Oleh: Ria Fariana
Judul Buku : Sang Penakluk Kutukan
Penulis : Arul Chandrana
Penerbit : Republika
Tahun : 2016
Tebal : 289
“Yang paling menyakitkan bukanlah ketika kau menghadapi lawan dan mereka berhasil melukai tubuhmu. Tidak, bukan itu. Yang paling menyakitkan adalah ketika kau tahu, bahwa lawan berhasil melukai tubuhmu karena orang kepercayaanmu menjual kelemahanmu padanya; mengkhianatimu.” (hal. 227)
Dikhianati sahabat sendiri, alangkah sakitnya. Apalagi ketika sahabat itu adalah seseorang yang ayahnya pernah kau selamatkan nyawanya. Seseorang tempat kau menyimpan rahasia terpentingmu yang resikonya adalah keselamatan dirimu sendiri dan keluargamu. Dan itu semua hancur saat sahabat yang begitu kau percaya tidak lagi percaya padamu.
Adalah Ranti dan Hekma, bersahabat sejak lama baik di rumah maupun di sekolah. Ranti yang anak tabib selalu dituduh sebagai anak dukun oleh Bu Nasimah, salah satu guru di sekolahnya. Hekma sebagai sahabat yang baik, selalu memunyai cara untuk menghibur Ranti dan membuatnya tersenyum. Bahkan, di satu titik kritis Hekma pernah tampil ‘garang’ demi menyelamatkan Ranti dari ejekan genk usil di sekolah.
Siapa nyana bila di kemudian hari, Hekma mengambil bagian menjadi orang yang ikut mengucilkan Ranti dan keluarga. Berawal dari rasa percaya Ranti untuk menceritakan hal tentang Akdong dan Aknang, dua nama yang dianggap menjadi penyebab kutukan desa Kumalasa tempat Ranti dan orang tuanya tinggal.
Sekian tahun lalu, Akdong diusir dari desa karena diyakini membawa kutukan. Tubuhnya penuh dengan luka, borok tumbuh di sekujur kulitnya bahkan wajahnya tak berbentuk lagi (hal. 71). Tidak itu saja, istrinya yang meninggal tidak lama setelah melahirkan juga diyakini penduduk desa sebagai kelanjutan dari kutukan tersebut. Si anak yang bernama Aknang juga dianggap bagian dari kutukan.
...Novel bersetting Bawean ini seolah hidup. Tak jarang terbersit tanya, benarkah kisah ini pernah ada di sana? Sebegitu meyakinkannya pengarang menyajikan alur cerita, sederhana tapi membawa pesan kuat bahwa tidak semua yang diceritakan orang banyak adalah kebenaran...
Bukannya takut, Ranti malah berteman dengan Aknang di hutan. Bersamanya, Ranti menemukan makna lain dari persahabatan. Betapa persahabatan sesungguhnya hanya membutuhkan ketulusan perasaan dan bukan manisnya perkataan (hal. 136). Itu karena Aknang tak bisa berbicara selayaknya manusia. Tumbuh besar di hutan, bahasa yang dipahami Aknang tak ubahnya dengan bahasa monyet yaitu gerak tubuh dan suara tak bermakna menurut manusia biasa.
Hingga satu hari, persahabatan mereka harus berakhir paksa. Akdong datang dan memisahkan mereka berdua. Pada saat yang sama, tiga orang pencari gadung di hutan melihat kejadian tersebut. Ranti mengatakan rahasia besar itu pada Hekma. Dan inilah petaka yang hampir saja membuat Ranti dan keluarganya bernasib sama seperti Akdong dan Aknang, terusir dari desa dan harus melarikan diri ke dalam hutan demi menyelamatkan nyawa.
Dengan lihai, pengarang mengemas konflik persahabatan di tengah keberadaan takhayul yang berkembang di masyarakat dengan apik. Sebegitu kentalnya takhayul ini menjadikan kebenaran terlalu membingungkan sehingga kebohongan tampak lebih nyata dan bisa diterima (hal. 75). Ending novel ini pun terjalin dengan manis. Bagaimana Ranti dan Hekma menyelesaikan konflik yang mendera, akhir nasib Akdong dan Aknang serta bagaimana masyarakat desa menyikapinya, serta sikap keluarga Ranti usai fitnah keji itu melanda.
Novel bersetting Bawean ini seolah hidup. Tak jarang terbersit tanya, benarkah kisah ini pernah ada di sana? Sebegitu meyakinkannya pengarang menyajikan alur cerita, sederhana tapi membawa pesan kuat bahwa tidak semua yang diceritakan orang banyak adalah kebenaran (hal. 122). Kita pun diajak bercermin tentang kondisi masyarakat secara umum, bahwa takhayul dan khurafat seolah menjadi kebenaran dibandingkan dengan kebenaran itu sendiri. Tokoh Ranti kecil tampil berusaha mematahkan semua mitos itu yang bersembunyi di balik kata kutukan.
Ada satu lagi kutipan yang cukup menyentil hati saat Ranti ingin agar ada kata maaf dari masyarakat untuk apa yang mereka sebut sebagai kutukan.
“...mengakui kesalahan adalah salah satu masalah terbesar yang hamipir tidak bisa diatasi oleh semua orang. Lalu mereka akan pura-pura lupa sebagai cara untuk memaafkan diri sendiri...”
Kalimat ini benar-benar cermin yang disodorkan oleh pengarang tentang diri dan masyarakat kita sendiri. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: arulchandrana.wordpress.com