View Full Version
Rabu, 23 Sep 2015

Al Hambra, 700 Tahun yang Lalu dan Kini (Bagian 2 dari 2)

Oleh: Rahma Rahimah Thaib

Laa haula wa laa quwwata illa billaah, tiada daya upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Hati berdesir, kalimat dzikir pada Allah Sang MahaIndah itu tertatah dengan indah di setiap sudut, pilar, dan dinding pualam yang mengelilingi seluruh istana. Keindahan ini serupa dengan bordiran halus pada sehelai kain sutra. Masya Allah, bagaimana tangan-tangan terampil itu mengerjakannya, tujuh ratus tujuh puluh tahun yang lalu?

Istana Alhambra adalah bagian dari kerajaan Granada, daulah Islam terakhir di bumi Andalusia. Diberi nama Alhamra, yang kemudian dilafalkan oleh orang Spanyol sebagai Alhambra, mengambil nama dari Sultan Muhammad bin Al-Ahmar, pendiri dinasti Al-ahmar. Nama Alhamra juga diambil dari bahasa Arab; hamra’, bentuk jamak dari ahmar yang berarti merah. Saat langit temaram, tembok istana ini memang terlihat berwarna kemerahan, seperti yang saya saksikan pagi itu.

Patio-patio dengan air yang mengalir adalah refleksi dari keindahan taman surga, yang menjadi ciri landscape taman-taman dalam istana daulah Islam. “… seperti surga dengan sungai-sungai yang mengalir di bawahnya…” Air ini sangat penting karena terkait dengan ritual wudhu yang harus dilakukan sebelum shalat.

Tak heran kalau istana-istana kerajaan Islam selalu dilengkapi dengan air mancur atau kolam air yang sekaligus dijadikan tempat wudhu. Di istana Alhambra, air ini diperoleh dari salju abadi yang ada di puncak pegunungan Sierra Nevada. Air ini dialirkan melalui pipa-pipa yang sangat panjang dan ditampung di dam-dam yang dibangun di beberapa tempat. Sungguh konstruksi bangunan yang sangat canggih, dengan perhitungan matematika dan fisika yang sangat rumit, bahkan untuk ukuran zaman sekarang. Karena setelah 8 abad, saluran air itu masih berfungsi!

Hingga sampailah kita di bangunan utama yang disebut The Nasrid Palace. Di dalam bangunan ini terdapat paviliun yang digunakan sebagai tempat tinggal istri sultan, aula tempat menerima duta besar, dan sebagainya. Bangunan ini sangat indah. Sepertinya ini adalah bangunan tercantik yang pernah saya saksikan. Yang membuat hati bergetar adalah dinding pualam dan pilar-pilarnya yang berhias kaligrafi Laa haula wa laa quwwata illa billaah; tiada daya upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Sudut mata saya terasa hangat, sungguh manusia sangat kerdil, tak ada yang bisa kita lakukan tanpa pertolonganNya.

Alhambra adalah puncak dari teknologi, arsitektur, dan seni yang paripurna. Semua terangkai dalam mahakarya yang sangat indah. Konon Marie Antoinette menginginkan istana serupa saat membangun château de Versailles atau Istana Versailles yang terkenal itu. Sayang, ia tidak mendapatkan istana seperti yang diinginkannya.

Jauh sebelum itu, Charles V, salah satu raja Spanyol mencoba membuat istana yang mirip Alhambra. Lokasinya pun dekat sekali, bahkan bisa dikata bersebelahan. Alih-alih bisa menyamai Alhambra, bangunan itu bahkan tak pernah diselesaikannya sampai ia meninggal Pemerintah Spanyol merampungkannya baru di tahun 1990.

Istana Alhambra dikelilingi taman yang dinamakan Generalife. Taman ini dulunya adalah kebun sayur. Ada jalan pintas yang menghubungkan istana dengan taman ini. Konon Sang Sultan suka berkuda menikmati keindahan taman. Dari sini saya bisa melihat dengan lebih jelas bangunan istana Alhambra, lengkap dengan bastion yang menjulang. Di bastion itulah Sultan Boabdil, sultan terakhir dari kerajaan Granada menyaksikan pasukan Isabella dan Ferdinand mengepung bentengnya. Tidak ada pilihan lain, ia terpaksa menyerahkan kunci gerbang kota dengan jaminan tidak ada pembunuhan atas rakyatnya dan mereka tetap boleh mempertahankan keimanannya.

