Sahabat VOA-Islam...
Memasuki bulan ramadhan seluruh umat Islam di dunia menyambutnya dengan suka cita. Meningkatkan kualitas iman secara sosial, spritual sangatlah afdhol di bulan ini mengingat kondisi lingkungan yang memungkinkan dengan banyaknya manusia yang berlomba-lomba dalam kebaikan di bulan ini. Segala bentuk keburukan yang ditimbulkan di bulan ini tentu akan mendapat respon negatif dari orang di sekitarnya begitu pula segala bentuk perbuatan baik akan disambut baik orang di sekitar kita.
Segala bentuk ibadah dan amal perbuatan di bulan apapun tentunya harus didasarkan pada rasa ikhlas mengharap keridhoan dari Allah Swt dan jauh dari pengharapan pujian dari umat manusia, terlebih ketika di bulan Ramadhan. Sifat pamer terselubung dalam ibadah mungkin telah muncul sejak zaman dahulu kala ketika nabi dan rasul masih hidup. Metode sifat pamer berbalut adu gengsi dalam beribadah sekarang semakin berwarna dalam kehidupan khususnya di Indonesia. Keinginan untuk terlihat lebih sholeh agar dipuji oleh sesama semakin menjadi-jadi kelakuannya.
Segala bentuk ibadah tergantung dari niat. Niat ikhlas ibarat permata murni yang kilauannya berpendar ke segala arah menerangi setiap sisi kegelapan
Keikhlasan yang telah di ajarkan oleh baginda Rasullullah Saw kian terkikis eksistensinya di tengah gemerlap arus globalisasi. Kesempatan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan tak ubahnya menjadi ajang berlomba-lomba untuk mendapatkan prestis sesama manusia.
Gengsi Amalan Sunnah di Hadapan Manusia
Adu gengsi sekarang tak cuma pada masalah keduniawian, namun telah merasuki dalam tataran amal. Canggih pula modusnya. Masjid yang di hari selain bulan Ramadhan sepi seperti gua, mendadak penuh jamaah ketika shalat ba’da Isya dimulai. Tapi anehnya hal serupa tak berlaku ketika shalat Maghrib dan Subuh yang notabene merupakan shalat wajib.
Ketika zaman memasuki era digitalisasi berbalut gengsi, pamer ibadah bertebaran dimana-mana melalui jejaring sosial. Satu sama lain seolah ingin mencitrakan diri sebagai muslim yang taat. Orang pun berlomba-lomba untuk selfie ketika umroh di depan Kakbah, adu komentar shalat atau tidaknya tarawih, maupun posting status ketika selepas bersedekah. Pengucapan syukur selepas tarawih berbanding lurus dengan banyaknya status yang diorbitkan melalui akun facebook dan twitter demi harapan like dan retweet dari para netizen.
Dahulu mungkin ibu-ibu memamerkan ibadah cukup dengan ngerumpi ketika belanja sayur atau bapak-bapak yang sengaja mengeraskan suara ngaji di teras rumah agar didengar janda cakep sebelah rumah. Siapa tahu kepincut jadi istri kedua. Namun metode pamer sekarang cukup unik. Hanya dengan mengucap bismillah untuk memulai beribadah tak afdhol rasanya ketika tak diiringi dengan selfie untuk diupload pada akun instagram dan path. Padahal itu hanyalah bentuk dari pemberitahuan kepada dunia bahwa dia mepunyai wajah yang rupawan.
Kebiasaan yang dilakukan pemuda-pemudi sekarang pun tak kalah heboh. Untuk sekadar mencari view terbaik di masjid saja, mereka tak mempedulikan orang di samping yang tengah “kelabakan” mengikuti gerakan super cepat imam shalat tarawih dengan berfoto ria. Mungkin barangkali mereka berpikir, yang penting asal bisa menjawab “iya” atau “sudah” ketika temannya yang lain menanyakan via bbm sudah tidaknya shalat tarawih, itu sudah cukup. Aku mah gitu orangnya!
Mengembalikan Kesadaran Niat
Pentingnya sadar diri untuk menahan diri dari pengaruh seni “keranjingan posting” di sosial media perlu digalakkan, terlebih hal ini telah merangsek masuk dalam menggeser budaya serta nilai-nilai kearifan lokal. Kebebasan berekspresi melalui sosial media akan lebih tepat ketika dapat bersinergi dengan nilai-nilai keindonesiaan yang mengutamakan perilaku harmoni, keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dengan manusia lain, hingga hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam menjalani hidup.
Mungkin pemberitahuan info atau jalan-jalan lumrah saja, selama hal itu tidak mengganggu orang yang melihat. Namun ketika itu sebuah doa sebaiknya kita renungkan bersama untuk lebih bijak dalam menyikapinya. Allah lebih mendengar doa yang disampaikan secara lirih dalam kesepian, bukan di media sosial yang berisik. Juga kegiatan ibadah akan lebih terpuji manakala kita tidak menyebar “secara berlebihan” amalan sunnah yang telah atau akan kita lakukan, karena hati seorang manusia rawan dari sifat ria.
Keikhlasan Ibadah
Berbicara tentang niat yang ikhlas berarti membahas satu amalan hati yang paling berat untuk dilakukan seorang manusia. Hal ini karena besarnya dominasi ambisi nafsu manusia yang sangat bertentangan dengan keikhlasan dalam niat, kecuali bagi orang-orang beriman yang diberi kemudahan oleh Allah dalam semua kebaikan.
Imam Ibnul Qayyim menggambarkan hal ini dalam ucapan beliau: “Adapun kesyirikan (penyimpangan) dalam niat dan keinginan (manusia) maka itu (ibaratnya seperti) lautan (luas) yang tidak bertepi dan sangat sedikit orang yang selamat dari penyimpangan tersebut. Maka barangsiapa yang menginginkan dengan amal kebaikannya selain wajah Allah, meniatkan sesuatu selain untuk mendekatkan diri kepada-Nya, atau selain mencari pahala dari-Nya maka sungguh dia telah berbuat syirik dalam niat dan keinginannya”.
Hati yang ikhlas dalam beramal akan selalu menjadi saksi di suatu hari kelak menjadi penolong dikala kita sedang gelisah
Bulan Ramadhan semestinya kita jadikan momentum perbaikan kualitas diri, bukan cuma untuk membentuk kesalehan individual namun mampu meningkatkan taraf kualitas kesalehan sosial orang di sekitar kita. Keikhlasan dalam beramal memberikan kontribusi bagi kita untuk mewujudkannya, karena dengan keikhlasanlah manusia dapat memengaruhi hati-hati yang membatu. Maka apabila secara spritual puasa telah memberikan pengaruh positif bagi pengalaman ajaran keagamaan, maka rasa kemanusiaannya pun akan besar. Begitu pula sebaliknya, puasa yang tidak memberikan pengaruh apa-apa pada aspek spiritual, maka kepedulian sosialnya pun kecil.
Segala bentuk ibadah tergantung dari niat. Niat ikhlas ibarat permata murni yang kilauannya berpendar ke segala arah menerangi setiap sisi kegelapan. Hati yang ikhlas dalam beramal akan selalu menjadi saksi di satu hari kelak untuk menjadi penolong di kala kita sedang gelisah. Wallahu a’lam bisshowab. [syahid/voa-islam.com]
Editor: RF