwa mereka terkepung dan kepentingan-kepentingan mereka telah terdeteksi. Jika musuh melakukan agresi di suatu wilayah di Jazirah Arab atau Irak maka reaksi balasan akan terjadi di Maroko, Nigeria, atau Indonesia. Hal itu akan mengakibatkan musuh kebingungan, terutama apabila wilayah yang terkena operasi ‘bayar harga’ berada di bawah kekuasaan pemerintahan kafir atau murtad, maka ia tidak mendapat sasaran yang strategis untuk melakukan serangan balasan.
Operasi itu juga akan berperan menaikkan mental mereka yang menjadi korban agresi dan menyampaikan pesan kongkrit kepada kaum muslimin di mana pun bahwa kita adalah satu umat dan kewajiban menolong tidak bisa diputus dengan garis perbatasan negara.”
Penulis menambahkan:
ولا يقتصر دفع الثمن في الصورة السابقة على العدو الصليبي، فعلى سبيل المثال إذا قام النظام المصري المرتد بعمل قام فيه بقتل وأسر مجموعة من المجاهدين يمكن أن يقوم شباب الجهاد في الجزيرة أو المغرب بتوجيه ضربة للسفارة المصرية مع بيان تبريري لها أو القيام بخطف دبلوماسيين مصريين كرهائن حتى يتم الإفراج عن مجموعة من المجاهدين مثلا ونحو ذلك
“Operasi bayar harga sebagaimana ilustrasi terdahulu tidak terbatas terhadap musuh Salibis. Sebagai contoh, jika Rezim Mesir yang murtad membunuh dan menawan sekelompok mujahidin maka para pemuda jihad di Jazirah Arab atau di Maroko melancarkan serangan ke kedutaan Mesir sambil menjelaskan alasan serangan itu atau melakukan penculikan terhadap diplomat Mesir sebagai jaminan pembebasan sekelompok mujahidin, misalnya, dan sebagainya.”
REALISASI KEKUATAN
الدول المرشحة لتدخل في ضمن مجموعة المناطق الرئيسية لعمل القاعدة لأنها المرشحة بدرجة أكبر من غيرها للدخول في مرحلة إدارة التوحش هي: الأردن وبلاد المغرب ونيجيريا وباكستان وبلاد الحرمين واليمن
“Negeri-negeri yang dicadangkan untuk masuk dalam kategori kawasan primer bagi aktivitas Al-Qaeda, karena memiliki potensi lebih besar daripada negara-negara lain untuk dicadangkan masuk ke fase manajemen chaos adalah Yordania, Maroko, Nigeria, Pakistan, negeri Dua Tanah Suci, dan Yaman.”
Solidaritas, kepercayaan diri, dan kekuatan kolektif hanya mungkin terealisasi sempurna melalui apa yang disebut oleh Penulis sebagai: “realisasi kekuatan”.
Yang dimaksudkan dengan kekuatan adalah “loyalitas berlandaskan iman”. Ketika setiap individu dalam kelompok atau di wilayah chaos –meski jumlahnya sedikit- memperoleh loyalitas dari seluruh individu dan juga memberikan loyalitasnya kepada seluruh individu yang ada di situ, dalam arti ia akan membela mereka sebagaimana mereka membelanya, dari situ akan terbentuk kekuatan kelompok ini untuk menghadapi musuh.”
Penulis mengatakan:
إن العمل العسكري هام جدا في استمرارية الحركات الإسلامية الجهادية وبقائها ولكن هذا الأمر لا يغني عن العمل السياسي، ولهذا يطالب قيادات هذه الحركات بإتقان علم السياسة كإتقان العلم العسكري سواء بسواء
“Aktivitas militer berperanan sangat penting bagi kesinambungan dan eksistensi gerakan Islam jihadi. Tapi, hal ini tidak menghilangkan kebutuhkan kepada aktivitas di bidang politik. Oleh karena itu, para komandan gerakan ini dituntut menguasai ilmu politik dengan baik, sama persis sebagaimana mereka menguasai ilmu kemiliteran.”
Menurut Penulis, aspek politik ini terepresentasikan pada pemahaman terhadap motif-motif pemikiran dan perilaku politik pada musuh maupun gerakan Islam lain di sekitarnya. Aspek ini akan membantu dalam memahami “motif materi yang menggerakkan musuh.”
