Oleh: Abdullah Protonema
Sahabat VOA-Islam yang Shalih dan Shalihah...
Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga, di antara langkah yang harus ditempuh oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya.
Secara syar’i, ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khithbah (peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya.
Adapun secara istilah Dr. Wahbah Az-Zuhaily menjelaskan yang dimaksud Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya). Selain itu Sayid Sabiq juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang sedang mengkhitbah seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf.
Kuatkan Azzam dan Khusnudhonbillah Saat Melamar Akhwat
Wajar bila seorang ikhwan merasakan grogi dan serba canggung saat hendak melamar seorang akhwat yang telah ditujunya, karena rasa penasaran selalu menghantui, apakah nanti diterima atau ditolak. Tentu saja itu membutuhkan mental yang kuat.
Meskipun sebenarnya, saat seorang ikhwan hendak meminang seorang akhwat wajiblah menguatkan azzam dalam diri yakin dengan penuh optimisme serta khusnudhonbillah karena apapun yang akan terjadi nanti setelah khitbah dilakukan itu adalah sebaik-baiknya takdir, baik diterima maupun ditolak.
Karena Allah SWT adalah Rabb semesta alam yang lebih tahu siapa yang cocok buat kita. Meskipun terkadang kita sudah merasa pilihan kita adalah yang cocok, namun hal itu belum tentu benar juga, karena tidak sedikit pasangan yang ditemukan dengan diawali ketidakcocokan namun malah berakhir dengan kebahagian dan menghasilkan banyak jundullah dalam kisahnya perjalanan rumah tangganya.
Hebatnya Ali Bin Abi Thalib Saat Melamar Putri Rasulullah SAW
Siapa yang tak kenal dengan Ali Bin Abi Thalib ra., Sahabat Nabi yang cerdas dan tampan serta pemuda yang pemberani saat melawan para musuh-Nya. Subhanallah ternyata Ali punya kisah indah tentang asmaranya.
Siapa kira, Ali si pemuda miskin yang ikut hijrah ke madinah ini ternyata mencintai keponakanya sendiri, dialah Fatimah Azzahra putri Rasululloh SAW. Dia pendam cinta di dalam hati, namun tiada kuasa untuk mengungkapkan, karena melihat kedudukan diri dan faham siapa orang yang dicintainya, meskipun secara nasab Ali dan Fatimah adalah masih family.
Ali sempat tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fatimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukanya dengan sang Nabi. Dialah Sahabat Nabi paling utama: Abu Bakar Ash-Sidiq ra.
Bila dibandingkan dengan Abu Bakar Sidiq tentu saja Ali merasa bukan tandingannya, maka saat itu pula dirinya berlapang dada dan siap menerima takdir bila ternyata Rasululoh saw menerima lamaran Abu Bakar Sidiq. Hanya saja, kali ini Ali boleh bernafas lega, karena ternyata lamaran Abu Bakar Sidiq ditolak Nabi.
Selesai Abu Bakar Sidiq ditolak oleh Rasululoh saw, kini giliran Umar Bin Khattab juga ikut melamar sang putri Nabi. Mendengar hal ini, dada Ali kembali berdebar. Pasalnya, siapa yang tak kenal Umar Bin Khattab? Kehebatanya dan sumbangsihnya terhadap hijrah Nabi serta kaum Muslimin saat itu sangatlah besar, dan Umar Bin Khattab adalah pemberani serta disegani oleh musuh, tentu saja posisi yang seperti ini yang lebih pantas menjadi menantu Nabi, demikian pikir Ali untuk menenangkan jiwanya agar tidak terjebak dalam kecemburuan lebih dalam.
Namun tetap saja Ali harap harap cemas, ingin segera tahu hasil dari lamaran Umar Bin Khattab. Apakah lamarannya diterima atau ditolak, meskipun Ali telah ridho semua dengan takdir Allah SWT bila ternyata Rasululloh izinkan Umar untuk menjadi suami Fatimah, kaarena memang sangat layak dan pantas.
Ali sadar bahwa cinta memang tak harus memiliki, dan jodoh itu rahasia ilahi. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, Allah SWT yang menyatukan sepasang calon pengantin untuk bersatu dalam ikatan akad nikah.
Tak lama kemudian Ali mendengar kabar jikalau lamaran Umar ternyata di tolak. Mendengar kabar ini bukanya Ali bin Abi Thalib tersenyum tapi dirinya malah bingung bercampur tanya. Karena sangat jelas sekali, dua orang yang lebih hebat dari Ali Bin Abi Thalib dengan tegas ditolak oleh Rasululloh.
Dirinya kian minder tapi perasaan cinta sudah menghujam, bayangkan orang yang dekat dan terbaik dimasa terbaik saja ditolak bagaimana dengan diri Ali yang kedudukanya berada di bawahnya, demikian pikir dalam dirinya.
“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?” kalimat teman-teman Anshar-nya itu membangunkan lamunan.“ Mengapa engkau tak mencoba melamar Fatimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu baginda Nabi.”
“Aku?” Tanyanya tak yakin.
“Ya .Engkau wahai saudaraku.”
“Aku hanya pemuda miskin, apa yang bisa kuandalkan?”
“Kami di belakangmu kawan, semoga Allah SAW menolongmu.”
Mendapatkan motivasi dari saudara-saudara Anshar, maka Ali pun memeberanikan diri untuk segera menemui Rasululloh saw, menyampaikan keinginanya untuk menikahi Fatimah ra.
Sepulang dari rumah Rasululloh saw, Ali pun masih bimbang apakah dirinya diterima atau ditolak, hal itu terlihat dari raut wajah Ali yang belum yakin dengan jawaban Rasululloh saw.
“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu? Tanya teman-teman Ali."
“Entahlah,” jawab Ali.
“Apa maksudmu?” desak kawan-kawan Ali yang kian penasaran.
“Menurut kalian apakah 'Ahlan wa sahlan' berarti sebuah jawaban?” terang Ali sambil menanyakan kepada para sahabatnya.
“Satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua, Ahlan saja sudah berarti iya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan ahlan wa sahlan kawan, dua-duanya berati iya,” terang sahabat Ali meyakinkan.
Akhirnya Ali Bin Abi Thalib pun menikahi Fatimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semua ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi sama Nabi bersikeras agar ia membayar cicilannya. Barokallah.
Ya Akhi...Jadilah Pemuda Sehebat Ali bin Abi Thalib
Jodoh itu di tangan Allah SWT, akan tetapi kita meski berusaha dan berdoa kepada Allah SWT untuk mendapatkan yang terbaik. Kisah Ali bin Abi Thalib dalam mengejar cintanya ini bisa banyak kita ambil hikmahnya.
Bahwa seorang ikhwan pantang minder dengan posisi yang ada, meski tak punya harta dan pangkat atau mungkin tak begitu sholeh. Selama kita punya azzam yang kuat untuk berbenah menjadi baik, tak mengapa kita bercita-cita mengejar akhwat yang super sholehah. Siapa tahu dia jodoh kita. Insya Allah. [syahid/voa-islam.com]