Oleh : Erwin P. Pratama
Cinta, awalnya adalah permainan dan akhirnya kesungguhan.
Dia tidak dapat dilukiskan, tetapi harus dialami agar diketahui.
Agama tidak menolaknya, syariat pun tidak melarangnya.
Dengan kata-kata itulah Ibnu Hazm rahimahullahu, sejarawan dan ahli fiqh kelahiran Cordoba-Spanyol, memulai karya monumentalnya yang masyhur di kala abad pertengahan, bahkan ramai diperbincangkan seantero zaman, Thauq Al-Hamamah; Di Bawah Naungan Cinta.
Berbagai tanya pun tertumpah, mengapa Ibnu Hazm rahimahullahu bisa begitu indah dalam melukiskan dan merangkai cinta menjadi syahdu, seakan hanyut menghayati setiap lompatan kata menuju kata, yang tersusun kalimat dan kesimpulan yang menawan dan bersahaja?
Sepertinya ini adalah jawabannya;
*Sepanjang hidupnya ia pernah jatuh cinta sebanyak tiga kali. Ya, tiga kali.*
Ia pernah merasakan saat dimana cinta bertepuk sebelah tangan hingga kehilangan orang yang dicintainya.
Saat istrinya meninggal dunia, ia mengalami dera sakit yang bertubi-tubi hingga membuatnya hilang ingatan selama beberapa waktu.
Ia menangis, bercucur air mata membasah pipi berbulan-bulan. Padahal katanya, dia adalah orang yang sulit mencucurkan air mata. Terlebih Ibnu Hazm rahimahullahu dikenal sebagai ulama tersohor di abad pertengahan. Ayahnya dikenal sebagai salah seorang menteri pada zaman Khalifah al-Manshur; terlampau susah membayangkannya menangis
...Ibnu Hazm rahimahullahu dikenal sebagai ulama tersohor di abad pertengahan. Ia pernah merasakan saat dimana cinta bertepuk sebelah tangan hingga kehilangan orang yang dicintainya...
Dalam Thauqul Hamamah Ibnu Hazm rahimahullahu menulis;
"Demi Allah, hingga kini aku tidak pernah lagi merasa bahagia.
Setelah kepergiannya, kehidupan serasa tidak nyaman lagi.
Aku terus mengenangnya hingga tak lagi menemukan kebahagiaan selain dari dirinya.”
Ya, cinta memang buta, ia bisa menembus hati siapapun. Bagi sesiapa yang membukakan pintu untuk mempersilakannya masuk.
Tak terkecuali seorang ahli hadits, fiqih, tafsir dan theolog sekelas Ibnu Hazm rahimahullahu yang jatuh cinta saat usianya genap delapan belas tahun. Saat cindera jiwa masih rapuh, terombang ambing dalam warna-warni dunia, namun tetap kilau mengintan karena serpihan-serpihan cinta yang menancap di hati.
Siapapun yang membaca Thauq Al-Hamamah, pasti dibuat terhanyut; diam terpana, seolah tak mengenali sesosok Ibnu Hazm rahimahullahu sang penulis Al-Muhalla itu.
Ibnu Hazm al-Andalusi rahimahullahu, nisbat nama beliau atas tempat kelahirannya di Andalusia (sekarang Spanyol), pun kembali bernasihat: “Seandainya bukan karena keyakinan bahwa dunia ini adalah tempat ujian dan negeri kekeruhan, sedangkan surga adalah tempat peroleh ganjaran, kita akan berkata bahawa hubungan harmonis antara kekasih merupakan kebahagiaan tanpa kekeruhan, kegembiraan tanpa kesedihan, kesempurnaan cinta dan puncak harapan.”
“Aku telah merasakan kelezatan dengan aneka ragamnya", lanjut beliau, "Aku juga telah meraih keberuntungan dengan segala macamnya. Tidaklah kedekatan kepada penguasa, tidak juga wujud setelah ketiadaan, atau kembali ke pangkuan setelah bepergian jauh, dan tidak juga rasa aman setelah mengalami rasa takut, atau perolehan harta yang dimanfaatkan, tidaklah semua itu, seindah hubungan harmonis/asmara dengan kekasih/lawan jenis kita."
*Rahimakallah Ibnu Hazm.*
Sungguh salam takzim kami padamu ya guru, tak hanya fiqh ibadah dan muamalat, kau juga mengajari kami fiqh tentang cinta. Dengan sebenar-benar kecemasan agar cinta tak dipandang generasi penyimakmu sebatas perkara jatuhnya, pun bangunnya; menjadi istana megah, tinggi gapai surga. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google