View Full Version
Senin, 18 May 2015

Ahok Main Pecat Kepala Sekolah SMAN 3 Jakarta, Kini Semakin Dipersoalkan

JAKARTA (voa-islam.com) - Entah apa dasar hukum dan peraturannya, Gubernur DKI Jakarta Ahok akhirnya resmi memecat Retno Listyarti dari jabatannya sebagai Kepala Sekolah (Kepsek) SMAN 3 Jakarta, seolah Retno melakukan tindakan kriminal atau asusila.

Sejauh ini, yang diketahui publik, alasan Ahok memecat Retno hanya karena Retno tidak berada di sekolahnya saat ujian nasional (UN) hari pertama berlangsung–seakan hanya Retno guru satu-satunya di sekolah tersebut dan alat komunikasi masih seperti zaman batu plus.

Menurut Ahok juga, Retno Listyarti lebih mementingkan wawancara dengan stasiun televisi ketimbang mendampingi anak didiknya menghadapi ujian nasional pada 13 April 2015.

“Dia tulis kepada saya, saya tiba kembali pukul 07.26 WIB. 07.30 WIB teng sudah mulai. Anak-anak jam 07.00 WIB sudah masuk, sudah ngisi-ngisi. Apakah begitu penting wawancara TV?” kata Ahok.

Dengan alasan yang tidak jelas tersebut, wajar jika sejumlah orang tua murid SMA Negeri 3 Jakarta mempertanyakan soal pemecatan Retno itu.

Apalagi, menurut mereka, Retno merupakan sosok guru yang melayani dan melindungi peserta didik. “Ibu Retno itu kepala sekolah yang melayani dan sungguh-sungguh melindungi peserta didik,” ujar Yaltini di Gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad (17/5).

Begitupun diungkapkan Milang. Menurut dia, selama menjadi kepala sekolah, Retno telah menegakkan aturan. Retno juga dinilai sebagai orang yang bersih dan jujur. “Dia juga antikorupsi,” tutur Milang.

M Yasin juga berpendapat sama. “Bu Retno tidak membeda-bedakan murid. Semua murid dianggap sebagai anak-anaknya. Kata anak saya, Bu Retno juga kerap memotivasi murid-murid untuk belajar lebih keras, supaya bisa ikut memajukan Indonesia,” katanya.

Pada pagi hari menjelang pelaksanaan ujian nasional tingkat SMA sederajat itu, Retno memang ada di SMAN 2 Jakarta untuk menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, yang meninjau ujian nasional di sekolah kawasan Olimo, Jakarta Barat.

Sekadar diketahui, jika dilihat dari udara, SMA Negeri 2 Jakarta dan SMA Negeri 3 Jakarta berada dalam kisaran satu garis. Jarak kedua sekolah itu pun relatif dekat. Retno menjelaskan, awalnya dia mendapat tawaran dialog dari sebuah stasiun televisi swasta di SMAN 70, Blok M, Jakarta Selatan, dengan kapasitas sebagai aktivis guru bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan.

Tapi mendadak, lokasi wawancara dipindahkan ke SMAN 2 Taman Sari, Jakarta Pusat. Ia menerima tawaran wawancara lantaran waktu acara dialog dilakukan di luar jam pelaksanaan ujian nasional. Dia juga mendapat kabar Menteri Anies juga menyepakati acara dialog yang dilakukan selama 20 menit itu. “Kenapa saya mau di SMA 70? Karena, itu rayon saya, pagi-pagi saya selalu datang mengambil soal, sama staf saya,” kata Retno, 18 April lalu.

Ketika sudah mendapatkan lembar soal, Retno kemudian kembali ke sekolahnya dan barulah dijemput kru stasiun televisi untuk berangkat ke SMAN 2. Tapi, kondisi berubah ketika Presiden Joko dan Ahok melakukan peninjauan ke SMAN 2.

“Ternyata berubah di pagi hari, ketika itu pindah ke SMA Negeri 2 karena Jokowi mau ke sana, saya enggak tahu kalau ada Jokowi, ada Ahok juga, saya tak tahu, tapi bahwa saya murni akan talk show sama seorang menteri, dan saya mau bicara soal pendidikan, pendidikan yang mana? Kebocoran UN,” tuturnya.

Setelah wawancara itu, Retno pun kembali ke sekolah pada pukul 07.26 WIB atau 4 menit sebelum ujian nasional dimulai. Dia melakukan pengawasan pelaksaan ujian nasional sesuai waktu kerja. “Saya tiba di sekolah jam 7.26 WIB dan saya terus berada di sekolah sampai 16.45 WIB. Silakan dicek absensi saya, apakah saya datang pagi sebelum jam 6, coba dilihat, buktikan dong, semuanya buktikan,” kata Retno, yang telah mengajar selama 21 tahun.

Ia mengaku keberatan atas tudingan yang menyudutkan dirinya. Karena, Retno merasa tidak menyalahi aturan apa pun. Apalagi, yang ia lakukan terkait dengan pendidikan di Indonesia, khususnya terkait kecurangan ujian nasional.

“Kalau saya dianggap melanggar PP 53 Tahun 2010, saya juga dilindungi oleh Undang-Undang Guru-Dosen, PP dengan undang-undang tinggi mana? Kan undang-undang. Jadi, ketika saya menjalankan itu, kalaupun saya yang melanggar, yang satu ada pemaafan karena saya menjalankan Undang-Undang Guru-Dosen yang tadi. Jadi ukurannya apa? Tolong pakai aturan, jangan pakai perasaan, jangan pakai hal politik,” tuturnya.

Benar! Prosedur hukum yang berlaku harus dijalankan, karena negara ini negara hukum. Tidak boleh seorang pun di negara ini merasa dirinya paling jujur dan paling hebat lalu bisa menjalankan prosedur hukum sendiri, seenak-enaknya sendiri, karena dia pejabat serta merasa didukung sekelompok taipan dan media arus utama, juga seolah sudah memberikan kontribusi paling besar buat republik dan bangsa ini. [adivammar/Pur/pribumi]


latestnews

View Full Version