View Full Version
Rabu, 08 Apr 2015

Kesetaraan Gender Bukan Solusi Bagi Perempuan

Oleh: Hanum Hanindita, S.Si (Guru SD Khoiru Ummah 25 Bekasi)

Indonesia berkomitmen untuk memperkuat mekanisme implementasi bagi pencapaian hak-hak kaum perempuan dan anak, demikian janji Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise pada 12 Maret lalu  dalam sidang sesi ke-59 Commission on the Status of Women (CSW 59) yang berlangsung 9 hingga 22 Maret , di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, Amerika Serikat.

Ibu Menteri menekankan bahwa kesetaraan gender adalah salah satu kunci pembangunan komprehensif dan berkelanjutan di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

Namun diakuinya ada sejumlah tantangan di Indonesia, antara lain meningkatnya Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup, semakin lajunya penyebaran HIV/AIDS di kalangan perempuan, terus meningkatnya jumlah laporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih rendahnya persentase keterwakilan perempuan dalam badan legislatif, eksekutif dan judikatif. Untuk tahun 2014 saja total kasus kekerasan terhadap perempuan telah mencapai 293.220 kasus, seperti yang dilaporkan oleh Komnas Perempuan di awal Maret ini.

 

Kesetaraan Gender Bukan Solusi

Kesetaraan gender dianggap mampu menyelesaikan permasalahan yang membelit kaum perempuan hingga ke akarnya. Apakah memang demikian?

Wacana ini muncul karena adanya anggapan bahwa peran dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan di masyarakat tidak seimbang. Laki-laki dianggap sebagai kaum nomor satu yang mempunyai hak memimpin, bekerja, dan sejumlah peran di ranah publik lainnya. Sementara kaum perempuan hanya memiliki tempat di sektor domestik sehingga rawan mendapatkan tindak kekerasan dan diskriminasi. Terbatasnya wilayah kaum perempuan ini juga dianggap mengekang dan mematikan kreativitas perempuan sehingga tak bisa mengembangkan diri.

Nyatanya kesetaraan gender bukanlah solusi yang mampu menyelesaikan permasalahan kaum perempuan hingga tuntas. Ini justru menjadi penyebab munculnya sejumlah masalah sekaligus menambah keruwetan yang ada. Jika kesetaraan gender mampu menyelesaikan permasalahan perempuan, tentu saat ini mereka tidak lagi menghadapi masalah yang berat. Namun kenyataannya tidak demikian.

Contohnya para perempuan yang bekerja dengan tujuan materi dan eksistensi diri malah menambah masalah baru, seperti tidak sempat mengurus dan mendidik anak sehingga anak kekurangan kasih sayang dan pendidikan.

Belum lagi permasalahan rumah tangga yang dihadapi antara suami dan istri ketika perempuan banyak keluar rumah dan meninggalkan tugas utamanya sehingga mengakibatkan percekcokan yang berujung pada perceraian. Keberadaan menteri perempuan sekalipun sudah 30%, hingga kini belum juga mampu menyelesaikan permasalahan.

Tetap saja banyak kebijakan yang tidak mampu memberikan keadilan untuk mereka. Belum lagi kerusakan yang ditimbulkan akibat turunan dari ide kesetaraan gender seperti kebebasan reproduksi, yang menyatakan bahwa perempuan itu berhak untuk memilih apakah dia ingin hamil atau tidak, ingin menggugurkan kandungannya atau tidak.  Perempuan juga bebas untuk melakukan hubungan intim dengan siapapun, tanpa ada paksaan. Kebebasan berpakaian, kebebasan memiliki, dan masih banyak lagi ide-ide rusak lainnya.

Dengan demikian, darimana bisa kita katakan bahwa kesetaraan gender mampu menyelesaikan permasalah dan memberikan keadilan bagi perempuan?

Ide ini sejatinya muncul dari Barat. Peradaban Barat memandang perempuan lebih rendah dari laki-laki secara intelektualitas dan spiritualitas. Namun kini, ide ini “dipaksakan” agar dapat diterima, dipahami sekaligus diambil oleh umat Islam. Kesetaraan gender akan menyeret sedikit demi sedikit kaum Muslimah untuk meninggalkan kewajiban utamanya sebagaiibu dan pengatur rumah tangga, lalu akhirnya sukarela meninggalkan hukum Islam.

Semua ini jelas tidak akan membawa kebahagiaan dan keadilan pada perempuan. Sebaliknya, malah menambah kesengsaraan. Kesetaraan gender akan membawa kerusakan pada level individu, keluarga dan masyarakat yang telah mapan dengan nilai-nilai Islam.

 

Solusi Nyata Untuk Perempuan

Telah nyata bahwa kesetaraan gender hanya akan semakin menambah masalah. Maka tidak perlu lagi kita melirik ide buatan manusia yang mengandung unsur kebebasan dan menciptakan kesengsaraan ini. Islam sebagai agama sempurna, telah mengatur hubungan dan kedudukan bagi perempuan dan laki-laki.

Saat masa keemasan Islam di Nusantara, nyaris tidak pernah terdengar praktek eksploitasi dan penindasan kaum perempuan, kecuali saat penjajah Barat mulai masuk ke negeri hingga hari ini. Peradaban Islam tidak pernah mengalami sejarah penindasan perempuan seperti di Barat karena Islam memiliki pandangan yang khas tentang pola hubungan laki-laki dan perempuan. Islam justru memiliki seperangkat solusi yang mendasar dan menyeluruh bagi kaum perempuan juga terhadap bangunan masyarakatnya. Allah SWT berfirman

“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik” (TQS  Al An’am : 106).

Laki-laki dan perempuan adalah partner untuk saling melengkapi dan mendukung satu sama lain. Dengan segala potensi mereka yang berbeda itu, mereka harus bekerja sama untuk membangun masyarakat dan peradaban. Karena berbagai perbedaan itu jugalah Islam menghadirkan hukum-hukum yang berbeda antara keduanya.

Hukum-hukum Islam justru diarahkan untuk membawa kemaslahatan bagi perempuan. Misalnya, dengan kewajiban menutup aurat, perempuan akan terjaga dari berbagai pelecehan. Islam juga menetapkan perempuan menjadi pengatur rumah tangga, sesuai dengan karakteristik mereka. Islam membolehkan perempuan ke ranah publik selama hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam dan tidak melalaikan tugas utama sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.

Sayangnya, hingga kini penguasa kita masih tunduk dengan sistem demokrasi sekuler yang jelas membawa kehancuran di tubuh umat. Maka perlu dilakukan perjuangan agar syariat Islam diterapkan di Indonesia, bahkan sampai ke seluruh dunia. Perjuangan tersebut hanya mengarahkan agar penguasa meninggalkan sistem bobrok ini dan mengganti dengan diterapkannya  syariat Islam secara kaffah dalam bingkai kepemimpinan politik secara internasional, yaitu Khilafah ’ala Minhaj an-Nubuwah. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version