Tentu saja janji itu dikhianati oleh Isabella dan Ferdinand yang sejak awal memang berniat menghancurkan umat Islam di Andalusia. Hanya dalam waktu 6 tahun, hampir tak ada yang tersisa. Ada 3 pilihan yang ditawarkan; tetap Muslim dan dibunuh, dimurtadkan, atau diusir dari Granada. Mereka yang tebal keimanannya, memilih syahid sebagai syuhada. Para oportunis memilih dimurtadkan asal masih bisa hidup. Dan puluhan ribu lainnya harus dievakuasi ke Maroko, Tunisia dan daerah Afrika Utara lainnya untuk mempertahankan kalimat Tauhid. Pengusiran yang disertai pembunuhan keji dan perampasan hart, itu menjadi tragedi yang akan terus tercatat dengan tinta hitam dalam sejarah. Bukan saja sejarah Islam, tapi juga sejarah kemanusiaan.

Sejatinya umat Islam di Granada tak serta-merta menyerah. Kehancuran akibat pertikaian sesama umat membuat daulah Islam di Andalusia yang pernah menyinari dunia dengan peradaban dan pengetahuan tercerai-berai. Satu per satu wilayah berhasil dicaplok pasukan Isabella dan Ferdinand, menyisakan kerajaan-kerajaan kecil yang terpecah belah. Pada kondisi seperti itulah Granada terkepung. Selama tujuh bulan terus terjadi pertempuran. Banyak syuhada yang sahid, namun korban luka dan tewas dari pasukan Isabella dan Ferdinand lebih banyak lagi. Pasukan muslim tetap bersabar sambil berjuang dan berharap pertolongan Allah.

Kondisi ini tidak sama dengan yang dituliskan dalam sejarah Barat. Di sana kejatuhan Andalusia digambarkan dengan bobroknya keluarga kerajaan, yang memilih bermaksiat ketimbang memikirkan rakyat. Seperti penjelasan dari barat, kalau di dalam istana yang indah ini begitu banyak intrik.

“Ada salah satu istri sultan yang membunuh puluhan keluarga kerajaan demi mendapat kekuasaan.” Ah, hati kembali perih mengingat Andalusia adalah sejarah yang dibajak dan ditulis semaunya oleh mereka.

Puncak dari perjuangan itu adalah datangnya musim dingin yang berkepanjangan. Umat Islam yang terkepung dalam benteng tidak bisa keluar untuk mendapat suplai makanan. Rakyat kelaparan, banyak yang meninggal karena beratnya musim dingin tanpa pasokan makanan yang cukup. Pada saat itulah qadarullah terjadi, Sultan Boabdil memilih menyerahkan Granada untuk mengakhiri kesengsaraan rakyatnya.

--------------------------------------------------------------

Dari atas bukit, saya melihat jalanan yang berkelok-kelok menuju pegunungan Sierra Nevada. Jalanan itu adalah The Last Moor’s Sigh. Tempat terakhir Sultan Boabdil memandang Alhambra dengan kepedihan yang tak terlukiskan.

Qadarullah wama sya'a fa'ala; takdir Allah adalah apa yang dikehendaiNya, dan itu pasti terjadi.

Perpustakaan-perpustakaan Islam dibakar. Bangunan-bangunan Istana dihancurkan. Barang-barang Istana dijarah. Kaligrafi dihapus. Mesjid Al-Mulk yang menjadi salah satu ikon Alhambra dijadikan gereja Katolik. Begitu juga Mesjid Kordoba yang megah dialihkan menjadi Gereja Santa Maria de la Sede. Raja Prancis Count Sebastiani yang menguasai Spanyol memporak-porandakan benteng dan sejumlah menara pada 1812. Belakangan tentara Napoleon menambah kerusakan Alhambra karena menjadikan kawasan itu sebagai barak prajurit.

Menurut Wikipedia, Napoleon bahkan berusaha meledakkan seluruh komplek Istana. Namun, sebelum rencana gila itu terjadi, seorang prajurit yang tidak menghendaki warisan sejarah itu dibumihanguskan, menjinakkan sebagian bahan peledak sehingga Istana Alhambra tidak hancur semua. Masih ada sisa-sisa yang bisa menjadi tanda kejayaan Islam di Spanyol. Itulah yang saya lihat dengan mendecak kagum namun kemudian menunduk sedih.

Alhambra, Granada 31 August 2015
Riset dari berbagai sumber

 


latestnews

View Full Version