“Kalau kita sudah merdeka kenapa yang jadi pembantu malah orang-orang Indonesia dan yang jadi juragan adalah orang-orang Cina?”
Pertanyaan di atas yang lebih menyerupai gugatan, berasal dari mulut anak kelas 1 SMP. Saat itu kami berdiskusi tentang momen 17 Agustus yang setiap tahunnya selalu dirayakan sebagai hari kemerdekaan Indonesia.
Tidak mudah menjawab pertanyaan sepolos itu. Orang-orang Cina di sini dalam benaknya adalah orang asing yang datang ke Indonesia dan tidak ikut memiliki Indonesia. Sedangkan orang kulit berwarna atau yang biasanya sawo matang bahkan cenderung hitam malah menjadi pembantu padahal mereka inilah pemilik negeri ini. Ya tentu saja kita tidak bisa menyalahkan pemikiran anak usia 12 tahun tersebut.
Anggapan itu hadir bukan tanpa sebab. Anak-anak ini menyaksikan sendiri orang tuanya sebagai buruh kasar dari cukong-cukong Cina. Bukan hanya orang tua, ada paman, kakak, tetangga atau bahkan teman-teman mereka sendiri. Oya, jangan bayangkan mereka ini anak-anak yang terpenuhi seluruh kebutuhannya sehingga tidak perlu bekerja ya. Sebagian dari mereka adalah anak-anak yang harus menjadi tenaga kasar di usia yang seharusnya digunakan untuk bermain dan belajar.
Karena waktu yang terbatas, saya cuma memberikan jawaban secara garis besar saja. Saya tahu masih ada PR yang harus saya kerjakan untuk mereka. Salah satunya adalah menjelaskan bahwa tidak semua Cina itu juragan dan jahat. Pun tidak semua pribumi (mereka yang umumnya berkulit lebih gelap) itu buruh dan baik.
...Anggapan itu hadir bukan tanpa sebab. Anak-anak ini menyaksikan sendiri orang tuanya sebagai buruh kasar dari cukong-cukong Cina. Bukan hanya orang tua, ada paman, kakak, tetangga atau bahkan teman-teman mereka sendiri...
Satu ketika saya akan mengajak mereka berdiskusi lagi tentang fenomena Cina yang saat ini banyak menerima hidayah Islam dan menjadi mualaf. Tentang seorang Cina mantan pengkhotbah yang masuk Islam dan kemudian terlibat aktif dalam penyelamatan mualaf. Tentang Cici yang kalah berdebat dengan anak seorang dai, kemudian masuk Islam. Tentang banyak sekali Cina-cina muslim yang baik hati dan menjadi bagian kaum muslimin. Tentu yang dimaksud oleh gadis 12 tahun tadi bukan Cina yang jenis ini.
Gugatan tadi sebetulnya semacam alarm bagi kita atau siapa pun yang sadar akan terjadinya gap atau jurang yang begitu lebar antara kaya dan miskin. Lebih jauh lagi ditarik ke belakang adalah tentang tidak berhasilnya sistem pendidikan negeri ini untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang layak terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Merdeka secara fisik yang berusia 71 tahun tepat di tahun 2016 ini, sejatinya milik siapa?
Kemudian saya bagikan kisah tentang Bung Tomo, Pangeran Diponegoro, Cut Nya Dien dan banyak lagi pahlawan yang semuanya ingin negeri ini merdeka. Mereka berjuang untuk melepaskan diri dari penjajahan. Mereka maju dan berani mati bukan karena membela negeri sebatas nation atau bangsa. Ada ‘sesuatu’ yang jauh lebih mulia ingin diraih.
Di sini ada semangat yang berusaha diredupkan ketika gema takbir mengantar para pahlawan mengobarkan bara perjuangan. Di titik ini, ada banyak kisah sejarah yang dipalsukan. Hingga akhirnya di satu titik, saya tahu bahwa saya berhutang penjelasan kepada mereka untuk menjawab pertanyaan, “Kemerdekaan ini milik siapa?” (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google