View Full Version
Senin, 01 Sep 2014

Kampus yang Kehilangan Adab

Oleh: Abu Misykah

Kampus Islam haruslah menjadi pelopor pembentukan insan beradab Islam. Adab yang didasarkan kepada keimanan, mendorong amal shalih dan bermuatan moral. Namun sayang, peran ini tak nampak pada kampus Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya. Pada kegiatan Orientasi Akademik dan Cinta Almamater (OSCAAR) tahun 2014 ini, Senat Mahasiswa (SEMA) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat mengangkat sebuah grand tema, “Tuhan Membusuk”.

Menurut Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Persis Garut Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum, tema membusukkan tuhan adopsi dari pemikiran atheis.

“Ungkapan ini copy paste dari ungkapan atheis Jerman Friedrich Nietzhe yang mengatakan TUHAN SUDAH MATI” katanya kepada voa-islam.com, melalui pesan WhatsApp, Ahad, 31 Agustus 2014.

“Apapun alasannya, ini sudah jelas mengarah pada atheisme” tambah pria yang juga Ketua Umum Pemuda Persis.

Apalagi lanjut Dr. Tiar, kalau memperhatikan pengakuan dari (salah seorang panitianya –red.) Imam Syathiby berikut ini di Facebook nya ketika ditanya oleh temannya maksud dari kata “Tuhan Membusuk” Imam Syathiby menulis: “Karena eksistensinya diragukan sama sebagian orang yang sudah tidak percaya lagi pada Tuhan”.

Tema konyol “Tuhan Membusuk” menggambarkan sikap tak berada muslim terhadap Tuhannya. Juga menggambarkan hilangnya kebanggaan mahasiswa kampus islam terhadap keyakinan pokok agamanya. Dan terlihat ada upaya menghilangkan keyakinan kepada tuhan (Allah) itu sendiri. Bahkan menyifati tuhan dengan sifat yang sangat tak layak baginya.

Berbicara tentang adab dalam lingkungan Universitas Islam, ada tulisan menarik oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasy, Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) yang menyoroti hilangnya adab dari lembaga pendidikan Islam. Tulisan dengan title “Membangun Peradaban” –dikutip dari situs insists- diawali dengan syair pujangga Abdullah Abdul Qadir al-Munsyi, ditulis pertengahan abad 19.

Belalang menjadi burung elang,

Kutu menjadi kura-kura,

dan Ulat berubah menjadi naga.

Menurut Dr. Fahmi, Munsyi berbicara tentang perubahan yang aneh.” Perubahan tentang bangsanya yang kehilangan adab”.

Metafora ini mudah diterima oleh bangsa Melayu, tapi tidak bagi orang Jawa. Orang Jawa lebih mudah faham dengan dagelan “Petruk jadi ratu”. Ya dagelan, sebab ada perubahan status secara tidak alami atau tidak syar’ie. Bukan gambaran diskriminatif, bukan pula rasial, tapi loncatan status yang abnormal.

Munsyi tentu faham belalang mustahil jadi burung elang, kutu jadi kura-kura. Ia juga faham mengapa Tuhan mengizinkan kepompong bisa jadi kupu-kupu yang cantik. Tapi, yang ia gelisahkan mengapa ini bisa terjadi di dunia manusia. Semua orang berhak mencapai sukses, tapi mengapa sukses dicapai dengan mengorbankan moral. Kita menjadi lebih faham setelah membaca bait berikutnya:

Bahkan seorang yang hina dan bodoh dapat pandai dan terhormat,

jika memiliki harta. Sedangkan orang miskin

tidak dipandang walaupun pandai dan terhormat”.

Munsyi seperti sedang memberi tugas kita untuk menjawab. Dimana letak kesalahannya. Yang dengan cerdas menjawab adalah SM Naquib al-Attas, ulama yang juga pakar sejarah Melayu. Letak kesalahannya, katanya, ada pada lembaga pendidikan kita. Pendidikan kita tidak menanamkan adab. Adab adalah ilmu yang berdimensi iman, ilmu yang mendorong amal dan yang bermuatan moral.

