Sahabat VOA-Islam...
Nabi Ibrahim as bersikap demikian, bukannya tidak tahu resiko besar yang akan dihadapinya, tetapi rasa cintanya yang begitu besar kepada Allah swt sehingga tidak ada rasa gentar sedikitpun walaupun nyawa yang akan menjadi taruhannya. Walhasil, beliau harus menerima konsekuensi perjuangan berupa di bakar dalam kobaran api yang amat panas. Berkat izin Allah swt tubuh beliau tidak terbakar karena api tersebut berubah menjadi dingin. Hal ini sebagaimana Allah swt informasikan melalui QS. al - Anbiya : 69. “Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim!”.
Di antara buktinya : Pertama, Ditengah umatnya berada dalam kesesatan menyembah patung, Nabi Ibrahim as tidak berdiam diri atau hanya pasrah dan berdoa saja walaupun doanya amat mustajab. Beliau mempunyai kemauan yang kuat berjuang meluruskan umatnya agar hanya menyembah Allah swt. Bahkan beliau amat tegas dan cerdas menghancurkan seluruh patung yang ada di dalam kuil Raja Namruzh dan hanya menyisakan satu patung yang paling besar di kalungi kapak dilehernya agar Raja Namruzh dan umatnya berfikir logis bahwa menyembah patung adalah perbuatan yang amat bodoh karena tidak dapat memberikan manfaat atau madharat sedikitpun.
Pesan penting yang dapat kita ambil dari kisah nyata ini adalah sebagai umat Islam kita harus punya kemauan dan keberanian dalam memperjuangkan agama Allah swt walaupun nyawa yang akan menjadi taruhannya. Di samping itu juga kita harus yakin bahwa Allah swt pasti akan menolong orang - orang yang menolong agama - Nya. Hal ini sebagaimana janji Allah swt dalam QS. Muhammad : 7, “Hai orang – orang yang beriman, jika engkau menolong (agama) Allah pasti Allah akan menolongmu dan menetapkan kedudukanmu”.
Sejarah Islam mencatat dengan tinta emas dahulu dikala Rasul saw dan para tentaranya menghadapi musuh yang amat tidak seimbang dalam perang badar yaitu 1:30. Subhanallah jumlah musuh yang amat besar tersebut dapat dikalahkan oleh Rasul saw dan para tentaranya yang jumlahnya amat sedikit. Begitu juga sejarah bangsa ini mencatat dengan tinta emas, dikala para ulama dan santri yang menjadi garda terdepan berjuang memperebutkan kemerdekaan RI hanya dengan menggunakan senjata yang amat sederhana berupa bambu runcing, alhamdulillah berkat rahmat Allah swt dapat mengalahkan para kafir penjajah yang mempunyai persenjataan sangat modern. Kemauan dan keberanian berjuang membela agama Allah yang harus selalu berkobar dalam jiwa kita hingga akhir hayat walaupun kini para kafir penjajah sudah hengkang dari bangsa ini.
...sejarah bangsa ini mencatat dengan tinta emas, dikala para ulama dan santri yang menjadi garda terdepan berjuang memperebutkan kemerdekaan RI hanya dengan menggunakan senjata yang amat sederhana berupa bambu runcing, alhamdulillah berkat rahmat Allah swt dapat mengalahkan para kafir penjajah yang mempunyai persenjataan sangat modern
Saat ini kita sedang menghadapi perang yang lebih dahsyat yaitu proxy war atau ghazawul fikri wa tsaqafah (Perang pemikiran dan budaya yang akan merusak keimanan dan moral umat dan generasi). Bila melihat perkembangan berita di media Islam saat ini, amat miris sekali dengan berbagai kezhaliman yang terus dirasakan oleh umat Islam di Indonesia. Sungguh ironis, umat Islam yang mayoritas nasibnya justru semakin tertindas. Bukti konkret berupa arogansi dan intoleransi pemimpin kafir di Jakarta terhadap umat Islam melarang pelaksanaan kurban di halaman masjid dan sekolah sebagaimana Instruksi Gubernur DKI Jakarta no 168 tahun 2015 karena darah hewan kurban dianggap menjadi sumber penyakit.
