Oleh:
Ibnu Rusdi (Lajnah Siyasiyah HTI Sumenep)
Madura kembali terluka. Senin, 27 Oktober 2014 dua orang warga baku hantam, meskipun tidak saling berhadapan. UD (31 th) dengan celurit terhunus mengejar Fandi (23 th). Siang di antara jeritan ibu-ibu di sekitar alun-alun Kota Bangkalan, Fandi jatuh bersimbah darah. Sabetan pertama begitu jarak larinya tersusul, celurit itu memukul leher Fandi. Belum puas melihat leher lawannya robek, sabetan berulang-ulang kembali terayun. Entah berapa luka mengucurkan darah, entah di titik mana saja tubuh pemuda berusia tanggung itu terkoyak. UD melarikan diri dengan mata celurit menetes darah, setelah nafsu menghabisi musuhnya terobati melihat sasaran amuknya terkapar.
Fenomena tersebut merupakan gambaran di tengah kehidupan modern. Meski terkesan agak kasar dan primitif. Di sisi lain orang-orang berteriak Hak Asasi Manusia (HAM). Nyatanya, manusia tak mengenalnya. Pernahkah Anda hidup di Madura? Atau setidaknya mendengar istilah carok? Ya, carok menjadi sebuah eksekusi persoalan dari para lelaki Madura. Tidak semua memang menggunakan carok sebagai solusi instant. Adakalanya diawali musyawarah yang masih menyisakan dendam sepihak. Adakalanya sebagai pilihan spontan menurunkan tensi darah yang seketika mendidih.
Persoalan yang paling rawan carok adalah kaum hawa. Tertangkap basah selingkuh, atau hanya sekedar rasa cemburu. Bahkan lirikan yang tidak disengaja tapi berpotensi menimbulkan isteri salah tingkah, bisa memicu kontak senjata. Adakalanya cara berhitung petarung Carok sulit dinalar. Beberapa kasus membuat masyarakat geleng-geleng kepala. Hanya oleh uang 500 rupiah atau sebilah bambu, duel dua orang lelaki terjadi dan salah satu nyawa melayang, yang lain luka parah.
Mengapa Carok Menjadi Pilihan
Klimaks perseteruan antar lelaki Madura banyak ragamnya. Isu santet yang sempat meresahkan wilayah Madura belasan tahun yang lalu telah menimbulkan puluhan korban tewas diculik dan digorok. Berita penganiayaan dan pembunuhan dengan cara dicekik, dihantamkan linggis atau batu, dijerat dengan tambang, dan lain-lain, jumlahnya juga tidak sedikit. Namun, perkelahian dengan senjata celurit menjadi “maskot” laki-laki Madura. Opini telah berkembang, Carok identik dengan sabung paling mengerikan di Pulau Garam.
Ada beberapa alasan mengapa eksekusi dengan Carok menjadi merek Madura.
Satu, Prinsip umum tentang harga diri. Orang Madura punya motto: “Lebih baik putih tulang ditimbang putih mata”.
Artinya, jika kita dipermalukan dalam pergaulan sosial lalu tidak marah, kita termasuk orang tidak tahu malu (putih mata). Hinaan, cemoohan dan sikap merendahkan dari orang lain harus dilawan. Dan konflik laki-laki harus dalam perspektif maskulin, yaitu duel senjata. Kalah terluka (putih tulang) tidak apa-apa, asalkan harga diri terjaga.
Dua, tradisi berbekal senjata saat keluar rumah. Bepergian kemana saja, para lelaki Madura membawa senjata tajam sebagai salah satu sangunya. Diselipkan di pinggang atau di rusuk, atau dalam tas berupa keris, belati, celurit ukuran sedang atau pedang kecil. Filosofinya adalah setiap hambatan dalam perjalanan atau acara-acara resmi senantiasa siap dengan berbagai kemungkinan. Persoalan yang harus diselesaikan dengan cara laki-laki, senjata-senjata tajam itu menjadi pilihan paling rasional untuk bertahan.