Sumbernya ada dua: faktor eksternal dan internal. Yang pertama, karena besarnya pengaruh pemikiran sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan Barat. Yang kedua, karena lemahnya daya tahan tubuh umat Islam. Pendidikan kita tidak menanamkan adab. “Ritual” pendidikan memang terus berjalan, tapi maqasid-nya tidak tercapai. Lembaga pendidikan umat Islam bisa menghasilkan SDM bidang tehnik, ekonomi, kedokteran, manajemen, tapi tidak menghasilkan peradaban Islam.

Tanda-tanda alpanya adab sekurangnya ada 3: kezaliman, kebodohan dan kegilaan. Zalim kebalikan adil artinya tidak dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dalam adab kesopanan orang Jawa disebut tidak empan papan. Jelasnya tidak bisa memahami dan menerapkan konsep secara proporsional. Artinya mencampur dua atau tiga konsep yang saling bertentangan. Seperti mencapur keimanan dengan kemusyirikan. Mewarnai amal dengan kemaksiatan dan kesombongan. Tauhid dengan faham dikotomis-dualistis, dsb.

Bodoh atau dalam bahasa al-Ghazzali hamaqah bukan jahil dan buta aksara. Bodoh tentang cara mencapai tujuan. Karena tidak tahu apa tujuan hidupnya, seseorang jadi bodoh tentang cara mencapainya.”Anda harus bisa kaya dengan segala cara” adalah bisikan Machiaveli yang diterima dengan sukarela. Korupsi, menipu, manipulasi, dan sebagainya pun bisa menjadi cara meniti karir. Anda bisa jual diri asal bisa jadi selebriti. Anda bisa jadi pejabat asal mahir menjilat dan berkhianat. Itulah mengapa Islam datang menawarkan jalan dan cara mencapai tujuan yang disebut syariah.

Gila artinya salah tujuan, salah menentukan arah dan tujuan hidup, salah arah perjuangan. Akarnya tentunya adalah hamaqah atau kebodohan; yang bodoh akan negeri impian akan bingung kemana akan mendayung sampan; yang bodoh akan arti hidup tidak akan tahu apa tujuan hidup; yang jahil tentang arti ibadah tidak akan pernah tahu apa gunanya ibadah dalam kehidupan ini. Akibatnya, aktivitas demi kepentingan pribadi (linnafsi), kehormatan diri (lil jah), harta (lil mal) tiba-tiba diklaim menjadi Demi Allah, (Lillah).

Jika pendidikan kita benar-benar menanamkan adab, mengapa peradaban Islam tidak kokoh berdiri. Mengapa kita begitu gengsi pada hutang luar negeri, tapi bangga memungut konsep-konsep pinjaman dari luar Islam. Mengapa kita hanya mampu menjustifikasi konsep-konsep asing dan tidak mampu membangun konsep sendiri?

Orang Barat begitu percaya diri dengan konsep ciptaannya, tapi mengapa kita tidak. Cardinal John Newman, misalnya, begitu yakin tentang gambaran universitas humanisme Kristen dalam The Idea of University, Defined and Illustrated. Karl Jasper dalam The Idea of University tegas menggambarkan konsep universitas humanis-eksistensialis. J Douglas Brown dalam The Liberal University-nya bisa menggambarkan dengan jelas pelbagai peran universitas dalam mencetak “manusia sempurna” ala Barat. Tapi mengapa identitas Islam pada universitas Muslim tidak nampak jelas. Mengapa Muslim malu-malu memerankan universitas Islam dalam membangun peradaban Islam.

Universitas Islam harus berani membangun konsep ekonomi Islam, politik Islam, sosiologi Islam, sains Islam, budaya Islam dan sebagainya. Universitas Islam harus bisa mencerminkan bangunan pandangan hidup Islam. Universitas Islam tidak hanya menjadi pusat pengembangan ilmu, tapi juga merupakan sumber gerakan moral dan sosial serta agen perubahan. Universitas harus menjadi pelopor dalam menciptakan manusia-manusia yang adil dan beradab agar dapat membangun peradaban yang bermartabat. [PurWD/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version