View Full Version
Sabtu, 02 Jul 2016

Memaknai Keberuntungan

Oleh: Zaqy Dafa (Peneliti Pemikiran Islam)

“Pemikiran yang mendorong ketaatan kepada Allah adalah pemikiran yang barakah dan beruntung.”

Jujur Ajur (Jujurlah, maka kamu akan binasa)”. Demikian anekdot populer di kalangan masyarakat Jawa. Awalnya terkesan hanya guyonan, namun kalimat ini memperlihatkan rasa skeptis (ragu) terhadap akhlak dan juga agama. Seakan ingin berkata, “Jika kamu ingin beruntung, maka tinggalkan akhlak. Jika tidak, maka tunggulah saja kehancuranmu.”

Memang, di zaman dimana pemisahan agama dan masyarakat sangat gencar dilakukan sekarang ini, agama sering dituding sebagai biang keladi kemunduran dan kesialan. Sebuah cara pandang khas komunis, layaknya Karl Marx bergumam bahwa agama sebagai candu masyarakat. Lebih jauh lagi, agama dipisahkan dari moral. “It’s better to be moralist than religious,” teriak para atheis Barat. Bermoral lebih baik daripada beragama. Di sebuah universitas di Nottingham Inggris, bahkan terdapat hasil riset bahwa semakin beragama seseorang maka semakin bodoh. Padahal, kriminalitas dan kehancuran moral di Barat karena jauh dari agama. Barat sedang berada dalam kebingungan berpikir.

Konsep Islam jelas berbanding terbalik dengan pemikiran khas komunis dan sekuler Barat diatas. Dalam kitabnya berjudul Lathaif al-Ma’arif, Syaikh Ibn Rajab al-Hanbali menjelaskan bahwa faktor keberuntungan seseorang dilihat dari pengamalan ajaran agama dan akhlaknya. Disebutkan Hadits riwayat Utsman RadliyaLlahu ‘anhu, Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama bersabda bahwa dzikir dapat menolak bencana. Sayyidah Aisyah RadliyaLlahu ‘anha meriwayatkan Hadits Rasulullah, “Kesialan adalah kerusakan akhlak.” Ibn Rajab menambahkan, berkumpul dengan ahli dan promotor maksiat dan syetan jenis manusia, lebih berbahaya dari syetan jenis jin. (Lathaif al-Ma’arif, hlm. 109).

Dijelaskan pula, bahwa ketika kerusakan agama dan akhlak merajalela, maka semua umat manusia akan terkena imbas kesialannya. Oleh karena itu, hijrah dan menjauh dari kemaksiatan menjadi hal yang wajib, karena dosa adalah kesialan, akibat akhirnya adalah keburukan, dan siksanya amat menyakitkan. (hlm. 110)

Dari sini dapat ditarik pelajaran, indikator seseorang dikatakan beruntung jika ia dekat dengan agama dan jauh dari maksiat, terutama kekufuran. Konsep khas Islam ini berbeda dengan konsep kaum materialis bahwa kapital (modal, harta) adalah ukuran keberuntungan dan kebahagiaan. Justru sahabat Ali KarramaLlahu Wajhahu menjelaskan sepuluh keunggulan ilmu lebih baik dari harta. Salah satunya karena harta jika digunakan semakin berkurang, sedangkan ilmu jika digunakan semakin bertambah. Jawaban lainnya, karena ilmu yang menjagamu, sedangkang harta kamu yang menjaganya. (lihat: al-Mawa’izh al-‘Ushfuriyyah) Dalam tataran akidah, Syaikh Ibrahim al-Laqqani dalam Nazhm Jauharah al-Tauhid menjelaskan bahwa rizki adalah yang telah digunakan, bukan yang dimiliki. Maka orang yang bekerja siang malam untuk menumpuk harta dunia, sesungguhnya tidak merasa nikmat jika ia hanya bisa menimbunnya tanpa dapat menggunakannya.

Keberuntungan juga bukan seperti kepercayaan kaum paganis Jahiliyyah, yang didasarkan pada perhitungan hari, bulan, atau kedatangan hewan-hewan tertentu. Imam Bukhari meriwayatkan Hadits Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama, “Laa ‘Adwa (tidak ada penyakit berkekuatan menular), wa Laa Haabah (tidak ada burung hantu membawa sial), wa Laa Shafar (tidak ada bulan Shafar membawa sial).” Dengan ini, maka konsep astrologi Jawa (Kejawen) tentang Nogo Dino, Pitungan Jodo, dan perhitungan sial-beruntung berdasarkan tanggal pun ditolak oleh Islam.

Konsep Islam tentang keberuntungan ini menemukan relevansinya dalam realitas kehidupan pesantren. Kehidupan santri di pesantren dengan selalu berkumpul dengan ilmu-ilmu Islam yang murni, serta berkumupul dengan para kyai yang alim, jauh dari maksiat, dan berakhlak mulia, menjadikan hidupnya nyaman dan tidak banyak konflik, apalagi perkelahian dan tawuran antar santri. Meskipun mendapat tekanan ekonomi dan sosial yang luar biasa, pesantren ternyata mampu memberikan kehidupan yang nyaman dan ketenangan batin bagi para penghuninya. Ditambah pembelajaran ilmu agama yang kuat dan berketerusan menjadikan santrinya sebagai insan yang beriman, bertaqwa, berakhlak kariman, dan berintelektualitas tinggi.

