Kabar duka itu kami terima siang ini. Mbak yang bantu bersih-bersih rumah datang mengabarkan bahwa pedagang bunga yang biasa keliling kampung itu tewas mengenaskan. Anaknya yang duduk di bangku SMK baru pulang sekolah dan menyaksikan sendiri bahwa si bapak pedagang bunga itu tertabrak motor yang melaju kencang. Ia habis buang air kecil di pinggir jalan. Tanpa sadar, ia mundur dan disambar oleh motor yang membuatnya terpental hingga kepala (sepertinya) pecah.
Ramai kerumunan orang dan ambulan pun datang. Si anak SMK pulang dan mengabarkan hal ini pada ibunya. Ibunya datang ke rumah dan menyampaikan berita ini karena tahu bahwa saya dan ibu adalah pelanggan setia. Kami sering sekali membeli tanaman, pot bunga, maupun tanah dan pupuk ke bapak pedagang bunga ini. Jadi ketika mendengar berita ini, cukup membuat shock sesaat dan menginsyafi bahwa ajal selalu menanti tanpa kenal kompromi.
Baru saja sehari sebelumnya, kami membeli salah satu jenis tanaman pada si bapak. Sebelumnya, ibu sempat komplen karena tanaman yang dibeli dari si bapak tersebut ternyata mati. Waktu itu ibu tak ingin membeli tanaman yang namanya Gading tersebut. Tapi si bapak pedagang sempat merayu dengan berbagai jurus agar ibu mau membelinya. Saya yang tak seberapa paham jenis tanaman hanya menjadi penonton pasif dan membayar ketika terjadi kesepakatan harga antara keduanya.
Singkat kata, ibu pun membeli tanaman tersebut. Tapi tak lama usianya, karena disirami tiap hari pun si tanaman tetap layu dan sekarat. Inilah yang dikomplenkan oleh ibu. Tak berniat minta ganti tapi memberitahu bahwa tanaman jualannya mati hanya selang beberapa hari.
...Andai tahu ajal hanya sekian jam saja dari detik ini, tentu kita akan memaksimalkan amal agar menjadi tabungan kebaikan di akhirat kelak...
Entah karena takut diminta ganti atau apa, si bapak mengelak. Dia tak mau mengakui bahwa tanaman tersebut dibeli darinya. Ibu pun enggan berbantah dan membeli tanaman lain sebagai ganti si mati. Siapa nyana, di hari berikutnya pedagang tersebut mengikut jejak tanaman yang pernah dijualnya pada kami.
Andai tahu ajal hanya sekian jam saja dari detik ini, tentu kita akan memaksimalkan amal agar menjadi tabungan kebaikan di akhirat kelak. Masalahnya, betapa sering kita merasa ajal masih jauh. Usia masih muda, uang masih banyak, keluarga lengkap, pasangan romantis dan harmonis, pun popularitas masih di genggaman.
Andai ajal woro-woro dulu sebelum datang, tentu kita akan membuat persiapan. Kita akan menjadi pribadi yang baik dan tak mau menyusahkan ataupun mengecewakan orang. Kita akan beramal sebaiknya karena toh tak lama lagi usai sudah jatah hidup di dunia. Sayangnya, kenyataan tak berjalan seperti itu. Karena menganggap bahwa ajal masih jauh, kita lupa berbaik pada sesama. Kita enggan menunaikan hak orang lain yang masih kita tahan. Kita pun lalai terhadap kewajiban dan bisanya hanya menuntut hak saja.
...Andai ajal woro-woro dulu sebelum datang, tentu kita akan membuat persiapan. Kita akan menjadi pribadi yang baik dan tak mau menyusahkan ataupun mengecewakan orang...
Ya...semuanya berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah pula. Pertanyaannya, kembali kepada Allah dalam kondisi apakah kita nanti? Amal dan ketulusan hati adalah faktor yang turut menentukan posisi kita di akhir hidup.
Semoga ketika saat itu tiba, tak ada hati yang terluka akibat kata dan perbuatan kita. Tak ada lagi hutang yang belum terbayar, hak belum tertunaikan dan kewajiban yang masih jadi tanggungan. Dan semoga saja kita menjadi pribadi yang mengakhiri hidup dengan khusnul khatimah, insya Allah. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Kompasiana