Sungguh hal ini adalah pelecehan yang amat besar terhadap ajaran Islam. Berbagai upaya pendangkalan akidah yang semakin massif dan sistematis berupa kristenisasi, komunisme, liberalisme dan aliran sesat. Begitu pula kemaksiatan yang semakin menjamur bahkan terus berupaya untuk dilegalkan seperti pernikahan sejenis, dsb. Kondisi seperti ini hendaknya membangunkan tidur kita agar bangkit mempunyai kemauan dan keberanian berjuang membela agama Allah swt. Begitu Islam dan ajarannya dilecehkan, lalu dimanakah pembelaan kita?
Seringkali kita hanya diam seribu bahasa atau seribu satu alasan yang di kemukakan yaitu selalu merasa belum mampu berjuang padahal mempunyai badan yang gagah dan sehat, jabatan dan harta. Sejujurnya bukannya kita tidak mampu berjuang, tetapi belum adanya kemauan. Walhasil, berbagai kemunkaran yang ada di kampung sendiri terkadang kita hanya pasrah saja. Bila dikampung sendiri sudah tidak ada kemauan, lalu bagaimana ada kemauan mengurus kampung orang lain?. Sayyida Ali karramallahu wajhah pernah berkata.
“Kemunkaran yang merajarela disebabkan diamnya orang - orang yang shaleh”. Rasul saw bersabda, “Siapa saja yang melihat kemunkaran maka rubahlah dengan tangannya. Bila tidak mampu, rubahlah dengan lisannya dan bila tidak mampu, rubahlah dengan hatinya. Yang demikian itu (merubah kemunkaran hanya dengan hati) adalah selemah – lemah iman”. Bukankah berjuang di jalan Allah swt adalah salah satu amal yang paling Allah cintai? Bukankah setiap shalat kita selalu berikrar: “Inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin (Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam).
Kedua, Dikala Nabi Ismail as menginjak usia dewasa, maka Allah swt menguji Nabi Ibrahim asmelalui mimpi di malam hari yaitu memerintahkannya untuk menyembelih Nabi Ismail as. Subhanallah tanpa ada keraguan sedikitpun dihatinya, Nabi Ibrahim as segera melaksanakan perintah Allah swt sebagai bukti bahwa cintanya kepada Allah swt lebih besar daripada cintanya kepada anaknya sendiri. Ketika Nabi Ismail as akan disembelih lalu Allah swt mengutus malaikat Jibril as untuk membawa Qibas atau kambing dari syurga sebagai ganti Nabi Ismail as.
Lalu bagaimana saat ini kita membuktikan cinta kepada Allah swt? Rasul saw bersabda: “Amal yang paling Allah cintai dihari raya Idul Adha adalah mengalirkan darah hewan kurban”. Rasul saw memberikan ultimatum yang amat keras, “Siapa saja yang diberikan kemampuan namun enggan berkurban, jangan dekati tempat shalat kami”. (HR. Ibnu Majah). Seringkali kita mempersepsikan makna mampu berkurban dialamatkan hanya untuk orang kaya saja, sehingga begitu ada panggilan untuk berkurban, kita berteriak tidak mampu. Rasul saw, “Kaya itu bukan orang yang banyak harta, tetapi kaya itu adalah kaya hati”.
Mari segarkan kembali ingatan kita terhadap berita di Televisi pada tahun 2012 yang banyak mengundang empati umat hingga pejabat. Ketika panitia kurban masjid raya Al - Ittihad Perumahan Elit Tebet Mas Jakarta Timur menerima 2 ekor kambing yang ternyata lebih besar dibanding kambing kurban lainnya, mereka amat terharu hingga meneteskan air mata. Bila yang berkurban seorang pejabat atau orang kaya, barangkali hal yang biasa. Subhanallah menjadi luar biasa karena seseorang yang berkurban adalah seorang nenek bernama Mak Yati yang hidup di dalam gubuk derita dan mencari rizki mengais sampah di Ibukota Jakarta.
Kata kuncinya beliau walaupun miskin papa tetapi punya kemauan yang kuat untuk berkurban. Fenomena yang sering kita lihat, betapa banyak orang yang kaya harta namun miskin hati yaitu bukannya punya semangat berkurban, justru semangat hanya ingin mendapatkan jatah daging kurban. [syahid/voa-islam.com]
Penulis: Dede Sulaeman, S. Pd. I