Sahabat Voa Islam,
Perempuan karier sudah menjamur pada era modern saat ini. Tak dapat dipungkiri hampir sebagian besar perempuan mulai masuk ke ranah yang sebenarnya bukan menjadi tanggung jawabnya, bahkan cenderung mengabaikan fungsi utamanya.
Para pemilik modal pun banyak yang lebih senang menggunakan jasa perempuan yang dinilai memiliki tingkat ketelitian tinggi, ketelatenan, dan tidak terlalu banyak menuntut, namun dengan imbalan jasa yang lebih murah jika dibanding pekerja laki-laki.
Pengurangan jam kerja bagi perempuan yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini nyatanya menimbulkan banyak kontroversi dalam masyarakat. Hal ini demikian menyedot perhatian sebagian besar perempuan yang pada faktanya lebih banyak yang menghabiskan waktu untuk bekerja di ranah luar domestik.
Upaya pemerintah ini sebenarnya merupakan salah satu upaya mengembalikan peranan perempuan yang sejatinya berperan penting dalam ranah domestik.
Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mengungkapkan, pemerintah akan menerapkan kebijakan pengurangan jam kerja bagi pegawai perempuan. Kebijakan ini akan dilakukan agar perempuan bisa mempunyai waktu yang cukup untuk keluarga, terutama bagi anak. (Kompas, 03/12/14)
Namun kebijakan ini ternyata juga menggelitik GKR Hemas yang menyatakan bahwa pernyataan pemerintah (baca: JK) menjadi sangat diskriminatif, karena selain meletakkan perempuan pada ranah domestik, juga karena berpotensi menimbulkan konsekuensi bagi pekerja perempuan dalam hal tertentu.
Misalnya adanya perbedaan kenaikan jenjang karir atau jabatan, perbedaan upah tenaga kerja perempuan dan laki-laki, serta berkurangnya kesempatan kerja mengingat perusahaan akan lebih senang pada pekerja lelaki yang memiliki waktu kerja lebih panjang. (Beritasatu, 27/11/14)
Melihat kontroversi yang sedang memanas ini sebenarnya merupakan suatu hal yang mengherankan. Sebab ketika menilik kemungkinan dari penerapan kebijakan ini tidak terlalu berpengaruh terhadap kehidupan perempuan di ranah domestik. Sebab pengurangan jam kerja ini sebenarnya bukan solusi yang tepat dalam pengembalian peran seorang wanita dalam rumah tangga.
Ketika berkaca pada Islam, jawabannya akan terlihat jelas bahwasanya perempuan merupakan ummu wa rabatul bait (ibu dan pengurus rumah tangga), bukan untuk bekerja yang notabene menjadi tulang punggung keluarga.
Peran ini bukan berarti me-marjinalkan perempuan sebab sejatinya peran ini sangat penting terutama dalam menciptakan generasi penerus yang berkarakter dan berkepribadian Islam, sementara kewajiban bekerja (baca: mencari nafkah) hanyalah bagi laki-laki.
Sayangnya peran perempuan tersebut dikaburkan oleh sistem saat ini, bahkan sistem kapitalisme ini semakin mendorong perempuan untuk menghabiskan waktu di luar rumah sehingga lalai akan kewajiban utamanya tadi.
Untuk itulah saat ini diperlukan sistem yang mampu mengembalikan jati diri perempuan sehingga mampu mengangkat perempuan pada kemuliaan, tiada lain dengan kembali pada sistem Islam.
Penulis: Surti Nurpita Sari
(Mahasiswi Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)