Bandingkan saja dengan kehidupan para pelajar sekolah umum yang kering dari pelajaran agama dan jauh dari ulama dan orang-orang shaleh. Penelitian yang pernah dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) menemukan bahwa 50 – 60 persen pengguna narkoba di Indonesia adalah kalangan pelajar dan mahasiswa. Total seluruh pengguna narkoba berdasarkan penelitian yang dilakukan BNN dan UI adalah sebanyak 3,8 sampai 4,2 juta. Zoy Amirin, pakar psikologi seksual dari Universitas Indonesia, mengutip Sexual Behavior Survey 2011, menunjukkan 64 persen anak muda di kota-kota besar Indonesia ‘belajar’ seks melalui film porno atau DVD bajakan. Akibatnya, 39 persen responden ABG usia 15-19 tahun sudah pernah berhubungan seksual, sisanya 61 persen berusia 20-25 tahun. Survei yang didukung pabrik kondom Fiesta itu mewawancari 663 responden berusia 15-25 tahun tentang perilaku seksnya di Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Bali pada bulan Mei 2011.

Gerakan moral Jangan Bugil di Depan Kamera (JBDK) mencatat adanya peningkatan secara signifikan peredaran video porno yang dibuat oleh anak-anak dan remaja di Indonesia. Jika pada tahun 2007 tercatat ada 500 jenis video porno asli produksi dalam negeri, maka pada pertengahan 2010 jumlah tersebut melonjak menjadi 800 jenis. Fakta paling memprihatinkan dari fenomena di atas adalah kenyataan bahwa sekitar 90 persen dari video tersebut, pemerannya berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Sesuai dengan data penelitan yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. (Okezone.com, 28/3/2012).

Gaya hidup seks bebas juga memicu pertumbuhan pekerja seksual remaja yang sering dikenal dengan sebutan ‘cewek bispak’. Sebuah penelitian mengungkap fakta bahwa jumlah anak dan remaja yang terjebak di dunia prostitusi di Indonesia semakin meningkat dalam empat tahun terakhir ini, terutama sejak krisis moneter terjadi. Setiap tahun sejak terjadinya krismon, sekitar 150.000 anak di bawah usia 18 tahun menjadi pekerja seks. Menurut seorang ahli, setengah dari pekerja seks di Indonesia berusia di bawah 18 tahun, sedangkan 50.000 di antaranya belum mencapai usia 16 tahun  (http://www.gelombangotak.net/pages/artikel-terkait-16/prostitusi-di-kalangan-remaja—200.html, 4/5/12).

Tawuran pelajar seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perilaku pelajar. Meski sudah banyak jatuh korban, ‘perang kolosal’ ala pelajar terus terjadi. Data dari Komnas Anak, jumlah tawuran pelajar sudah memperlihatkan kenaikan pada enam bulan pertama tahun 2012. Hingga bulan Juni, sudah terjadi 139 tawuran kasus tawuran di wilayah Jakarta. Sebanyak 12 kasus menyebabkan kematian. Pada 2011, ada 339 kasus tawuran menyebabkan 82 anak meninggal dunia (Vivanews.com, 28/09/12).

Melihat berbagai fakta diatas, maka tidak salah jika banyak praktisi pendidikan mengatakan, pendidikan sekolah umum dan universitas yang digalakkan bahkan “dipaksakan” oleh pemerintah telah gagal. Padahal, berbagai inovasi telah diusahakan untuk memperbaiki kualitas pendidikan sekolah, mulai Pendidikan Moral Pancasila zaman Soeharto, Pendidikan Usia Dini, hingga Pendidikan Karakter.

Lalu, apanya yang salah? Jelas, kesalahan yang dari dulu tidak dibenahi oleh Pemerintah Indonesia adalah tidak adanya perhatian dan penekanan terhadap pendidikan agama di sekolah-sekolah dan pendidikan tinggi. Bahkan sebaliknya, pembelajarannya diisi dengan materi ilmu-ilmu Barat atau Islam yang ke’Barat-barat’an, bukan kitab-kitab salah para ulama. Akhirnya, keengganan menggunakan kembali ilmu-ilmu ulama salaf menjadikan moral bangsa Indonesia terpuruk, mengikuti ‘Bapak-bapak’ mereka di Barat. Pemerintah Indonesia sedang dalam kebingungan berpikir.

Karena itu, wajib bagi kita kaum santri untun sujud syukur karena telah diberi keberuntungan hidup dan belajar di pondok pesantren. Rasa syukur tersebut diwujudkan dengan mengisi waktu di pondok dengan belajar, beribadah, dan berkhidmah kepada ulama, dengan niat menghilangkan kebodohan, menguatkan iman, memperbaiki diri, dan menjauhkan diri dari dosa.

Jika nikmat yang begitu agung ini tidak disyukuri sebenar-benarnya, maka ia benar-benar orang yang zalim kepada dirinya. Sangatlah tepat bila Syaikh Muhammad Najih pernah memberi nasehat keras kepada para santri, “Bersungguh-sungguhlah kalian ketika mondok, sebelum kalian kembali ke rumah menjadi ABANGAN lagi.” WaLlahu A’lam. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version