View Full Version
Rabu, 19 Nov 2014

Saat BBM Naik, Di Mana Posisi Kita?

Sahabat Smart Teens yang Shalih dan Shalihah…

Ketika antri di warung untuk membeli kebutuhan sehari-hari, ada seorang bapak setengah tua ikut antri. Ketika gilirannya dilayani penjual, bapak ini ingin membeli mie instan satu bungkus dan beras setengah kilogram. Ia menyerahkan satu lembar uang lima ribuan. Uang itu ternyata tak cukup sakti untuk memenuhi keinginannya. Akhirnya penjual pun menakar beras seharga sisa uang yang ada setelah dikurangi harga mie instan.

Kejadian tersebut nyata ada di sekitar kita. Sebelum Bahan Bakar Minyak (BBM) naik yang entah sampai menembus angka berapa, itulah fakta rakyat Indonesia. Apalagi dengan kondisi BBM yang naik per 18 November 2014 kemarin, siap-siap jumlah rakyat miskin di negeri ini makin membengkak. Meskipun dengan berbagai dalih, statistik, kriteria atau pun itu namanya, masih saja ada yang tega mengatakan bahwa kenaikan ini demi kesejahteraan rakyat juga. Rakyat yang mana?

Berbusa-busa mereka yang berkepentingan menjelaskan bahwa bila BBM murah maka yang untung adalah orang kaya. Subsisi BBM harus dicabut agar bisa tepat sasaran untuk kalangan ‘wong cilik’ dan kesejahteraannya. Biarlah mereka dengan busanya, toh itu tak menyentuh keseharian kita. Tapi bukan berarti kita cuek dengan kondisi yang ada.

Tetap, kita harus peduli dengan apa yang terjadi di negeri ini. Negeri yang katanya berpopulasi Muslim terbesar di dunia. Negeri yang katanya ‘gemah ripah loh jinawi’ alias subur makmur kerto raharjo. Negeri yang batang ditanam pun tumbuh menjadi bahan pangan. Negeri yang menjadi incaran banyak ‘kepentingan’.

Mereka yang ingin membela kenaikan ini, biarkan saja. Mereka yang ingin menghujat dan mencaci-maki, itu juga haknya. Lalu di mana posisi kita berdiri?

“Jika kamu melihat kemungkaran, ubahlah dengan tanganmu (kekuasaan yang dimiliki). Bila tak mampu, ubahlah dengan lisanmu. Dan bila kamu tak mampu juga maka ubahlah dengan hatimu. Itu adalah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).

Kemungkaran ini sudah terlalu dalam dan akut kawan, maka jangan terlena dalam pusarannya. Semoga kita menjadi orang-orang yang terjaga di zaman ketika ayat konstitusi dianggap lebih tinggi daripada firman Ilahi

Menyimak hadis di atas, bercerminlah pada diri, di mana posisi kita. Bila kita mempunyai wewenang untuk mengubah kemungkaran misalnya saja dengan menjadi ketua BEM, ketua rohis, ketua OSIS, bahkan ketua PKK sekalipun atau apapun itu yang mempunyai kewenangan untuk memengaruhi, maka lakukanlah. Galanglah kekuatan untuk menjalin kerjasama dengan pihak lain yang satu visi dan misi. Suarakan sikap kalian. Sodorkan bukti kemungkaran yang telah dilakukan oleh pemerintah ini dan serulah solusi yang hakiki. Solusi yang mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah baru lagi.

Bila ini tak kita punyai, maka ubahlah dengan lisanmu. Media tulis menjadi salah satu alternatif untuk menyuarakan kebenaran. Gaungnya lebih abadi daripada lisan. Selevel Napoleon Bonaparte pun ‘keder’ dengan ketajaman pena daripada pedang. Manfaatkan. Suarakan meskipun kecil. Karena yang dinilai Allah bukanlah kecil atau besar upaya kita, tapi kebersihan niat dan langkah untuk mencari ridho-Nya saja.

Bila semua itu tak juga bisa dilakukan, maka ubahlah dengan hati. Ingkarilah kemaksiatan meskipun hanya dalam hati, tidak terucap apalagi terlaksana dalam perbuatan. Tolaklah, karena ini adalah selemah-lemahnya iman. Bila mengingkari atau menolak dalam hati saja kita tak mau, maka entah apakah masih pantas kita menyandang predikat orang beriman di saat kemungkaran nyata di depan kita? Dan sungguh, segala sesuatu pasti ada hisabnya meskipun seberat butiran debu.

Kemungkaran ini sudah terlalu dalam dan akut kawan, maka jangan terlena dalam pusarannya. Semoga kita menjadi orang-orang yang terjaga di zaman ketika ayat konstitusi dianggap lebih tinggi daripada firman Ilahi. Naudzubillah. [riafariana/may/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version