Oleh: Binti Istiqomah (Pemerhati Remaja)
Tindak kekerasan kembali mewarnai dunia pendidikan, kali ini bukan datang dari sekolah menengah atau perguruan tinggi tapi justru dari tempat yang mungkin tidak kita bayangkan sebelumnya. AM, murid sebuah taman kanak-kanak di kabupaten Kediri harus mengalami luka parah dibagian wajah setelah dianiaya oleh kakak kelasnya. Di duga korban di dorong oleh pelaku saat berebut kamar mandi. Saat ini balita yang masih berusia 3 tahun tersebut dirawat di RS Bhayangkara setelah sebelumnya sempat dilarikan ke RSUD Gambiran Kediri (detiknews.com 24/09/2016)
Fakta lain menyebutkan korban dianiaya seorang murid perempuan yang menderita hiperaktif. Keterangan tersebut didapat dari penuturan seorang wali murid, bahkan pihaknya menyampaikan bahwa di sekolah tersebut memang sering terjadi kelalaian dari pihak sekolah. Satu setengah tahun lalu, anaknya sampai mengalami patah tangan dan dioperasi. Setelah itu, ada yang kakinya patah dan juga ada yang jatuh dari lantai dua (www.beritametro.news 25 /09/2016)
Sudahkah hal itu sesuai dengan definisi dari Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional Bab I Pasal I Point 14 yang berbunyi pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Jika dalam tahap pendidikan awal saja murid sudah bisa melakukan tindak kekerasan sampai harus membuat korbannya babak belur, lalu bagaimana dengan pendidikan-pendidikan selanjutnya? Bagaimana mereka akan menghadapi kerasnya persaingan dalam kehidupan berlandaskan sistem kapitalisme-sekulerisme yang juga semakin menjauhkan mereka dari agamanya? Bagaimana dan bagaimana? Tidakkah ini menjadi sebuah renungan bagi para orang tua selaku pendidik utama untuk lebih memperhatikan pendidikan putra putrinya?
Demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia telah mengantarkan umat untuk bebas berekspresi. Umat digiring untuk bebas dalam mengekspresikan dirinya; bebas membuka aurat, pacaran, aborsi, lesbi, homo, prostitusi, perzinaan, dll. Parahnya, pelaku dan korban banyak dari kalangan generasi muda. Jika generasi yang didamba sebagai pelanjut estafet kepemimpinan sudah dirusak oleh pergaulan bebas dan kekerasan anak secara berulang, tentu generasi negeri ini akan bermasa depan suram.
Semakin banyaknya perempuan dan anak-anak yang menjadi korban membuat klaim demokrasi sebagai sistem yang mengusung prinsip egaliter patut diragukan. Di mana-mana demokrasi gagal memberikan jaminan kesetaraan dan perlindungan kepada kelompok masyarakat lemah, termasuk kaum wanita dan anak-anak, termasuk di AS yang disebut kampiun demokrasi.
Jika kita amati saat ini banyak sekali orang tua yang abai terhadap pengasuhan bahkan pendidikan anak-anak mereka. Demi tuntutan hidup atau lebih banyak cenderung pada gaya hidup, mereka lebih memilih untuk bekerja dan menitipkan anak-anaknya kepada orang lain untuk diasuh
Tak bisa dipungkiri bahwa maraknya kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak-anak dan perempuan adalah dampak dari liberalisme nilai-nilai sosial. Pornografi yang semakin deras ke tengah masyarakat telah mendorong bagi banyak orang melakukan kejahatan seksual. Kaum perempuan sekarang tidak lagi merasakan keamanan, bahkan di tempat umum dan keramaian sekalipun. Beberapa kali pelecehan seksual terjadi di tengah keramaian seperti angkutan umum, pasar. Anak-anak juga semakin tak terlindungi, bahkan dari perbuatan kawan sebayanya sendiri! Beberapa kasus tindak pemerkosaan justru dilakukan oleh teman sepermainan dan masih duduk di bangku SD.
Salah satu faktor timbulnya kekerasan terhadap anak dan perempuan adalah maraknya situs-situs porno di internet. Pemerintah sendiri sudah berusaha memblokir situs-situs porno. Menurut pengakuan Tifatul Sembiring, Menkominfo di era SBY, kementeriannya sudah memblokir 1 juta situs porno. Usaha ini patut diapresiasi karena belum pernah dilakukan kementerian sebelumnya. Namun, Tifatul mengakui jumlah situs porno di dunia maya terlalu banyak. Ada 3 miliar, prakiraannya. Situs porno pun seperti tak kenal mati. Diblokir satu, tumbuh seribu. Situs-situs itu hanya berganti nama atau bermunculan lagi yang baru.
