Oleh: Husni Mubarok
Sahabat VOA-Islam...
Gladsote, salah seorang orientalis sekaligus penasihat imperialis pernah berkata, ”Selama kitab ini (alquran) masih dibaca oleh orang Islam itu, selama itu pula mereka masih melawan kita."
Lihatlah, betapa orang-orang kafir merasa takut akan kekuatan yang timbul dari alquran. Mereka meyakini bahwa alquran yang menyadarkan kita akan hakikat kemerdekaan dan perlawanan dari kedzaliman, terutama perlawanan terhadap kedzaliman dan tipu daya aqidah yang dilancarkan oleh para orientalis dan imperialism sejak zaman portugis menguasai kepulauan Maluku yang dipimpin oleh alfonso hingga zaman kekuasan jepang yang menghiasi penindasan mereka dengan sebutan fajar asia.
Orang Belanda meyakini bahwa mengertinya umat Islam terhadap kitabnya sendiri akan menghalangi upaya westernisasi dan zending (pemurtadan) yang menjadi tujuan mereka sejak awal. Tiga tujuan utama penjajah (gold, glory dan gospel) tak akan tercapai selama umat islam berpegang teguh dengan kitab alquran.
Nyatalah bahwa perlawanan para pahlawan terhadap para penjajah karena panggilan tanggung jawab mereka terhadap kehormatan agama. Bukan atas rasa nasionalisme belaka. Pukan pula karena sakit hati dan balas dendam saja. Maka sejarah mencatat perlawanan imam bonjol dari sumatera. Tengku umar cik ditiro dan para kesatria wanita bernama cut nyak dien, cut nyak meutia dari tanah rencong, pangeran dipinegoro dari tanah jawa, kapitan patimura dari tanah Maluku dan banyak pahlawan-pahlawan lainnya. Mereka berjuang karena panggilan jihad yang telah dikobarkan oleh kitab suci alquran.
Sejarah menyaksikan bung tomo dengan arek-arek suroboyo diantara pekikan takbir yang menggetarkan relung nurani. Tak ketinggalan jendral sudirman yang taat dalam menjalankan kewajibannya sebagai hamba. Jiwanya selalu teringat dan menyebut rabb yang maha tinggi.
Sejarah juga mencatat resolusi jihad para ulama dan santri yang menamakan mereka dengan hizbullah. Duhai, betapa besar pengaruh kekuatan alquran dalam jiwa yang haus akan kemerdekaan. Lalu apa yang akan kita lakukan ketika kemerdekaan telah memenuhi relung-relung kehidupan kita saat ini?
Lihatlah, betapa dulu alquran menjadi motor penggerak perjuangan pemuda-pemuda islam. Jangan sampai kita kehilangan spirit ruhiyah yang menggelora hanya karena penjajahan sudah tiada. Maka pantaslah jika kaum muda kita perlahan demi perlahan mulai menjauh dari alquran. Banyak diantara remaja muslim kita yang tidak pernah peduli dengan kitab sucinya sendiri. Jangankan membacanya atau menelaah tafsirnya, bahkan membaca huruf hijaiyah saja banyak yang masih belum bisa.
Remaja muslim saat ini (walaupun tidak semuanya seperti itu) mulai menjauh dari nilai dan norma agama. Mereka terpedaya dengan gemerlap hedonism yang menggairahkan jiwa muda mereka yang bergejolak syahwat. Mereka terpedaya oleh system kapitalisme dan materialism yang memandang kebahagiaan dan kesuksesan dari tampilan luar belaka. Bukan inner beauty yang mewujud dalam akhlak yang mereka banggakan. Tapi kecantikan dan ketampanan yang didukung oleh iklan-iklan kapitalis yang membodohkan. Waliyyadzubillah.
Maka, kita sudah sepantasnya dan sudah seharusnya malu terhadap diri kita karena diam dikala kerusakan generasi muda melanda. Sudah sepantasnya kita malu pada tuhan ketika girah (cemburu) terhadap agama sudah tidak ada di dalam dada.
KH. Ahmad Dahlan, sang pendiri muhammadiyah pernah berkata,”islam tidak akan hilang dari dunia ini, tapi mungkin saja hilang dari Indonesia.”
Karena hal ini mungkin yang menyebabkan dia merasa tergerak untuk membasmi TBC (tahayul, bid’ah, churafat) di Indonesia. Tak sedikit yang menentang gerakan muhammadiyah. Dari penjajah belanda hingga para islamis tradisionalis memusuhinya. Kaum londo memusuhi dakwahnya karena dikhawatirkan menimbulkan gerakan perlawanan. Sementara kaum islam tradisionalis membencinya karena takut tradisi bidah mereka lenyap karena tajdid dakwahnya tersebut.
Berkacalah pada sejarah masa lalu
Mungkin orang-orang yang hidup pada masa peradaban yunani kuno tidak pernah terpikir kebudayaan mereka akan runtuh. Mereka juga tidak pernah berpikir pemikiran filsafat mereka akan berakhir. Tapi nyatanya ratusan tahun kemudian yunani hanya menjadi nilai sejarah dari situs-situs peninggalannya saja. Orang hanya kagum dengan filsafatnya tanpa pernah muncul peradaban serupa di negerinya. Tak ada lagi Socrates, pluto da naris toteles abad modern. Tidak ada lagi nilai-nilai budaya yang bertahan sempurna.
Begitu juga dengan bangsa mesir kuno. Kita berdecak kagum dengan peninggalan kebudayaan masa lalunya yang terkenal. Tapi adakah orang mesir yang bertahan dengan tradisi kunonya? Adakah peran mesir dalam percaturan dunia pada abad modern ini? Adakah peran orang-orang mesir dalam kebijakan-kebijakan internasional?
Dengan memeberi contoh peradaban yunani dan mesir di atas, bukan berarti penulis kagum dengan peradabannya. Tapi hanya sekedar muhasabah buat kita? Kenapa harus bercermin terhadap yunani kuno dan mesir kuno? Jawabnya, karena bisa saja islam secara perlahan akan menjadi monument sejarah yang dilupakan umat muslim. Islam tinggal nama, alquran tinggal bacaan belaka, masjid tinggal kemegahan ornamennya saja, dan muslim hanya menjadi sebutan tak berarti. Semoga kita tergerak untuk menjadi pion-pion perjuangan dalam medan amar ma’ruf nahyi munkar. Amiin. [syahid/voa-islam.com]