Sahabat VOA-Islam...
Siapa yang menyangka di jantungnya industri hiburan dunia tepatnya Amerika Serikat cahaya islam terbit kian menyala, selepas runtuhnya menara kembar WTC islam dicap teroris justru publik Amerika antusias mencari tahu tentang, islam kata kunci yang paling banyak dicari kala itu, lain Amerika lain Tolikara, Papua yang menyimpan kekayaan emasnya, ternyata menyimpan kisah perjuangan dakwah saudara kita yang tak getir berliku seperti tanahnya.
Papua yang selama ini identik dengan koteka mulai berbenah menerima risalah islam, dalam perkembangannya dakwah islam semakin diterima walaupun harus dibayar keringat, nyawa dan perjuangan yang tak sedikit, dalam 2 tahun terakhir statistik mualaf menjadi sekitar 8900 jiwa orang, angka fantastik yang mampu membuat Vatikan bergoyang, Papua akan diprediksi menjadi wilayah yang kondusif menerima islam, itulah tepatnya saat ini dunia tengah menyoroti perkembangan islam di sana.
Akibatnya makar bagi orang yang terusik merasa tidak senang, tepatnya di hari kemenangan Idul Fitri, saudara seiman kita mendapatkan indimitasi keras hingga berujung penggubaran sholat dan pembakaran masjid, sungguh ironi di tengah-tengah pemerintahan Jokowi yang tengah menggombor-gemborkan isu HAM, toleransi serta seuran bhineka tunggalika menjadi bukti nyata bahwa sebenarnya HAM dan tolenransi bukanlah untuk umat islam yang merupakan mayoritas Indonesia, hal tersebut tidak berlaku untuk islam minoritas papua.
Setelah sebulan penuh melalui bulan suci saudara kita benar-benar mendapatkan ujian keimanan yang cukup besar, kesabaran yang selama bulan ramadhan “dibesarkan” ternyata harus direalisasikan dalam bentuk ujian. Demokrasi yang katanya melindungi setiap elemen masyarakat, melahirkan konsep HAM tidak perpihak kepada islam, justru sebaliknya mengobok-obok islam, membiarkan Ahmadiyah dan aliran sesatnya lainnya dipelihara padahal sudah jelas mereka mendonai islam.
Islam sendiri memberikan kebebasan bagi pemeluk Ahmadiyah memproklamirkan agama barunya, tapi mereka tidak mau kekeh mencaplok islam sebagai atributnya, katanya HAM tapi kenapa di instansi pemerintahan Porli seorang muslimah dilarang menutup aura. Insiden Tolikara adalah ilusi HAM di negeri demokrasi yang tak jelas jenis kelaminnya. Wallahu’Alam. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Anastasia
Alumni Pendidikan Bahasa Jerman UPI Bandung