Sulitnya memberangus pornografi juga tak lepas dari pembelaan kaum liberalis terhadap konten pornografi. Dengan dalih kebebasan berekspresi, kebebasan perilaku dan kebebasan seni dan budaya, pornografi terus diproduksi. Film-film yang membawa konten pornografi terus dibuat dan ditayangkan di bioskop-bioskop Indonesia. Sikap publik terhadap pornografi dan pelakunya juga semakin permisif. Sejumlah selebritis yang terlibat skandal video porno tetap disambut oleh publik. Media massa khususnya televisi juga seperti tak mengacuhkan lagi cacat moral yang dilakukan oleh mereka. Padahal sejumlah kasus video mesum dan pelecehan seksual di kalangan remaja terjadi setelah mereka menonton video skandal tersebut.
Jika kita amati saat ini banyak sekali orang tua yang abai terhadap pengasuhan bahkan pendidikan anak-anak mereka. Demi tuntutan hidup atau lebih banyak cenderung pada gaya hidup, mereka lebih memilih untuk bekerja dan menitipkan anak-anaknya kepada orang lain untuk diasuh. Mereka kurang sekali meluangkan waktu untuk memperhatikan pertumbuhan sang buah hati. Kalaupun bisa menemani itupun sambil menonton televisi, dengan acara yang juga tidak seharusnya diikuti oleh anak-anak. Orang tua terkadang tak segan memarahi bahkan membentak ketika anak melakukan kesalahan. Sehingga menjadi trauma tersendiri bagi memori kecil mereka. Tidak sedikit dari anak-anak ini yang tidak mengerti tata krama dalam bersosialisasi, berani membantah ketika dinasehati. Bahkan dari mulut kecil mereka tidak jarang terlontar kata-kata yang tidak pantas.
Sungguh suatu yang ironi namun banyak kita jumpai di masa sekarang ini. Seyogyanya pada usia tersebut anak seharusnya lebih banyak mendapat pendidikan yang tidak membebani pikiran mereka, dimana mereka juga bisa melakukannya sambil bermain-main. Dipahamkan tentang Akidah, dikenalkan dengan Penciptanya melalui ciptaan-ciptaanNya. Didekatkan langsung terhadap fakta agar dia menyerap dengan inderanya sekaligus memberikan informasi terdahulu tentang fakta. Mengajari tentang adab dalam keseharian, memberikan contoh langsung sehingga mereka akan lebih mudah melaksanakan. Kadang ada orang tua yang dengan santainya menyuruh anaknya melakukan kebaikan, tapi justru mereka tidak mendapat contoh nyata dari orang tua.
Anak-anak adalah generasi penerus peradaban, mereka akan menjadi pemimpin bagi bangsa ini kelak. Jika kita tidak memaksakan diri untuk meluangkan waktu bersama mereka sekarang, lalu kapan lagi? Jangan sampai kita menyesal dengan pilihan yang kita prioritaskan untuk kesenangan dunia, namun akhirnya membawa kesengsaraan untuk selamanya. Sudah seharusnya kita kembali pada pola pengajaran sesuai Islam, yang sudah nyata melahirkan generasi-generasi dengan karya sepanjang zaman seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu Sina dll. Semua bisa terjadi ketika sistem islam diterapkan, dan itu tidak akan terwujud jika kita hanya berpangku tangan.
Untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap anak, dengan hanya menerapkan hukum saat ini dalam sistem ini tidaklah cukup. Hal ini karena jelas bahwa undang-undang telah gagal untuk memecahkan masalah ini. Penerapan sistem Islam secara komprehensif diperlukan untuk benar-benar mencegah terjadinya masalah ini. Penerapan sistem Islam akan meminimalkan faktor terkecil sekalipun yang dapat memicu terjadinya kejahatan seksual dan juga perilaku seksual menyimpang lainnya. Hal ini akan tercapai lewat pelarangan langsung pornografi dan tindakan lain yang memberikan kontribusi masyarakat kepada tindakan seksual atau mendorong terjadinya hubungan di luar pernikahan. Hal ini bersama-samaakan menciptakan suasana taqwa dan nilai-nilai luhur dalam masyarakat.
Namun, jika ada orang-orang masih melakukannya, maka sistem hukum Islam (uqubat) akan menjadi benteng yang dapat melindungi masyarakat. Ini dilakukana melalui penerapan hukuman yang berat, dan keras terhadap pelakunya untuk memastikan bahwa pelaku itu tidak mengulangi perbuatannya dan agar orang lain juga tidak mengikuti jejak mereka. [syahid/voa-islam.com]