Sahabat Shalih Voa Islam,
Ifthar atau berbuka puasa bersama atau disebut juga takjil di Masjid Nabawi itu sangat khas dengan yoghurt. Rasa yoghurtnya sangat berbeda dengan yang pernah dirasakan oleh lidah selama di Indonesia. Atau memang karena sebetulnya saya tak pernah merasakan yoghurt sebelumnya karena tak suka? Entahlah. Karena bahkan sebelum menyentuh yoghurt tersebut saya sudah langsung yakin ini jenis yoghurt yang ‘aneh’.
Kanan kiri depan belakang saya (bila kebetulan saya duduk tidak bersama rombongan) yang beda negara, memakannya dengan sangat lahap. Yoghurt itu diberi taburan serupa dengan merica bubuk. Katanya sih untuk membuat yoghurt tersebut makin lezat. Lezat bagi mereka, sebaliknya bagi saya. Walhasil, saat adzan Maghrib berkumandang, saya cukup puas makan air zam-zam dan kurma saja. Sesekali mencowel roti tebal yang lumayan alot untuk ukuran lidah dan tangan saya.
Tak jarang, yoghurt jatah saya berikan pada ibu-ibu dari negara lain yang terlihat sangat menikmatinya. Kami berbicara memakai bahasa isyarat. Saya tak bisa berbahasa Arab, ibu-ibu tersebut jelas tak bisa berbahasa Indonesia. Satu kali, ada seorang gadis dari India yang cukup fasih berbahasa Inggris duduk di sebelah kiri saya. Setelah berbasa-basi umum perkenalan negara, ia lahap sekali menikmati yoghurt tersebut yang ditaburinya dengan bubuk seperti merica. Sebelah kiri saya tak jauh beda. Ibu dan anak dari Mesir yang sebelumnya sempat ngobrol dengan bahasa isyarat dengan saya. Gerak tangan dan eskpresi menangis ditunjukkannya ketika saya menyebut nama Mursi. Jujur, di momen seperti ini saya menyesal tak bisa berbahasa Arab untuk komunikasi. Akhirnya, saya putuskan ibu dan anak ini yang mendapat limpahan yoghurt saya yang tak tersentuh sama sekali.
Jenis ifthar lain yang masih ‘aneh’ menurut saya adalah apa yang disebut mereka ‘kopi’ atau ‘teh’. Percayalah, ini sama sekali bukan kopi atau teh seperti yang selama ini kita tahu. Rasanya seperti rempah-rempah yang disiram air panas. Tidak manis, tidak tawar tapi aneh. Aduh...susah mendeskripsikan rasanya yang sangat tidak akrab di lidah.
Jauh di lubuk hati saya ingin mendapat jus kotak. Ternyata yang mendapat jus kotak adalah mereka yang mau berbuka puasa di pelataran masjid Nabawi yang kata saya tadi panasnya sudah seperti di penggorengan. Akhirnya demi menghibur diri, kembali ke hotel dan minum jatah jus jeruk yang boleh sepuasnya menjadi solusi.
Perbanyak sayur dan buah, nyaris tanpa nasi membuat badan terasa segar. Itupun harus berhenti sebelum kenyang. Cita rasa Indonesia masih menjadi favorit saya meskipun untuk buah tak ada beda antara jeruk Indonesia dengan Arab. Sama-sama masam. Pisang juga tak beda, apel, buah pir, anggur. Ada satu buah yang sedikit beda yang disebut buah mis-mis. Rasanya seperti gabungan sawo dan apel yang lembut. Kulitnya berbulu lembut berwarna maroon.
Di jalan-jalan, ada beberapa orang yang suka membagikan yoghurt dan roti lagi dalam kresek kecil. Kadang saya berharap, andai saya bisa menelan makanan kesukaan Nabi dan menikmatinya. Sepertinya ini bukan masalah saya pribadi. Karena banyak teman yang ternyata juga tak bisa menelan si yoghurt yang kemasannya sangat menggiurkan ini. Bedanya mereka menyimpannya sebagai kenangan dan oleh-oleh untuk yang di tanah air, saya memilih tidak membawanya dan memberikannya pada bapak-bapak yang menyapu jalan. Bukan saya sok dermawan, tapi semua produk yoghurt ini expirednya hanya sekitar 3 atau 4 hari setelah dibagikan.
Program yang saya ambil saat itu 17 hari. Tak mau menanggung resiko membawa makanan expired atau kadaluwarsa, saya enggan membawanya. Lagipula, perjalanan tak berhenti di sini. Masih ada ziarah ke beberapa tempat dan tujuan akhir yaitu Mekah. Ah...semoga nanti di Mekah ada yoghurt seperti ini untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh khas Arab. [riafariana/voa-islam.com]