Penulis juga menyebutkan adanya poin-poin penting yang harus dijadikan pelajaran oleh para pemimpin teras gerakan Islam ketika menjalankan aktivitas politik, yaitu:
1) Jangan merasa cukup bila para tokoh politik Islam memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi, akan tetapi tingkat pengetahuan yang tinggi itu juga harus dimiliki oleh para kader.
2) Memahami titik-titik kesepakatan dan perbedaan antara aliran salafi jihadi dengan aliran-aliran Islam lainnya, serta berinteraksi dengan mereka berdasarkan landasan ini.
3) Memperkirakan reaksi yang mungkin timbul akibat langkah-langkah yang direncanakan untuk dilaksanakan, kemudian dengan segera menjalankan atau menunda rencana tersebut berdasarkan pertimbangan kondisi yang tepat atau melakukan pengkondisian terlebih dulu sehingga terwujud kondisi yang sesuai.
4) Mewaspadai kelalaian dalam mengkaji dan memahami siyâsah syar’iyyah dalam berinteraksi dengan barisan mujahid dan musuh yang menerima ajakan bergabung ke barisan kaum muslimin, bahkan kadang-kadang mereka langsung bergabung ke barisan para mujahid. Kita juga belajar bagaimana bersikap apabila di dalam barisan kita ada kelompok pembangkang, murtad, meminta dzâtu anwâth, membuat peraturan yang mengandung pelanggaran terhadap nash syar’i, atau meminta bergabung dengan PBB.
5) Memahami politik media informasi milik musuh dan melakukan interaksi untuk memenangkan pertempuran militer dan politik.
6) Soal polarisasi dan kaidah afiliasi ke dalam barisan merupakan rekomendasi penting yang disampaikan oleh Penulis.
Ia mengatakan:
يجب جر الشعوب إلى المعركة بحيث يحدث بين الناس –كل الناس- استقطاب، فيذهب فريق منهم إلى جانب أهل الحق وفريق إلى جانب أهل الباطل ويتبقى فريق ثالث محايد ينتظر نتيجة المعركة لينضم للمنتصر
“Masyarakat harus ditarik ke tengah medan pertempuran, sehingga terjadi polarisasi pada setiap individu masyarakat, sebagian bergabung dengan pihak kebenaran, sebagian bergabung kepada pihak kebatilan, dan sisanya adalah pihak ketiga yang netral dan menunggu hasil pertempuran untuk bergabung dengan pihak yang menang.”
Kemudian, ia mengatakan:
علينا جذب تعاطف هذا الفريق وجعله يتمنى انتصار أهل الإيمان، خاصة أنه قد يكون لهذا الفريق دور حاسم في المراحل الأخيرة من المعركة الحالية
“Kita harus menarik simpati kelompok ini dan menjadikannya mengharpkan kemenangan bagi orang-orang beriman, terutama karena mungkin kelompok ini akan memiliki peranan krusial pada tahapan-tahapan akhir dari pertempuran sekarang.”
Metode untuk menarik keberpihakan ini pada fase chaos bisa dilakukan dengan: meningkatkan kondisi keimanan, berdialog interaktif, memaafkan, dan menarik simpati dengan harta. Kemudian, Penulis berimajinasi jauh untuk memprediksi mulai terjadinya kompetisi, atau bahkan konflik, di jajaran pimpinan manajemen chaos sendiri.
Oleh karena itu, ia melontarkan sebuah pertanyaan yang sangat penting, yaitu:
منطقتين متجاورتين ببعضهما البعض أو أكثر من منطقتين: أي المنطقتين تلتحق بالأخرى وتنزل إدارتها تحت إمرة الإدارة الأخرى؟ وهل الذي يحسم تلك الأمور عنصر السبق في الجهاد والعمل لدين الله أو عنصر التفوق المادي والأقدر على القيادة أو عناصر أخرى؟
“Ketika suatu wilayah jatuh ke dalam manajemen chaos atau jika ada dua wilayah atau lebih yang saling berdekatan harus digabungkan dalam satu manajemen chaos, wilayah manakah yang harus menyerahkan manajemennya kepada manajemen yang lain? Apakah penentunya faktor keterdahuluan dalam jihad dan perjuangan untuk din Allah, kelebihan materi, kemampuan memimpin yang lebih baik, ataukah faktor-faktor lain?”
