Oleh: Ummu Jihad
Salam ukhwah dan cinta kepada saudaraku muslim di seluruh muka bumi ini.
Saya seorang warga Aceh berprofesi ibu rumah tangga mewakili muslim Rohingya. Melalui wawancara dengan mereka, saya mencoba menyampaikan ucapan terima kasih kepada umat Islam seluruh dunia yang peduli pada kami khususnya Aceh. Dan yang terutama rasa terima kasih ini tertuju kepada Allah SWT.
Sejak kurang lebih dua minggu yang lalu kami (Aceh) kedatangan tamu yang sangat mulia. Mereka adalah saudara muslim kita ROHINGYA. Bagi kami, kedatangan mereka ke Aceh merupakan suatu kemuliaan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala. Ketika beberapa negara menolak, kami menyambut mereka dengan penuh kasih dan sayang. Terlepas mereka muslim atau bukan, kami menolong tanpa pilih-pilih.
Satu hal yang patut disyukuri bahwa "HATI NURANI" ini masih tumbuh di hati. Karena jiwa manusia sejatinya selalu ingin berbuat kebaikan, kecuali jika hati telah kosong iman. Ketiadaan iman inilah yang membuat rahman dan rahiim (kasih dan sayang) menjadi hambar dan membuat hati menjadi dingin dan kaku tanpa rasa iba.
...Sejarah seolah terulang, bagaikan kaum Muhajirin dan Anshar yang menyambut panggilan ini dengan penuh cinta...
Takdir Allah menetapkan mereka, muslim Rohingya berada di Aceh. Maka bertambahlah rasa cinta dan ukhwah islamiyah menjadi rasa dalam satu tubuh dan satu jiwa. Alhamdulillah ala kulli haal. Sejarah seolah terulang, bagaikan kaum Muhajirin dan Anshar yang menyambut panggilan ini dengan penuh cinta. Semoga rahmat Allah selalu tercurah untuk kita. Aamiin.
Sabtu sore saya dan suami mewawancarai dua orang muslim Rohingya. Orang pertama bernama Muhammad Hafiz. Dia bisa berbahasa Arab, meskipun bahasa Arabnya merupakan kutipan dari Al Quran dan belajar dari buku. Satunya lagi dipanggil Baba. Dia bisa bahasa Inggris Melayu.
Cerita Hafiz dan Baba tentang keadaan muslim di Burma sangat menyayat hati dan memilukan. Mereka tidak mendapatkan hak pendidikan, hak bekerja dan hak hidup.
"Quran dibakar, masjid dan orang di dalam masjid juga dibakar. Mereka tak mengakui muslim. Mereka buat kita macam budak,” kata Baba dengan bahasa Melayu.
“Mereka siapa?” tanya saya.
“Budhis” jawabnya. Saya pun bertanya balik.
“Kenapa mereka melakukan itu? Apa kalian mengganggu mereka?”
“No, no! Kita muslim sama sekali tak ganggu mereka Budhis. Nabi kita, Muhammad tak pernah mengajarkan kekerasan. Jadi kita pengikutnya tentu tak boleh juga buat kekerasan. Kami tak mendoakan keburukan buat Budhis. Biar Allah saja yang balas karena membalas pun kami tak punya kuasa. Sungguh kuasa Allah lebih besar dan pasti. Kami berada di Aceh saja sungguh syukur yang luar biasa, and we believe that Allah always protect us jika kita jaga agama Allah. Mereka boleh bantai, boleh bunuh saudara muslim kami, tapi mereka tak bisa bunuh hati kami untuk mencintai Allah. Mereka tak dapat lakukan itu karena hakikatnya kita semua akan mati. Mereka boleh berkuasa tapi mereka juga pasti akan mati.”
...Kami tak mendoakan keburukan buat Budhis. Biar Allah saja yang balas karena membalas pun kami tak punya kuasa. Sungguh kuasa Allah lebih besar dan pasti...
Masya Allah, saya terharu. Dalam keadaan kehilangan dan ketertindasan mereka masih bisa tegar mempertahankan agama Allah dan berhusnuzhon/berprasangka baik.
Kemudian dia melanjutkan, “Kami sangat bersyukur dan bahagia di Aceh. Muslim di sini sangat peduli dan sayang kepada kami. Kami terharu dan tak dapat membalas kebaikan kalian. Hanya Allah yang mampu membalas.”
Kemudian suami berkata padanya, “Innamal mukminuu na ikhwah ya akhi shagir, la thagdob. Seluruh muslim dalam dan luar negeri mencintai kalian. Jika kita menjaga tali agama Allah maka Allah akan menjaga kita. Percayalah!”
Demikian obrolan hangat penuh haru dan kasih. Semua karena indahnya ukhwah Islam. (riafariana/voa-islam.com)