View Full Version
Senin, 23 May 2016

Preman (belum) Pensiun dan Dunia Pesantren

Oleh: Faisal Amri (Mahasiswa Takmili LIPIA Jakarta)

Terdengar aneh memang, ketika seorang preman yang masih berstatus sebagai preman, artinya masih belum taubat. Tetapi ada keinginannya yang cukup menggelitik, ingin memasukkan anaknya di pondok tahfidz Al-Qur’an. Ini kisah nyata, dan ibu saya sendiri yang menjadi ‘tempat curhat’ preman yang satu ini.

Suatu ketika si preman yang masih tetangga kami dan cukup kenal dengan keluarga besar kami, bertemu dengan ibu saya di depan rumah. Si preman bertanya kepada ibu, apakah saya masih di pesantren. Kebetulan waktu itu saya sudah lulus dari pesantren. Tiba-tiba si preman menyeletuk,

“Mbak, sesuk anakku rep tak pondokke apalan Qur’an ben podo anakke sampean, Mbak, besok anak saya mau saya masukkan ke pondok tahfidz Al-Qur’an, biar seperti anak Mbak.”

Terlepas dari sungguh-sungguh tidaknya ucapan si preman tadi. Tetapi bisa kita ambil pelajaran bahwa orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Orang tua ingin anaknya lebih darinya. Jika si orang tua hanya berpendidikan SD, maka orang tua yang berpendidikan SD ini tidak menginginkan anaknya hanya berpendidikan terakhir SD. Minimal SMA bahkan  sampai perguruan tinggi. Jika si orang tua hanya bekerja sebagai tukang tambal ban, maka tentunya ia menginginkan anaknya kelak lebih darinya, pengusaha sukses misalnya.

Beginilah orang tua. Orang tua kita. Berpikirnya jauh ke depan untuk kesuksesan anak-anaknya. Uang berapapun rela dikeluarkan demi masa depan cerah si anak. Mereka rela banting tulang siang-malam tanpa henti.

Kembali ke si preman. Nampaknya preman tadi tertarik dengan pendidikan pesantren. Sampai menyeletuk seperti itu. Atau minimal ada sesuatu yang membekas di hati ketika si preman bermuamalah dengan alumni pesantren atau santri. Atau ada sesuatu yang menarik dari dunia pesantren sehingga ia terpikat. Atau mungkin ia bergumam dalam hati,” saya seperti ini, maka anak saya kelak tidak boleh seperti bapaknya.

Jika ia tertarik dengan dunia pesantren. Maka akan sedikit saya ceritakan bagaimana asyiknya dunia pesantren. Saya merekomendasikan kepada antum-antum sekalian untuk membaca buku Ustadz Abu Umar Basyier, judulnya Suatu Hari Dalam Hidupku. Buku ini mengisahkan pengalaman penulis selama menjadi santri di TMI Grabag Magelang. Ma’had milik Ustadz Zaenal Musthofa Idris, Lc. Yang berdomisili di Grabag, Magelang dan sekitarnya tentu tak asing dengan ma’had yang satu ini. Ma’had yang telah melahirkan banyak tokoh-tokoh Grabag. Ma’had dengan fasilitas tak begitu ‘wah’ tetapi lulusannya berkelas ‘mewah’.

Dunia pesantren memang mengasyikkan. Di sana ada kebersamaan, di sana ada kesetiakawanan, di sana ada kekeluargaan. Siang-malam hidup seatap selingkunganlah yang mencetak itu semua. Menjadikan mereka bagai satu tubuh. Apabila ada satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh anggota tubuh akan merasakan sakit. Apabila ada satu teman yang sedang tidak bersemangat dalam belajar, maka teman-teman lain akan menanyakan kondisinya, menyemangatinya, menanyakannya kenapa hari ini tidak bersemangat.

Hubungan antara ustadz-ustadz dengan santri-santrinya tidak terbatas hanya seperti orang yang menitipkan bayinya di tempat penitipan bayi. Tetapi mereka layaknya ayah dan anak. Menyemangati si anak jika sedang ‘nggembos’ dan ‘melempem’. Memotivasinya, menasehatinya, mengarahkannya untuk masa depan yang cerah. Sesekali menegurnya jika berbuat salah. Mendoakan kebaikan untuknya, baarokallhu fiik, waffaqokallah, mabruuk, ma’annajaah. Dan doa-doa lainnya.

Kalau si preman tadi ingin memasukkan anaknya ke ma’had tahfidz Al-Qur’an. Maka akan sedikit saya ceritakan asyiknya menghafal Al-Qur’an, manfaat yang didapat dunia ataupun akhirat.

Tentu banyak sekali orang tua yang mendambakan anaknya menjadi penghafal Al-Qur’an, pemikul Al-Qur’an. Karena kelak si anak akan memakaikan mahkota kebesaraan kepada orang tuanya di hari kiamat. Sebuah kemuliaan yang besar sekali. Anak sholeh seperti ini merupakan aset yang begitu berharga.

Sekarang, hampir setiap bahkan seluruh pondok pesantren pasti ada kurikulum menghafal Al-Qur’an. Walaupun itu hanya satu juz per tahunnya. Menghafal Al-Qur’an memang mengasyikkan. Manfaatnya pun banyak. Seperti, ada beberapa pelajaran yang memang di sana banyak ayat-ayat yang harus dihafal. Maka saat kita telah mempunyai simpanan hafalan, itu akan membantu mempermudah dalam mendalami ilmu tersebut. Manfaat lain seperti, saat tiba-tiba kita dibutuhkan untuk menjadi imam tarowih di bulan Ramadhan, kita tidak kelabakan.

Ini hanya gambaran kecil saja dari sebuah tempat yang sering orang sebut sebagai ‘penjara suci’. Semoga bermanfaat. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version