Penulis menjawab:
في دراسة سابقة طرح أنه عند اتحاد جماعتين جهاديتين أن يتولى الإمارة الأصلح قياما بأعمال الجهاد والأكثر قدرة على تحقيق أهدافه كذلك
“Berdasarkan studi terdahulu telah dikemukakan bahwa apabila diperlukan penggabungan antara dua jamaah jihad maka kepemimpinannya diserahkan kepada jamaah yang lebih baik dalam menjalankan aktivitas jihad dan lebih memiliki kemampuan dalam merealisasikan target-targetnya.”
Penulis secara lugas menyatakan panjangnya peperangan dan sulitnya perjuangan untuk merealisasi rencana menuju tamkîn (berdirinya daulah Islam).
Ini bukan berarti merupakan keputusasaan Penulis, melainkan sebuah cara pandang tipikal Penulis yang realistis. Karena itu, ia berkata:
ظواهر الأحداث وتطورها ينبئ بطول المعركة، وطولها يتيح فرصة لاختراق الخصوم المجاورين وتأسيس جهاز أمني قوي يكون أكبر دعامة لتأمين الحركة الآن والدولة فيما بعد
“Berbagai indikasi dan perkembangan peristiwa menunjukkan peperangan ini akan lama. Lamanya peperangan ini membuka kesempatan untuk kegiatan infiltrasi kepada musuh dan gerakan-gerakan lain serta pembangunan infrastruktur keamanan yang kuat yang akan menjadi sarana penopang paling besar guna mengamankan gerakan di masa kini maupun daulah Islam di masa yang akan datang.”
Penulis menyarankan kegiatan infiltrasi ke jamaah-jamaah Islam lain, bahkan juga upaya meraih kedudukan lebih tinggi di level kepemimpinannya, melalui personil yang dipercaya memiliki kemampuan melindungi diri dari syubhat-syubhat ilmiah dan syahwat. Penulis menyatakan bahwa hal itu akan melahirkan banyak manfaat.
Terkait dengan aktivitas intelejen terhadap jamaah-jamaah lain, ia berpandangan bahwa:
إِن اختراق الجماعات الإسلامية الأخرى، بل والترقي في سلمها القيادي من خلال أفراد موثوق في تمكنهم من مدافعة الشبهات العلمية والشهوات، ينتج عن ذلك فوائد كثيرة مختلفة، وهناك حالات سابقة ناجحة
“Infiltrasi ke dalam jamaah-jamaah Islam lain, bahkan upaya untuk meraih kedudukan tinggi di level kepemimpinannya melalui personil yang dipercaya memiliki kemampuan melindungi diri dari syubhat ilmiah maupun syahwat, akan melahirkan beragam manfaat. Ada beberapa kasus di masa lalu yang sukses.”
Tetapi Penulis buru-buru menepis kerancuan tentang diharamkannya melakukan aktivitas intelejen terhadap kaum muslimin. Ia mengatakan:
أعتقد بجواز ذلك (التجسس) تجاه الحركات التي تؤذي المجاهدين أو تتعامل مع الطواغيت، أما اختراق الحركات التى لاتؤذي المجاهدين فلا يتم الاختراق لجمع المعلومات ولكن لدعوتهم والتقرب منهم والاستفادة من تحويل مواقفهم في صالح الجهاد حال الأوضاع والمواقف الحاسمة
“Saya berkeyakinan mengenai dibolehkannya hal itu (kegiatan mata-mata) terhadap gerakan-gerakan Islam yang memusuhi mujahidin atau berinteraksi dengan thaghut. Adapun infiltrasi terhadap gerakan-gerakan yang tidak menyakiti mujahidin, maka infiltrasi tersebut dilakukan bukan untuk mengumpulkan informasi, melainkan untuk mendakwahi mereka, mendekatkan diri dengan mereka, serta menciptakan kemaslahatan dengan mengubah sikap mereka agar sesuai dengan kepentingan jihad ketika terjadi kondisi-kondisi dan situasi-situasi yang krusial.”
