Beberapa hari yang lalu, Surabaya mengadakan Surabaya Book Fair (SBF). Sepi. Mengenaskan. Para penjaga stand terlihat ‘menganggur’ karena minimnya jumlah pengunjung. Bukan itu saja, panggung yang didirikan di bagian depan pameran pun sepi. Padahal tiap jamnya selalu ada acara bedah buku, talk show, diskusi atau pertujukan seni yang ada kaitannya dengan literasi.
Beberapa kali saya datang ke pameran tersebut, dengan sedih hati menyaksikan peserta yang duduk mendengarkan pembicara dan pembawa acara diskusi hanya sekitar lima orang. Di dalam ruangan sendiri, juga tak kalah sepi. Orang yang datang bisa dihitung dengan jari.
Ketika bertemu dengan sekelompok remaja SMA di salah satu tempat les, saya infokan ke mereka bahwa ada pameran buku di Balai Pemuda Surabaya. Sekolah mereka relatif dekat dengan tempat pameran. Jangankan datang, mendapat informasi tersebut pun ekspresi mereka adem-adem saja. Tak memberi respon. Bahkan banyak di antara mereka yang terus terang bilang kalau tak suka membaca jadi buat apa datang ke pameran buku. Duh!
...Gengsi biasanya menempati urutan teratas dibandingkan dengan fungsi, atas laris manisnya industri gadget dibandingkan dengan buku...
Beda sekali kondisinya bila yang sedang pameran adalah HP atau gadget terbaru. Tak butuh waktu lama, sejak hari pertama sudah diserbu pengunjung yang mayoritasnya adalah remaja. Terjual puluhan bahkan ratusan unit dalam waktu singkat. Padahal harganya pun juga tak bisa dibilang murah. Gengsi biasanya menempati urutan teratas dibandingkan dengan fungsi, atas laris manisnya industri gadget dibandingkan dengan buku.
Remaja kita lebih suka akrab dengan teknologi meskipun hanya sebagai konsumen bukan produsen, dibandingkan dengan buku. Inilah yang membuat Indonesia menjadi sasaran empuk industri dari luar karena mayoritas masyarakatnya yang diwakili oleh remaja pada gila belanja gadget. Remaja kita bangga hanya menjadi target pasar, bukan sebagai pelaku ataupun produsen. Ya...karena untuk menjadi pelaku dan produsen, itu semua butuh ilmu, ketekunan dan kemauan yang kuat. Sedangkan fenomena yang ada, perilaku remaja jauh dari hal-hal positif demikian.
...Mereka yang menghargai ilmu pengetahuan, biasanya menghargai buku. Jadi mereka tidak akan lepas dari buku tradisional meskipun bisa jadi mereka juga canggih mengoperasikan teknologi...
Oke, taruhlah remaja suka gadget. Seberapa maksimal gadget tersebut digunakan untuk meng-upgrade wawasan mereka? Paling banter, gadget tersebut digunakan untuk main game dan foto selfie. Hayo, ngaku aja deh. Berapa di antara remaja yang smartphonenya ada aplikasi kamus english-english? Atau mungkin isinya kumpulan soal Fisika dan Matematika yang diunduh dari internet? Atau juga ebook yang isinya tentang pengetahuan? Bisa dipastikan hampir tidak ada. Bila pun ada, bisa dihitung dengan jari.
Mereka yang menghargai ilmu pengetahuan, biasanya menghargai buku. Jadi mereka tidak akan lepas dari buku tradisional meskipun bisa jadi mereka juga canggih mengoperasikan teknologi. Tapi bila sebaliknya, yang gandrung teknologi apalagi bila cuma untuk selfie bisa dipastikan alergi bila ada buku menanti. Kalau remajanya saja sudah malas membaca buku dan upgrade wawasan, lalu mau jadi apa negeri ini 10 tahun ke depan?
Pantas saja bila remaja sekarang tingkat galaunya jauh lebih tinggi daripada beberapa dekade sebelumnya. Sudahlah tidak suka membaca sehingga kualitas diri untuk memecahkan masalah rendah, diperparah dengan kegiatan selfie dan hal-hal tidak penting lainnya yang membuat remaja makin lambat untuk bersikap dewasa. Karena ternyata, imbas malas membaca buku bukan hanya menyangkut wawasan saja tapi lebih jauh ke kepribadian dan cara seseorang menyikapi masalah dalam kehidupannya. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google