View Full Version
Rabu, 15 Jun 2016

Shaum; Sebuah Kemerdekaan dari Perbudakan Akal

Oleh: Irfan Saeful Wathan

(Ketua DKM Ulul Abshor Unpas, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisip Unpas)

Allahuakhbar! Satu pekik takbir untuk bulan suci penuh kemenangan dan api jihad ini. Bulan diwahyukannya Al-Quranul Karim kepada sosok manusia paling mulia di semesta raya ini. Bulan yang menjadi pijakan pertama kaum muslimin tatkala menginjakkan kakinya di medan perang. Bulan yang menjadi saksi atas perjuangan Nabi dan para sahabat dalam membersihkan paganisme di kota suci Makkah dengan cahaya tauhid.

Shaum, adalah salah satu ibadah yang diberlakukan dalam bulan yang penuh berkah dan ampunan ini. Syari’at shaum sendiri ditetapkan di tahun kedua Hijriyah setelah 14 tahun Nabi dan para sahabat mendapatkan kurikulum pendidikan tauhid dari Allah Swt.

Tidak semua orang sama kemampuannya dalam melakukan baktinya sebagaimana diperintahkan Allah Swt. Adakalanya tubuh membebani jiwa, sifat materialisme dapat menekan sifat kemanusiaan yang kita miliki. Jikalau kita tak melakukan pelatihan ruhiyah guna meringankan beban tersebut, tidak menghadapkan kalbu kepada Sang Pencipta, dan hanya merasa cukup dengan perkara wajib, pastilah beban itu akan terasa berat tatkala dipikul tiba-tiba.

Syari’at shaum sendiri tak ayalnya menjadi sebuah ujian tauhid bagi para sahabat kala itu. Ketentuan shaum kerap dilanggar oleh para sahabat pada masa awal diberlakukannya. Bahkan ada beberapa ketentuan yang akhirnya diberi keringanan oleh Allah untuk hamba-Nya agar lebih mudah menjalankannya.

Namun, kebenaran memang tidak bisa diserukan dengan perjuangan yang sederhana. Alih-alih nilai kebenaran ini sudah tersebar ke berbagai penjuru dunia, masih ada saja musuh-musuh yang berkicau untuk menjatuhkan Islam.

Washington Irving, salah seorang Orientalis berkebangsaan Amerika Serikat, turut menyuarakan pendapatnya tentang ajaran Islam. Dengan segala keterbatasan ilmu yang dimilikinya, ia berpendapat bahwa Diinul Haq ini adalah sebuah jabariyah (pemaksaan).

“Ajaran yang menentukan, bahwa manusia tidak berdaya dengan kemauannya yang bebas itu untuk menghindari dosa atau selamat dari siksa, sebagian kaum Muslimin menganggapnya bertentangan dengan keadilan dan rahmat Allah. Tampil beberapa golongan yang berusaha dan terus berusaha hendak meringankan dan memberi penjelasan mengenai ajaran yang membingungkan ini. Tetapi jumlah yang ragu ini tidak banyak. Mereka tidak termasuk ahli Sunnah,” demikian ujar beliau, sebagaimana yang ia tuliskan dalam buku yang berisikan tentang sejarah Muhammad Saw.

Allah Swt. dengan segala kesempurnaannya, tak perlu menunggu kalimat itu terlontar untuk membantah kicauan tersebut. Allah pun telah menyiapkannya jauh sebelum Irving melontarkan argumen naifnya itu.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. 2:183)

Anggapan bahwa puasa adalah sebuah tekanan atau pembatasan atas kebebasan manusia tidaklah benar adanya. Bukankah kita simak ayat di atas bahwa Allah Swt. menyerukan kewajiban shaum kepada orang-orang beriman, yaitu mereka yang sudah terbebaskan akal sehatnya dari masa jahiliyah sehingga hanya menyembah Allah yang esa?

Terlebih, Islam hanya mewajibkan ibadah shaum bagi mereka yang sudah mampu menggunakan akalnya untuk menentukan antara haq dan bathil. Berarti kemapanan akal menjadi syarat penting dalam menerima syari’at ini. Dan dalam Islam pun tidak menghendaki sebuah paksaan bagi para penganutnya (QS. 2:256), melainkan telah membebaskan kehendak manusia untuk memilih antara haq dan bathil (QS. 90:10).

Ibadah shaum sendiri justru bertujuan untuk membersihkan jiwa. Maka dari itu orang yang berpuasa diharuskan didasari dari kehendak akal sehat, agar kemerdekaan berpikirnya dapat diperoleh kembali.

Seolah tampak aneh yang saya katakan, bahwa dengan shaum kita dapat memperoleh kembali kemerdekaan berpikir. Pada kenyataannya, manusia adalah budak dari kebiasaannya. Ia sudah terbiasa makan di waktu pagi, tengah hari, dan malam hari. Apabila dikatakan kepadanya untuk makan pagi dan malam hari saja, ini dianggapnya sebagai pelanggaran dari kebebasannya. Itulah pokok yang dipertahankan oleh paham liberalisme, padahal itu adalah pelanggaran atas perbudakannya.

Mereka yang sudah hanyut dalam pusaran arus jahiliyah seperti ini, pastilah akan beranggapan bahwa seruan yang hendak menyelamatkannya adalah sebuah larangan pengganggu dari kebodohannya itu.

Orang yang sudah terbiasa dengan minum teh, kopi, atau minuman lainnya di waktu-waktu tertentu, lalu dikatakan kepadanya agar meminumnya di waktu lain saja, maka ini akan dianggapnya sebagai pelanggaran atas kebebasannya, yang padahal itu menyelamatkan ia atas perbudakannya.

Juga mereka yang sudah jatuh dalam kebiasaan ‘pacaran’. Karena terlihat banyak orang yang melakukan hal sama dengannya, maka ia tidak mau meluangkan waktu sedetik pun untuk berpikir, apakah yang ia lakukan ini benar atau tidak, karena ia sudah diperbudak dengan budaya di sekitarnya. Inilah yang disebut sebagai perbudakan atas sebuah kebiasaan.

Budak kebiasaan serupa ini merusak kemauan, merusak arti yang sebenarnya dari kebebasan dalam bentuk yang sesungguhnya. Di samping itu, ini juga merusak cara berpikir sehat dan lebih menuruti hawa nafsunya, sebagaimana yang telah dimaktubkan dalam Al-Quranul Karim.

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya..” (QS. 45:23)

Inilah kita, manusia dengan segala keterbatasan ilmu yang kerap membuat kesimpulan naif dalam pola berpikirnya. Pada Allah mengetahui apa yang tidak kita ketahui (QS. 2:30). Terkadang kekeliruan itu tidak ada pada risalah ini, melainkan pada keterbatasan ilmu yang kita miliki.

Maka dari itu, di bulan Ramadhan inilah kesempatan emas bagi kita untuk menghadapkan kalbu kepada Sang Kholiq, untuk mendapatkan sebuah kemerdekaan sejati, dan terbebas dari perbudakan akal. Allahu a’lam. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version