Sebagaimana doktrin politik Barat yang berbicara tentang “pendidikan politik dan sosial” untuk membangun negara, Penulis juga menghimbau penggunaan metode-metode pendidikan untuk membina generasi pemuda jihadi sebagaimana “Generasi Islam Pertama” telah dididik.
Penulis merinci sejumlah metode yang bisa digunakan untuk merealisasi tujuan ini, di antaranya: pendidikan melalui nasihat, kebiasaan, ketaatan, keteladanan, dan kejadian. Tidak diragukan bahwa pengaruh Sayid Qutub dan Ibnu Taimiah pada penulis sangat kentara terkait dengan aspek pendidikan.
Oleh karena itu, Penulis mengatakan:
ورحم الله سيد قطب القائل: ‘إن هذا القرآن لا يكشف أسراره إلا للذين يخوضون به المعارك، والذين يعيشون في الجو الذي تنزل فيه أول مرة’، لذلك تنبه علماء السلف وأهل النظر الثاقب من المعاصرين إلى هذه القضية، فهذا شيخ الإسلام ابن تيمية ـ رحمه الله ـ يقول: ‘من كان كثير الذنوب فأعظم دوائه الجهاد
“Semoga Allah merahmati Sayid Qutub yang mengatakan: ‘Al-Qur’an ini tidak menyingkap rahasia-rahasianya kecuali kepada orang-orang yang membawanya terjun ke kancah pertempuran demi pertempuran dan orang-orang yang hidup dalam atmosfer seperti ketika ia diturunkan pertama kali.’
Oleh karena itu, para ulama Salaf dan ulama kontemporer yang berpandangan jeli menyadari permasalahan ini. Inilah Syaikhul Islam Ibnu Taimiah yang berkata: ‘Barang siapa banyak berdosa maka obatnya yang paling manjur adalah berjihad.’”
Penulis mengakui adanya beberapa kendala yang menghadang realisasi proyek “manajemen chaos” yang, berdasarkan logika berpikirnya, akan mendorong kepada terbentuknya daulah Islam, bahkan kekhalifahan Islam.
Ia menyebutkan enam poin tentang kendala-kendala tersebut di Pasal Ketiga buku ini seraya mengusulkan beberapa solusi untuk mengatasinya apabila kendala itu terjadi, di antaranya: berkurangnya personil kekuatan pasukan beriman, penurunan jumlah kader organisasi, loyalitas kepada organisasi lama, infiltrasi dan intelejen, pengunduran diri dan pembangkangan oleh individu atau kelompok, semangat berlebihan dan berbagai implikasinya pada sebagian mujahidin.”
Terkait dengan problem berkurangnya personil pasukan beriman, Penulis mengingatkan kita bahwa:
في بداية الحرب الأفغانية في سبعينات القرن الفائت مر بالجهاد فترات عصيبة، حيث وجِّهت للمجاهدين عدة ضربات حتى تبقى منهم ـ في إحدى الروايات ـ ثلاثون رجلاً ولكن بعد ذلك وعلى مدار أكثر من عشر سنوات في مواجهة النظام ثم في مواجهة النظام والروس قدّم الجهاد هناك مليون ونصف مليون شهيد ـ بالطبع منهم أعداد كبيرة من الشعب المسلم مات تحت القصف ـ فمن أين أتت هذه الأعداد؟ الإجابة أن ذلك حدث من خلال جر الشعب إلى المعركة وتجييشه، خاصة عندما نقيم مناطق آمنة من الفوضى والتوحش الناتج عن القتال ويهاجر الناس إلى تلك المناطق
“Di awal masa perang Afghanistan, pada tahun 70-an abad yang lalu, jihad telah melalui fase-fase kritis ketika mujahidin menerima banyak serangan sehingga jumlah mujahidin yang tersisa –menurut sebagian riwayat- tinggal tiga puluh orang. Namun sesudah itu, setelah lewat sepuluh tahun perlawanan terhadap rezim, kemudian perlawanan terhadap rezim dan Rusia, jihad di sana telah mempersembahkan satu setengah juta syuhada –tentu di antara mereka banyak rakyat muslim yang tewas karena pemboman-. Dari mana datangnya jumlah sebesar ini?
