Artikel Mahasiswa SmartTeen
Oleh : Zahbiadina Latifah
Mahasiswi Program Sarjana, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta
Mas kawin atau mahar dalam istilah bahasa arabnya, merupakan suatu pemberian dari pihak laki-laki kepada perempuan dan merupakan bagian dari rukun sahnya pernikahan selain wali, ijab qobul dan saksi . Dengan adanya rukun ini dalam Islam, maka untuk memenuhi syarat sebuah pernikahan yanng berkah maka tentu hal ini wajib untuk dipenuhi.
Beberapa hari lalu, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) Yohana Yembise dalam akun twitter nya mengatakan “Ketika ‘mas kawin’ telah lunas dibayarkan, artinya si perempuaan dianggap telah dibeli, dan tak punya "kebebasan" untuk berbicara,” ujarnya, Ahad (23/11). Menurutnya, hal ini adalah bentuk eksploitasi hak-hak perempuan untuk sejajar dengan pria dalam hal-hal tertentu, seperti pendidikan, karir politik, dan lainnya. Yohana Yembise, kemudian menjelaskan mas kawin bisa menjadi alat untuk eksploitasi perempuan. Hal itu menjadi pertanda bahwa dengan diberikannya mas kawin, maka seseorang telah membeli si anak perempuan melalui orang tuanya (Republika.co.id).
Sebuah pernikahan yang berkah adalah harapan semua orang, tak terkecuali pasangan muslim-muslimah. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sebagai muslim menjadikan sudut pandang yang menuntun adalah kacamata Islam, begitu juga dalam hal pernikahan. Islam memandang bahwa sebuah pernikahan adalah hubungan yang harmonis layaknya persahabatan, saling melengkapi dan menasehati dalam hal amar ma’ruf nahi mungkar bukan layaknya sebagai atasan-bawahan (pekerja) sesuai pekerjaannya masing-masing. Mahar dimaknai sebagai sebuah hadiah pemberian istimewa dari mempelai laki-laki dan sebagai do’a agar pernikahannya berkah karena telah menjalankan langkah rukun pernikahan dalam Islam. Dengan demikian harapannya adalah sebuah keridhaan Allah yang akan membimbing masa depan pernikahan agar berkah dunia akhirat.
Berbeda halnya dengan sudut pandang kacamata selain Islam. Tidak dipungkiri, saat ini kita hidup dalam kehidupan yang belum menrapkan hukum Islam, yaitu sistem Kapitalisme – Liberalisme sehingga sudut pandang seorang muslim juga masih banyak yang tidak mengambil dari kacamata Islam. Dalam pandangan Kapitalisme, perempuan dipandang ‘berharga’ sebagai objek materi. Telah banyak kita temukan fakta di sekeliling kita, salah sarunya perempuan dijadikan sebagai ikon utama iklan produk untuk menarik konsumen bahkan dengan busana yang sangat minim. Dalam hal pernikahan hingga muncul pandangan bahwa mas kawin dari mempelai laki-laki adalah tanda perempuan dibeli. Na’udzubillah min dzalik.
Islam memandang laki-laki dan perempuan dalam hak dan kewajiban memiliki porsi nya masing- masing sesuai dengan fitrahnya. Laki-laki (suami) sebagai kepala keluarga yang berkewajiban utama mencari nafkah dan mendapat hak perlindungan dari istrinya dalam hal kasih sayang. Begitu pula dengan seorang perempuan ( istri) yang memiliki kewajiban menjadi ibu, pendidik anak menjadi generasi Islam yang berkualitas, juga sebagai direktur mengurus rumah dan memiliki hak pemberian nafkah dari suami. Tentu posisi ini tidak bisa disejajarkan atau ditukar.
Perempuan juga telah dimuliakan oleh Islam dengan tidak mengekang larangan mengenyam pendidikan disamping kewajiban utama nya juga dapat terlaksana dengan baik. Sungguh indah dan mulia hidup dalam aturan Islam. Ia lebih mengetahui aturan yang terbaik untuk hambanya untuk dijalankan. [adivammar/voa-islam.com]