View Full Version
Selasa, 20 Sep 2016

Mualaf Tim Humble: Agama Barat dan Timur Mistik Kupelajari Hingga Bertemu Islam (Bagian 1 dari 2)

 

Assalamu’alaikum. Namaku Tim Humble dan aku masuk Islam di usia 14 tahun. Usia yang masih sangat muda untuk bisa memilih agama dengan benar. Tapi Alhamdulillah, Allah telah menuntunku di jalan kebenaran ini.

Masa remaja sebelum mengenal Islam, aku adalah sosok yang sangat pemberontak. Orang tua, sekolah, pihak yang berwenang atau kepolisian, semua aku tentang. Nilai akademisku bagus tapi selalu saja aku membuat masalah bagi orang-orang di sekelilingku. Aku tidak mau patuh pada siapa pun. Bahkan tidak jarang, aku berbuat sesuatu sekadar ingin membuat marah pihak lain. Merokok misalnya. Kemudian pertarungan antar pelajar, saling menjerumuskan teman, berkhianat satu sama lain, dan sebagainya.

Sikap memberontak ini pula yang membuatku menolak konsep agama orang tua. Aku tidak percaya dengan apa yang mereka yakini. Aku merasa bahwa aku lebih tahu daripada orang lain yang bahkan tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Berbekal rasa sok tahu ini pula, aku memilih membaca untuk meningkatkan wawasanku.

Di usia sekitar 11 tahun, aku sudah gila membaca. Orang tuaku bilang, memang sedari kecil aku tidak suka nonton TV. Daripada duduk manis di depan TV, aku lebih suka dibacakan puisi, cerita, dinyanyikan lagu anak-anak dan semacamnya. Dari hobi membaca inilah nantinya, Allah menuntunku untuk mengenal Islam.

...Daripada duduk manis di depan TV, aku lebih suka dibacakan puisi, cerita, dinyanyikan lagu anak-anak dan semacamnya. Dari hobi membaca inilah nantinya, Allah menuntunku untuk mengenal Islam...

Dalam rentang waktu 2 tahun yaitu mulai usia 11 hingga 13 tahun, aku membaca ‘gila-gilaan’. Semua koleksi buku ayahku sudah habis kubaca bahkan buku tentang filosofi. Aku ingat membaca buku-buku tersebut yang mayoritas isinya tentang agama. Dan aku tidak percaya terhadap konsep tuhan yang ada di buku-buku koleksi ayahku tersebut. Aku tetap percaya adanya Tuhan, tapi aku tidak tahu Tuhan seperti apa yang layak untuk kupercaya.

Aku ingat, aku selalu membutuhkan kekuatan doa saat benar-benar menginginkan sesuatu. Saat itu di usia 11 atau 12 tahun, aku memanjatkan doa meskipun aku tidak tahu kepada siapa aku berdoa.

Keyakinan Kristen Protestan tidak membuatku bahagia dan puas. Agama ini penuh hal-hal yang tidak masuk akal terutama konsep triniti atau tiga dalam satu. Dengan terus terang kukatakan hal ini kepada setiap orang Kristen yang kutemui.

Kemudian aku berpaling pada Katolik. Saat itu kupikir agama ini lebih masuk akal sedikit daripada Kristen Protestan. Tapi konsep pengakuan  dosa di dalam Katolik terasa aneh untukku: kita masuk ke dalam ruang sempit dan mengaku dosa pada manusia. Ya sudahlah, agama ini tak bisa kupilih.

...Di satu titik aku menyimpulkan bahwa semua konsep agama-agama tersebut salah. Aku pun kembali melanjutkan pencarian dengan apa yang kuyakini sebelumnya: Tuhan itu ada tapi Tuhan yang bagaimana yang layak aku sembah?..

Aku pun mulai melirik agama-agama timur yang penuh mistik, salah satunya Budha. Lagi, aku tidak menemukan substansi hidup yang sebenarnya. Aku hanya mencari satu hal: tujuan hidup kita di dunia. Mengapa sesuatu hal terjadi padaku? Mengapa aku merasa mudah depresi? Mengapa aku merasa tidak bahagia? Mengapa aku? Kucari jawaban di agama timur ini. Ketemu konsep ide reinkarnasi, menurutku ide ini malah makin konyol saja.

Di satu titik aku menyimpulkan bahwa semua konsep agama-agama tersebut salah. Aku pun kembali melanjutkan pencarian dengan apa yang kuyakini sebelumnya: Tuhan itu ada tapi Tuhan yang bagaimana yang layak aku sembah?

Menginjak SMP, situasi mulai sedikit membaik. Aku bertemu dengan teman-teman yang baik dan mulai meninggalkan bacaan filosofi di hal-hal tertentu. Aku ikut kelas Pendidikan Agama yang merupakan kurikulum nasional.

Pengajar di mata pelajaran ini adalah seorang perempuan penganut neo Budha. Ibu guru ini sangat membenci Islam. Dia menganggap Islam itu bagus di teori tapi pemeluknya sendiri tak ada yang menjalankan teori tersebut. Pendapat seperti ini tak bisa diikuti begitu saja, pikirku saat itu. Tentu saja antara ajaran dengan pemeluknya tidak bisa disamakan begitu saja. Kita tak bisa menilai Islam dari perilaku pemeluknya, tapi seharusnya dari ajaran konsep Islam itu sendiri.

Selain membenci Islam, Bu Guru ini juga tidak percaya dengan agama Semit lainnya yaitu Kristen. Konsep Kristianity menurutnya tidak masuk akal. Ketidakpercayaan Bu Guru ini membantuku dalam menemukan Islam.

Di mata pelajaran ini diajarkan juga konsep Tuhan dalam Islam yang hanya ada satu Tuhan. Wow...konsep yang sangat masuk akal. Berawal dari sinilah, perkenalanku dengan Islam dimulai. (riafariana/voa-islam.com)

Sumber: imaancentral


latestnews

View Full Version