Jawabannya, itu merupakan buah keberhasilan usaha menarik dan memobilisasi rakyat agar terjun ke medan pertempuran, terutama ketika kita berhasil membangun kawasan yang terbebas dari kekacauan dan chaos akibat peperangan dan orang-orang berhijrah menuju kawasan-kawasan tersebut.”
Terkait dengan problem penurunan jumlah kader organisasi, terutama di masa-masa awal fase “manajemen chaos”, Penulis berpendapat bahwa:
ينبغي أن تدار بأيدينا وأيدي الناس الذين يعيشون فيها، بل والأهم أنه يوجد للمشكلة حل أفضل من ذلك، ألا وهو أن نقترب من الناس، وقد نُعين منهم في إدارة المنطقة التي نديرها أفراداً لإدارة بعض الأعمال برواتب و أجور، في حين سيجدون رجالنا يعملون بجانبهم بدون أجر، يجب أن يروا منا مثالاً للصبر والزهد والبذل والتضحية، مثالاً للعدل وإنصاف المظلومين
“Kendali manajemen ini harus berada di tangan kita dan tangan orang-orang yang hidup di dalamnya, bahkan yang lebih penting lagi bahwa ada solusi lebih baik dari itu untuk mengatasi problem ini, yaitu melakukan pendekatan kepada masyarakat, kadang-kadang kita bisa menetapkan beberapa orang di antara mereka untuk mengendalikan kawasan yang berada di bawah manajemen kita untuk menangani beberapa pekerjaan dengan gaji dan upah, sementara mereka akan mendapati orang-orang kita bekerja di samping mereka tanpa upah. Mereka harus melihat keteladanan pada diri kita dalam kesabaran, kezuhudan, kedermawanan, pengorbanan, dan keteladanan dalam keadilan terhadap orang-orang yang dizhalimi.”
Terkait dengan problem “loyalitas lama” kepada jamaah Islam lain, Penulis berkata:
الذيي يعطينا ا لولاء نتولاه الولاية الكاملة، إلا إذا أظهر في كلامه أو أحواله استمرار ولائه مع تنظيمه السابق أو تبني بعض القضايا أو المفاهيم لذلك الحزب فلنا هنا وقفة: فمثلا لو وجدناه يتصل بقيادات في جماعة مثل الإخوان أو تيار إرجائي فنسأله: هل تعتقد ما يعتقدون في دخول المجالس البرلمانية الشركية أو عدم الكفر بالطاغوت؟ فإن جاءت إجابته تحتمل التأويل فقد لا نستطيع إنزال حكم عليه بسبب مانع التأويل إلا أننا لا نقبل في صفنا هذه النوعيات
“Orang yang memberikan loyalitas kepada kita maka kita pun memberikan loyalitas yang penuh kepada mereka, kecuali apabila ia menampakkan pada ucapan atau sikapnya masih terdapat loyalitas kepada organisasi lama, pengadopsian sebagian persoalan dan paham golongan tersebut, maka di sini kita perlu bersikap: sebagai contoh jika kita mendapatinya masih melakukan kontak dengan pimpinan-pimpinan jamaah seperti Al-Ikhwan atau kelompok beraliran murjiah, maka kita akan bertanya kepadanya: apakah engkau berkeyakinan sebagaimana keyakinan mereka mengenai keterlibatan dalam parlemen syirik atau ketidakkafiran kepada taghut?
Jika jawabannya mengandung ta’wil, mungkin kita tidak bisa menjatuhkan vonis terhadapnya disebabkan adanya penghalang ta’wil ini, hanya saja kita tidak menerima orang-orang dengan spesifikasi seperti ini di dalam barisan kita.”
Adapun persoalan infiltrasi dan kegiatan intelejen dianggap Penulis sebagai persoalan yang sangat urgen, meskipun ia yakin bahwa kelompoknya memiliki kemampuan mengatasi persoalan ini karena pengalaman jihad dan peperangan panjang telah memberikan kesempatan untuk memastikan siapakah orang yang ikhlas dan yang tidak ikhlas.
Problem kelima yang dilontarkan oleh Penulis adalah pengunduran diri atau pembangkangan individu dan kelompok atau sebuah wilayah secara utuh. Ini menunjukkan kepekaan terhadap aspek keamanan hadir secara terus-menerus dan kuat di pikiran Penulis, dalam ide-ide masa depannya terhadap, bukan saja fase chaos, melainkan juga fase setelah chaos, yaitu fase penegakan daulah.
