Oleh : Abu Nisa (Aktivis Gerakan Kontemporer Indonesia)
Mencoba menguak fakta di balik munculnya fenomena DPR Tandingan atau dalam bahasa Aria Bima Politisi PDI-P sebagai "Pimpinan DPR Tandingan" cukup menarik. Setidaknya ada beberapa perspektif melihat fenomena ini.
Pertama, apa motif sebenarnya di balik kemunculannya. Sebagai respon terhadap gerakan sapu bersihnya seluruh pimpinan dan alat kelengkapan DPR oleh KMP kah (Koalisi Merah Putih). Atau sebagaimana diungkap oleh Andi Arif -mantan jubir presiden- sebagai skenario pemakzulan Jokowi dari kalangan KIH (Koalisi Indonesia Hebat) sendiri. Jika pada akhirnya Jokowi terpancing lalu mendukungnya. Belakangan terlihat sebaliknya baik Jokowi dan JK menolak keberadaan DPR Tandingan versi koalisi yang mengusungnya sendiri itu.
Kedua, pro kontra DPR Tandingan dengan basis pledoi sesuai dengan masing-masing kepentingan politiknya adalah salah satu indikator sistem parlemen yang sarat dengan kepentingan tarik ulur kekuasaan. Sebuah keniscayaan dalam konteks kekuasaan demokrasi. Pengamat pun terbelah ada yang menyampaikan sah-sah saja. Ada juga yang menyatakan inkonstitusional.
Jika dicermati secara jeli maka fenomena DPR Tandingan mencerminkan fakta-fakta politik sebagai berikut :
Pertama, Dominasi pimpinan dan alat kelengkapan DPR oleh KMP menimbulkan reaksi counter of politic dari KIH dengan mensinyalir adanya dugaan "hidden agenda" di balik dominasi KMP.
Kedua, Pasca Pilpres yang dimenangkan oleh KIH. Pertarungan politik diteruskan di pentas DPR yang dimenangkan oleh KMP.
Ketiga, Kedua fakta politik di atas menunjukkan bahwa eksekutif (presiden wakil presiden dengan kabinet yang dibentuknya) dan legislatif adalah 2 pilar penting yang menopang sistem demokrasi. Penguasaan atas dua badan tersebut menunjukkan kendali terhadap kekuasaan demokrasi di negeri ini. Sekalipun pada faktanya kekuasaan demokrasi dishare juga dengan alat kelengkapan negara yang lain seperti KPK, MK, Jaksa Agung, MA dan lain-lain. Tetapi sesungguhnya gelanggang utama pertarungan politiknya tetap ada pada kedua badan legislatif dan eksekutif.
Keempat, Skenario politik maupun rekayasa politik menjadi keniscayaan yang senantiasa melingkupi fakta politik demokrasi. Tidak ada fakta politik yang tulus benar-benar murni menjadikan politik sebagai jalan untuk melayani rakyat. Melainkan yang ada dan dominan nampak di permukaan adalah atas nama tujuan melayani rakyat sebagai jalan memperoleh kekuasaan untuk kepentingan kelompok. Sistem koalisi antar parpol yang dibangun baik KIH maupun KMP dipenuhi dengan semangat dan syahwat politik kekuasaan.
Benar adanya sebuah statement yang dilontarkan oleh seorang pakar hukum tata negara yang tidak mau disebut namanya. Bahwa para politisi itu jika sudah masuk ke gelanggang legislatif DPR maka baju parpolnya akan dilepas semua diganti dengan baju kepentingan komisi proyek. Sementara kepentingan politik koalisi parpol pemenang pilpres akan mendominasi seluruh struktur kabinet meski mau disebut dengan nama apapun. Apakah kabinet Indonesia hebat. Kabinet profesional. Ataupun kabinet kerja, kerja dan kerja.
Secara sederhana yang nampak sekarang adalah KMP mendominasi rekayasa politik DPR. Dan KIH mendominasi rekayasa politik Kabinet. Seberapa jauh rekayasa politik antar koalisi itu didedikasikan untuk kepentingan rakyat. Sangat tergantung pada basis ideologi negara apa yang dipakai acuan. Sistem politik dan sistem ekonomi apa sebagai pilar penting penentu kebijakan negara yang diterapkan di atas basis ideologi negara. Sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalis liberalis adalah sistem yang dibangun di atas bangunan ideologi negara kapitalis sekuler. Indonesia secara faktual dalam banyak kebijakan negara mengadopsi sistem ini. Perdebatan politik oleh para politisi maupun pengambil kebijakan negara kemudian hanyalah di seputar persoalan siapa memperoleh apa dengan cara apa.
Bukan bagaimana seharusnya kebijakan negara diterapkan sesuai dengan aturan dari Yang Maha Kuasa untuk kemaslahatan manusia. Dalam kondisi seperti itu maka proses politik baik di tubuh parlemen maupun kabinet niscaya akan sarat dengan kepentingan politik para politisi, penguasa dan pemilik modal yang memback upnya. Sampai kapan kondisi ini terus berjalan.
Sampai bangsa ini sadar tentang pentingnya pergolakan (revolusi) bukan saja sebuah revolusi mental an sich. Melainkan pergolakan (revolusi) komprehensif mencakup pergolakan pemikiran, politik dan pergolakan militer sebagai mekanisme perubahan masyarakat sepanjang sejarah. Dan perubahan masyarakat yang dicontohkan oleh Rasullullah SAW tidak bisa dipisahkan dengan substansi ajaran Islam mencakup syariah, dakwah, aqidah, jihad dan khilafah.
Alergi terhadap pergolakan (revolusi) hanya akan membuat kejumudan gerakan. Atau penumpulan gerakan dari sebuah entitas dakwah yang berpotensi menjadi pressure group menjadi sebuah entitas intelektual yang berkembang dari wacana ke wacana. Dari panggung ke panggung. Dari forum ke forum.
Atau kalaupun turun ke jalan, pengambil kebijakan pun tahu bahwa kerangkanya dalam bingkai seruan/himbauan mental dan intelektual. Tidak lebih dari itu. Ingatlah Firman Allah Subhanahu Wa Ta'alla :
"Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil.Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. Wahai orang-orang yang beriman Taatilah Allah, taatilah rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) lagi lebih baik akibatnya “(QS. An-Nisa : 58-59). Wallahu A'lam Bis Showab.