View Full Version
Sabtu, 25 Jun 2016

Dualisme Pemikiran

Oleh: Zaqy Dafa (Peneliti Pemikiran Islam)

Pada suatu siang terjadi perdebatan sengit antara dua santri. Mereka membicarakan tentang pacaran yang menjadi tren di kalangan anak muda muslim yang sering menimbulkan banyak perlakuan maksiat seperti bermesraan, berpegangan tangan, ciuman, bahkan hubungan badan di luar nikah. Lalu seorang dari mereka berkata, “Aku akui pacaran emang bisa bikin maksiat seperti yang aku alami. Tapi, hatiku berniat baik dan pikiranku masih tetap suci.”

Tanpa santri tersebut sadari sebenarnya dia telah termakan filsafat dualisme. Bermaksiat tapi merasa dirinya suci. Dual hal yang tanaqudl (kontradiktif). Bila diusut ternyata doktrin ini bukan berasal dari Islam, tapi lebih kentara terjadi dalam kebudayaan dan pemikiran Barat.

Menurut Christian Wolff, seorang filosof Barat, misalnya menulis bahwa seorang dualis adalah dia yang menerima wujud materi dan immateri (jiwa). Namun, keduanya terpisah. Pengertian ini disepakati Pierre Bayle dan Leibniz.

Doktrin dualisme ini berasal dari agama dan kepercayaan yang menjadi dasar peradaban Barat. Misalnya, kepercayaan Mesir Kuno menganggap Ra adalah tuhan matahari simbol kehidupan dan kebenaran. Lawannya adalah Apophis, lambang kegelapan dan kejahatan. Dalam mitologi Hindu, Brahma adalah dewa perusak sedangkan Wishnu adalah dewa kedamaian.

Kaum Yahudi juga dualis. Dikisahkan dalam Al Quran bahwa mereka menganggap surga adalah hanya bagi ras mereka. Namun, di sisi lain mereka adalah manusia yang paling ambisius untuk hidup di dunia sampai beribu-ribu tahun. Maka Allah mengecap mereka, kenapa tidak langsung berharap segera mati supaya cepat masuk surga. (QS. 2, 95-96)

Dalam filsafat, Pythagoras adalag dualis. Segala sesuatu diciptakan saling berlawanan: satu dan banyak, terbatas-tak terbatas, berhenti-bergerak, baik-buruk dan sebagainya. Bagi Empidocles, dunia ini dikuasasi oleh dua hal, cinta dan kebencian. Plato dalam dialognya memisahkan jiwa dan raga, intelligible dan sensible.

Seorang dualis melihat fakta secara mendua. Akal dan materi adalah dua substansi yang terpisah. Jiwa dan raga adalah dua hal yang beda komposisi.

Hal ini berbeda dengan Islam. Meski berbeda, akal dan jasad dipadukan untuk tujuan ibadah kepada Allah Ta’ala. Iman tidak bisa dipisahkan dari ilmu. Manusia berbuat baik atau buruk karena jiwanya yang berkehendak. Dalam Hadits Nabi bahwa “Innama al-a’malu bi an-niyyat”. Amal terkait dengan niat. Kerja raga adalah suruhan jiwa. Karena itu ketulusan dan kebersihan jiwa bisa membawa kesehatan raga.

Maka seorang muslim tidak bisa menjadi dualis. Juga tidak bisa menjadi sekuler, karena sekularis memisahkan agama dari dunia. Muslim juga tidak bisa menjadi relativis murni karena relativis memandang kebenaran adalah tidak mutlak. Mestinya kebenaran relatif meski tidak mengacuhkan dan tetap berpegang pada nilai-nilai absolut dari wahyu.

Islam juga tidak boleh dibagi menjadi Islam subyektif dan obyektif. Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam merupakan agama yang subyektif dan personal bagi setiap individu, namun Islam juga merupakan agama yang sama untuk perseorangan dan juga bagi masyarakat yang berdiri secara kolektif. (Syed Muhammad Naquib al-Attas , Islam dan Sekularisme, hal. 88)

Ketika doktrin dualisme ini sudah mengakar jauh di masyarakat, maka banyak dari mereka yang berfikir dualis. Para anak muda Barat tak merasa risih melampiaskan nafsu hewani mereka di depan umum asal hati mereka suci dan setia hanya bagi cintanya (diluar nikah). Para pelacur tak merasa salah menjual diri asal niat mereka baik untuk mencukupi kebutuhan keluarga.

Kaum feminis mendukung praktek homo dan lesbi asal tidak mengganggu kepentingan orang lain (padahal mereka mengganggu sekali terhadap Islam). Kaum pluralis merasa agamanya adalah yang paling benar, namun mereka juga membenarkan agama lain dengan niat baik kemanusiaan. Inilah gambaran manusia tanpa hidayah. Wallahu a’lam. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version