Penulis berpandangan bahwa:
بعض مناطق التوحش ستقع تحت سيطرة إدارة عشائرية أو أحد التنظيمات المسلحة من بقايا الأنظمة أو تنظيم لأحد الأحزاب ونحو ذلك، وإننا تغليبا لحكم الإسلام سنعاملهم على أنهم مسلمون، وعلينا مراسلتهم والتأكيد على أن يحكموا بالشرع وأن يتبادلوا الولاء والنصرة
“Sebagian wilayah chaos akan jatuh di bawah kekuasaan suku-suku atau salah satu milisi bersenjata sisa-sisa rezim atau sebuah milisi yang berafiliasi kepada beberapa partai, dan sebagainya. Kita akan memperlakukan mereka sebagai muslim berdasarkan generalisasi hukum Islam terhadap mereka. Kita wajib berkoresponden dengan mereka dan meyakinkan mereka untuk melaksanakan syariat serta saling memberikan loyalitas dan pertolongan.”
Problem keenam dan terakhir yang diperingatkan oleh Penulis adalah tiga sifat yang harus dihindari oleh mujahidin selama mereka menjalankan manajemen chaos, yaitu: sikap tergesa dalam menjalankan operasi dan sikap berlebihan, dan tindakan bodoh.
PROSPEK RENCANA INI DARI WAKTU KE WAKTU
Agaknya Penulis buku menyadari pemikiran pihak-pihak lain, baik mereka yang berasal dari mainstream Islam maupun lainnya, mengenai betapa kerasnya rencana yang dirancangnya. Oleh karena itu, di bagian akhir “rencana revolusi” yaitu di bagian penutup buku, ia melontarkan pertanyaan berikut: “Adakah solusi lain yang lebih mudah dan lebih mampu mencegah pertumpahan darah daripada solusi yang berat ini?”
Sayid Naji menunjuk kepada beberapa rencana lain untuk dikomparasikan dengan rencana khusus yang dikemukakannya dalam buku ini: Ia mengemukakan beberapa solusi damai seperti pemilu dan aktivitas dakwah secara damai. Ia juga mengemukakan solusi yang lebih rasional melalui serangan kilat yang bisa mengakhiri segalanya dalam waktu singkat tanpa banyak terjadi pertumpahan darah.
Serangan semacam itu bisa dilakukan melalui dua cara, berdasarkan cara yang pernah dilakukan dan metode berpikirnya; sebagian orang menyarankan serangan cepat melalui kudeta militer, sedangkan sebagian lain menyarankan sebuah serangan setelah dilakukannya persiapan secara rahasia tanpa diketahui oleh seorang pun.
Sebagian lagi mengemukakan solusi berupa serangan kilat melalui jalan pendidikan panjang yang damai di bawah pengawasan taghut, yang dari situ bisa dibangun lembaga-lembaga politik, ekonomi, ilmiah syar’i, teknologi, dan sebagainya yang islami, kemudian dilakukan serangan kilat melalui seluruh lembaga yang ada ini.
Sebagian lagi mengemukakan solusi bahwa yang akan melakukan serangan itu adalah anak-anak kita, bukan kita. Tetapi saya tidak tahu, bagaimana anak-anak akan melakukan peperangan sedangkan kondisi orang tua mereka seperti ini?
Penulis juga mengkritik pemikiran moderat, dengan mengatakan:
إن هذا الفقه الذي نسمعه من مشايخنا من جواز التعددية السياسية، وجواز التداول على السلطة، وعدم جواز الجهاد الهجومي، وجواز تولي الكفار المناصب السياسية والعسكرية والقضائية في الدولة الإسلامية (مرده) هذا الحلم الفاسد الناشئ عن تخمة مردها خلط الأفكار غير متجانسة
“(Fatwa) fikih yang sering kita dengar dari para syaikh kita mengenai bolehnya multipartai, bolehnya berkompromi dengan penguasa, tidak dibolehkannya jihad ofensif, juga dibolehkannya orang-orang kafir menduduki jabatan politik, militer, dan kehakiman di Negara Islam pangkalnya adalah adanya mimpi keliru ini yang berpangkal dari kelinglungan akibat campur aduknya pemikiran-pemikiran yang inkonsisten.”