Tiga, prototype pekerja keras dengan taraf berfikir belum terbangun. Wilayah geografis yang rata-rata tandus mengajari orang Madura tumbuh menjadi pekerja keras. Karakter umum ini tidak terpimpin positif bila tanpa kemajuan taraf berfikir. Bersekolah cukup sampai tingkatan tahu baca tulis, misalnya. Belajar agama cukup pada derajat bisa mengerjakan shalat atau membaca tulisan dalam Al-Quran. Pada saat yang sama nyaris seluruh waktu 24 jam harian dihabiskan untuk kerja dan berbincang lika-liku dunia kerja.
Peristiwa Carok terjadi dalam volume tinggi pada era 70 s/d 80-an. Kasusnya terjadi di desa-desa pedalaman dan menimpa warga-warga yang minimalis. Tidak banyak bersentuhan dengan bangku sekolah, tidak tumbuh oleh bimbingan nilai-nilai agama. Itu sebabnya, keris, belati dan pedang lebih banyak tetap dalam sarungnya. Senjata-senjata itu disiapkan oleh orang-orang tertentu yang tidak asal perang. Memang sekedar jaga-jaga saja dan tidak harus terpakai selama ketersinggungan masih bisa ditoleransi atau dikompromikan. Sementara bahasa perkelahian di antara anggota komunitas yang mudah tersulut didominasi oleh celurit sebagai bahasa penuntasnya.
Selesaikan dengan Islam
Sejalan perkembangan taraf pendidikan masyarakat, kasus Carok memang semakin berkurang. Proses akulturasi budaya dan karakter sosial antardaerah pun menyumbangkan kekuatan meredam kasus Carok secara signifikan. Pernikahan antarsuku dan perkembangan teknologi telah mengubah cara pandang etnosentris menuju global. Tapi tidak mutlak dalam perspektif perubahan yang positif.
Sebagai amsal, jika dahulu lelaki Madura mudah tersulut cemburu, hari ini berubah menjadi kurang pedulian. Informasi deras dari kemajuan teknologi mendidik para suami untuk berkompromi atas kesepakatan umum bahwa perselingkuhan bukan terkategori pelanggaran berat. Suami boleh menggoda perempuan lain lewat ponsel, sementara isteri terlarang. Jika isteri ketahuan berbuat yang sama, hukumannya cukup dengan dicerai. Alhasil, peristiwa Carok memang berkurang, tapi kasus perselingkuhan bisa dirasakan semakin kentara. Fenomena perceraian karena ‘komunikasi’ yang mencurigakan meningkat tajam.
Jika begitu, pembauran antarsuku dan kemajuan taraf pendidikan ternyata bukan obat mujarab. Carok sebagai sebuah problem solving memang buruk, tapi merebaknya kasus pasangan selingkuh tentunya lebih buruk lagi.
Islam datang untuk memberikan jawaban paripurna atas apapun persoalan kehidupan. Carok yang sesekali masih terjadi akan diselesaikan melalui langkah berikut:
Syariah Terwujud Hanya Dalam Khilafah
Carok menimbulkan kengerian karena berdarah-darah. Padahal laga fisik yang lain tidak kalah primitifnya. Pertarungan dengan mencekik, menghantamkan batu, memukulkan linggis atau kayu, meledakkan senapan, menenggelamkan musuh ke dalam air sama-sama menimbulkan ketersiksaan pada korban. Ketika peristiwa semacam itu terjadi dalam interval pendek, sebaran lokasi yang merata, volume yang meningkat, fenomena tersebut mengindikasikan bahwa kualitas kehidupan manusia semakin rendah.
Harus ada pergantian tatanan untuk mengubah kondisi barbar menuju masyarakat beradab. Pengaturan oleh manusia ternyata membuahkan situasi yang gelap. Hidup harus bersinar, dan perangkat aturan yang dibuat oleh Pencipta manusia adalah kemilau yang tidak pernah padam.
Akankah kita masih memepertahankan carok? Dan membiarkan tumpahan darah dan sikap ketidakmanusiaan? Ataukah membiarkan kehidupan manusia lebih rendah dari hewan melata? Jika tidak, maka kembali lah kepada syariah Islam yang akan melindungi harta, jiwa dan nyawa manusia. Karena Syariah bisa diwujudkan hanya dalam sistem Khilafah, maka satu-satunya pilihan melakukan perbaikan adalah berjuang menegakkan Khilafah.