Sebaliknya, Sayid Najdi membela rencananya dengan ucapan:
علينا أن نعلم أن النصر الكبير الضخم مجموعة من سلسلة انتصارات صغيرة، ولا يمكن أن يقع شيء في مجال النصر والهزيمة بصورة طفرة مفاجئة تباغت المنتصر أو المهزوم، إذ الطفرة التي لا مقدمة لها لا وجود لها إلا في عقول مشايخنا وقادتنا فقط
“Kita harus mengetahui bahwa kemenangan besar merupakan kumpulan dari mata rantai kemenangan-kemenangan kecil. Tidak mungkin suatu kemenangan atau kekalahan terjadi melalui sebuah lompatan mengejutkan bagi yang menang maupun yang kalah, karena lompatan tanpa pendahuluan itu tidak pernah ada kecuali di pikiran para guru dan pimpinan kita saja.”
Hingga ia mengatakan:
إننا نحلم بترتيب رفيع جدا لشوكة التمكين دون المرور بشوكة النكاية، وهي الشوكة التي يقع فيها: ‘إن تكونوا تألمون فإنهم يألمون كما تألمون’، ويقع فيها: ‘يقاتلون في سبيل الله فيقتلون ويقتلون’، وهذا مع عدم إمكانية حدوثه فإنه يفرز ولا شك فقهاً أعوج، وأحكاماً فاسدة، وما هذا الفقه الذي نسمعه من مشايخنا من جواز التعددية السياسية، وجواز التداول على السلطة، وعدم جواز الجهاد الهجومي، وجواز تولي الكفار المناصب السياسية والعسكرية والقضائية في الدولة الإسلامية (مرده) هذا الحلم الفاسد الناشئ عن تخمة مردها خلط الأفكار غير متجانسة
“Sungguh, betapa teraturnya kita bermimpi tentang kekuatan kekuasaan tanpa melalui kekuatan penaklukan, yaitu kekuatan yang di dalamnya terjadi: ‘Jika kalian merasakan kepedihan maka sesungguhnya mereka pun merasakan kepedihan sebagaimana kalian.’ Dan terjadi pula: ‘Mereka berperang di jalan Allah, lalu dibunuh atau membunuh.’ Selain mustahil terjadi, mimpi seperti ini juga akan melahirkan (fatwa) fikih yang menyimpang dan kesimpulan hukum yang salah.
(Fatwa) fikih yang selalu kita dengar dari para syaikh kita mengenai bolehnya multipartai, bolehnya berkompromi dengan pemerintahan, tidak bolehnya jihad ofensif, juga dibolehkannya orang-orang kafir menduduki jabatan politik, militer, dan kehakiman di Negara Islam pangkalnya adalah adanya mimpi keliru ini yang berpangkal dari kelinglungan akibat campur aduknya pemikiran-pemikiran yang inkonsisten.”
Penulis mengakhiri bukunya dengan perkataannya:
إن حركات الجهاد السلفية هي المتقدمة عن غيرها في فهمها لدين الله تعالى –فهم السنن الشرعية والكونية-، وهي الأمل إن شاء الله تعالى
“Gerakan-gerakan jihad salafi adalah yang terdepan dibandingkan gerakan jihad lainnya dalam hal pemahaman terhadap din –yaitu pemahaman tentang sunnah syar’i maupun sunnah kauni- dan ia merupakan gerakan jihad yang menjadi harapan, insya Allah.”
WHAT NEXT?
Buku ini bisa dikatakan merupakan konstitusi “Negara Islam Masa Depan” bagi gerakan-gerakan jihad, terutama bagi Al-Qaeda. Ia merupakan model diplomasi islami jihadi yang progresif dengan segala maknanya, baik secara intelektual, militer, maupun politik. Ia mencerminkan sebuah perkembangan baru dalam diplomasi-diplomasi yang biasanya lebih mengandalkan “gerakan” daripada “pemikiran”, lebih bertumpu pada “aksi militer”, daripada “aktivitas politik”, dan lebih berorientasi pada “masa depan” daripada “masa lalu”.
Pengamatan terhadap operasi-operasi yang dijalankan oleh Al-Qaeda akan memberi kita pemahaman tentang sejauh mana instruksi-instruksi dalam buku ini diterapkan “secara persis” oleh para penganut mainstream salafi jihadi di seluruh dunia, seperti penargetan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di suatu kawasan, seperti Yordania, Mesir, Saudi, juga penargetan simbol-simbol Barat, seperti hotel dan resor wisata sebagaimana yang terjadi di operasi di Casablanca, Bali, dan Aman, atau simbol-simbol keagamaan seperti yang terjadi di gereja Yahudi di Jarbah Tunisia, juga Istanbul, simbol-simbol ekonomi yang mentargetkan infrastruktur pengiriman minyak dari Negara Arab ke Barat, sebagaimana terjadi Lumberg Belanda dan Pabrik Penyulingan Minyak Mentah di Baqiq, di wilayah timur Saudi Arabia.
Harus diakui bahwa ada beberapa faktor yang berperan dalam meningkatkan simpati terhadap misi jihadi salafi yang dipresentasikan dalam buku ini, di antaranya: kebijakan politik Amerika yang cenderung berpihak kepada Israel, agresinya ke Afganistan dan Irak, tekanannya terhadap Suriah dan Iran, belum lagi dukungannya terhadap rezim diktator di negara-negara Arab. Semua itu menimbulkan kemarahan rakyat dan kecurigaan terhadap kredibilitas kebijakan politik ini.
Sangat jelas, buku Idâratut Tawahhusy lebih banyak memancing timbulnya pertanyaan daripada memberikan jawaban serta lebih banyak mendorong perhatian kepada masa depan daripada perhatian kepada masa sekarang.
Ada beberapa pertanyaan yang penting untuk dijadikan sebagai bahan pemikiran dan dijawab secara memuaskan, yaitu: Parameter apakah yang digunakan Penulis untuk menilai “kejihadan” pengikut-pengikutnya dan kemampuan mereka untuk bertahan, berperang, dan melakukan persiapan terus-menerus untuk meraih kesyahidan atau kemenangan?
Ketika Penulis mengajak kita melihat kepada zaman dan kekuasaan kaum muslimin generasi awal, apakah ada alasan yang memungkinkan untuk membangkitkan kembali “Negara Madinah” yang telah didirikan oleh Rasul n sejak lebih dari 14 abad yang lalu itu?
Apakah diplomasi jihad yang diadopsi oleh gerakan salafi jihadi ini merupakan sebuah pemikiran Islam yang orisinal ataukah pemikiran “yang datang dari luar” atau sekadar “reaksi” terhadap peristiwa-peristiwa dalam konteks konflik antara Dunia Islam dan Dunia lain, terutama Barat?
Dalam situasi dan kondisi politik, ekonomi, dan sosial Dunia Arab dan Islam sekarang ini: bisakah pemikiran aliran salafi jihadi ini menjadi pilihan yang diterima –walaupun bersifat sementara- oleh rakyat yang merasa telah menghadapi jalan buntu setelah kegagalan mereka menjalankan banyak pilihan pemikiran, mulai dari pemikiran kiri, nasionalisme, dan Islam moderat, seperti teori “mengisi kekosongan”?
Catatan:
Jamal Asy-Syalbi, dosen ilmu politik di Universitas Hasyimiah, Yordania. Meraih gelar doktor di bidang ilmu politik dari fakultas hukum Universitas Sorbonne 2, Paris, tahun 1995. Bekerja di beberapa universitas sebelum menjadi dosen tetap di Universitas Hasyimiah sejak tahun 2000.
Pernah menerbitkan beberapa buku, di antaranya: Al-Hiwârul ‘Arabi Al-Iskandinâfî, Muhammad Hasanain Haikal bainan Nizhâmil Isytirâkî li ‘Abdin Nâshir wanfitâhis Sâdât 1952-1981, Lâr Mâtân, Al-‘Arab wa Ûrûbâ: Ru’yah Siyâsiyyah Mu‘âshirah, At-Tahawwul Ad-Dîmuqrâthî wa Hurriyyatush Shahâfah fil Urdun. (Abu Fatih/syamina.com/voa Islam)